Curhatan Saya yang Punya Gaji UMR Dengar Cerita Orang yang Gajinya 2 dan 3 Digit

gaji umr

gaji umr

Weekend gini saya masih masuk kerja. Yaaa, mau gimana lagi, namanya juga kerja di mal. Dalam perjalanan berangkat kerja dengan menumpang KRL, saya berselancar di timeline Twitter. Tak sengaja aku lewat depan rumahmu dan melihat ada tenda biru sebuah tweet dari @BigAlphaId: “Kalau nanti cari pasangan (suami atau istri), ekspektasi gaji mereka di angka berapa? Dan kenapa? DMs are open.”

Ada satu jawaban yang paling membuat saya terkejut-kejut, begini katanya, “Expect cari suami yang gajinya di atas 100 jt. Gajiku sekarang 50 jt cuma ada prospek dalam 1-2 tahun ke depan bisa menyentuh 3 dijit juga. Biar bisa hidup nyaman, bisa investasi, dan bisnis tapi juga bisa kebeli apa aja yang dibutuhin.”

Baca DM-an yang sudah di-screenshot lalu dijadikan sebuah konten, eh, maksud saya utasan, saya langsung spechlees. Gimana, ya? Pasalnya saya yang—cuma lulusan SMK—bergaji UMR rasanya nggak tahu harus berkomentar apa dan bagaimana. Alih-alih bersyukur, saya malah meratapi nasib yang gajinya nggak sampai dua digit. Seketika itu jiwa misqueen saya meronta-ronta. Wqwqwq.

Saya juga nggak bisa membayangkan, gaji 12 juta, 15 juta, 50 juta, 100 juta, bahkan di atas 100 juta, uangnya tebal berapa senti? Masukinnya pakai amplop merek apa? Pakai Air Mail? Ukuran berapa? Terus amplopnya tebel banget, dong? Pasti dompetnya nggak muat?

Hadehhh, Mas, Mas…. Kan ditransfer. Kan nggak pakai dompet. Cashless, gitu loh~

Oh… Cashless. Ya maklum, sebagai remah-remah peradaban saya cuma ngerti cashlees yang berupa tiket KRL doang. Punya dompet digital cuma Go-Pay. Lebih dari itu, tahunya lagi cuma Ovo dan debit atau kartu kredit yang digesek gitu. Itu juga karena di toko tempat saya bekerja menerapkan sistem pembayaran seperti itu.

Lagi pula bagaimana saya mau punya dompet digital selain Go-Pay, lah saldo Go-Pay saja sudah sebulan ini menetap di angka 14 ribu perak. Nggak berkurang, apalagi bertambah. Nggak pernah saya isi karena di warteg, kang gado-gado, kang batagor, kang cilok, tempat biasa saya jajan belum menerima pembayaran pakai Go-Pay.

Dahulu, sewaktu kerja di bengkel mobil umum dan juga bengkel motor umum, gaji saya dibayarnya pakai uang tunai. Dimasukin amplop yang mereknya Air Mail. Duitnya juga nggak kaku-kaku. Kadang ada yang buluk. Palingan kalau mau kaku, ya disetrika lagi, biar kelihatan “wahhh” duit gajian.

Gajinya juga nggak sampe dua digit. Boro-boro dua digit, sejuta saja nggak sampai. Di bengkel mobil, gajinya 800 ribu sebulan. Di bengkel motor—allhamdulillah—ada peningkatan, 15 juta.

Oh, maaf, saya lupa ngasih koma: 1,5 juta.

Baru dua kali ini dapat kerja yang gajinya sering ditransfer. Yang lalu-lalu mah, nggak pernah. Cash terooos. Mulai dapat gajian ditransfer itu sewaktu kerja di bengkel motor resmi. Maklumlah, bengkel resmi, masa pakai amplop. Itu juga awalnya nggak punya rekening. Terus dikasih pinjam uang oleh Emak 500 ribu buat bikin rekening. Begitu rekeningnya aktif, langsung diambil lagi. Ya, kembaliin ke Emak, dong. Bukan buat jajan.

Dan sekarang walaupun kerja di sebuah toko cinta tinta printer, allhamdulillah sudah bergaji UMR DKI. Bangga? Nggak, sih. Cuma bersyukur daripada saya terus-terusan meratapi nasib di dalam KRL. Kan malu kalau tahu-tahu ada air mata merembas di pipi. Lagian di DKI juga masih kemarau. Hujan belum juga datang. Jadi sulit untuk menangis kalau nggak sambil hujan-hujanan. Nasib… Nasib…

Saya hampir selalu merasa sangat silau kalau ada orang-orang yang ngomongin gaji di atas dua digit. Saya sering bertanya-tanya dalam hati, meskipun nggak pernah terjawab. Ini orang kerjanya apa? Ngapain?

Kok bisa-bisanya dapet gaji 10 juta, 15 juta, bahkan 100 juta lebih. Ini orang sekolah di mana sih? sarjana berapa kali? Kok pas lulus bisa langsung dapet gaji dua digit. Kok bisa mencapai angka segitu. Dan kok-kok lainnya yang bikin saya semakin heran.

Pengin, sih, tanya ke Bapak yang pastinya pengalaman hidup di Jakarta lebih berpengalaman daripada saya. Bagaimana orang-orang itu bisa mendapatkan gaji belasan juta. Tapi saya agaknya males buat bertanya. Paling-paling saya cuma dapat jawaban: Makanya sekolah yang tinggi!

Dulu sewaktu masih bujang dan menjomblo, saya sempat PDKT dengan seorang perempuan yang bekerja di salah satu kantor swasta. Kantornya ada di Jakarta. Belum sampai hubungan ini di titik saling terbuka perihal gaji, juga pekerjaanya secara detail apa dan bagaimana, saya keburu jiper duluan. Saya mundur perlahan seolah semua baik-baik saja.

Perkaranya waktu itu hujan rintik-rintik. Sementara saya dan dia lagi jalan di salah satu Mall di Bekasi. Mau pulang tapi hujan. Di jok motor cuma ada satu jas hujan. Akhirnya kami berdua lanjut makan. Sebelum makan teman perempuan saya ini mampir ke ATM.

Sangat amat kebetulan posisi saya nggak jauh darinya. Tadinya mau nunggu jauh-jauh, tapi malah digeret ikut masuk ke bilik ATM. Dan malam yang tidak saya inginkan itu terjadilah di bilik ATM. Secara nggak sengaja saya melihat isi dari kartu ATM-nya. Maksud saya nominalnya. Berapa? 400 sekian juta, Men…

Tidak… Tidak… Saya tidak salah lihat. Kalo 400 ribu mah, saya punya. Dan saya hapal banget kalo 400 ribu itu angka nolnya ada 5. Lah ini, untuk dikatakan salah liat dan mungkin saja 400.000 angka nolnya terlalu panjang. Fixed, saya haqqul yakin isi ATM teman perempuan saya ini 400.000.000. Pada akhirnya sejak saat itu saya merasa minder. Minder seada-adanya. Meskipun harus tetap santuy dan bersikap nggak ada apa-apa. Oke, fine. Its all raight. I’m okay.

Mungkin saja gaji dengan angka dua digit atau belasan juta adalah impian setiap orang. Mungkin loh, ini. Saya juga nggak munafik. Siapa sih yang nggak mau. Tapi untuk jadi pekerja rasanya lulusan SMK dengan slogannya “SMK Bisa!” agak sulit untuk bisa mendapatkan gaji belasan juta.

Bisa saja sih, tapi ditempuh dengan jalan usaha. Bukan jadi pekerja macam saya ini. Apalagi masih teriak-teriak ke pemerintah dengan narasi “berikan kami pekerjan!” Terus berharap dapat gaji belasan juta, tapi kerjanya mau enak. Di tempat yang nyaman.

Hadeuhhh… Mendingan tidur aja di siang bolong. Makanya usaha. Apa kek usahanya. Pokoknya jadi pengusaha. Jangan ngimpi!

Tentu saja dengan sistem pendidikan kita yang seolah seperti investasi ini, semakin tinggi gaji, semakin tinggi pula sekolahnya. Meskipun faktor keahlian dan pengalaman juga menentukan. Maksud saya ini untuk kelas pekerja yah, bukan pengusaha.

Tapi mau bagaimana lagi. Nasib ya memang nasib. Bisa diubah atau tidaknya tergantung usaha kita sendiri. Mau bekerja keras atau tidak. Bekerja keras di sini dalam artian bekerja di luar jam kerja. Bisa dikatakan usaha sampingan. Katakanlah usaha dagang online. Setidaknya kita jadi memiliki dua keran penghasilan. Pertama gaji dari kantor kita bekerja. Kedua, pemasukan dari usaha dagang online.

Tunggu. Tunggu. Nggak salah nih pakai kata kita? Hah kita? Iya kita! kita semua! Kalau nggak mau ya udah, saya aja sama kebo. Kebo aja masih mau kerja—membajak sawah. Ada kata pepatah mengatakan “bekerja keraslah, sampai tetanggamu mengira bahwa itu hasil pesugihan”.

Kalaupun nggak mau bekerja keras, jangan sampai kita iri-irian dengan penghasilan orang lain. Jangan sampai kita sirik dengan pengahasilan orang lain. Jangan sampai minder kaya saya kalau—hampir—bisa dapat pasangan yang gajinya lebih besar dari kita. Haasshh, nggak mutu.

Sebaiknya kita menyikapi ini dengan bijak. Pertama, kita musti bersyukur kalau kita masih memiliki penghasilan. Sebab apa yang bisa kita beli dari gaji ini adalah hasil keringat kita sendiri. Bukan keringat orangtua apalagi keringat orang lain.

Kedua, terkadang melihat ke atas memang memberi efek motivasi dan semangat yang tinggi. Tapi, cobalah sesekali kita melihat ke bawah. Melihat apa saja yang sudah kita capai seraya memanjatkan doa dan syukur. Percaya deh, masih ada kok orang-orang yang gajian lebih kecil dari kita.

Ketiga, jadikanlah gaji yang kecil ini sebagai pelajaran kita dalam mengelola keuangan sendiri. Berbicara uang terkadang kita merasa tidak akan pernah cukup. Apalagi kalau gaya hidup kita lebih tinggi daripada penghasilan kita. Paling tidak, mari kita belajar untuk mengatur keuangan. Buat apa gaji tinggi tapi tabungan nihil.

Keempat, terkadang apa yang kita inginkan sulit untuk kita dapatkan. Dan yang kita dapatkan bukanlah yang kita inginkan. Ternyata di saat Tuhan memberi apa yang kita inginkan, keinginan tersebut tidaklah cukup membuat kita untuk lebih bahagia. Gaji tinggi nggak menjamin kita happy. Maka, mintalah yang terbaik.

Pada intinya jangan sampai lupa untuk bersyukur atas apa yang kita miliki. Syukuri apa yang ada. Hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini. Melakukan yang terbaik. Jangan menyerah… hhh… hhh.. hhh…

BACA JUGA Nasihat Untuk Fresh Graduate dari Driver GrabCar yang Sebenarnya Bos Besar atau tulisan Allan Maulana lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version