Sudah Bekerja Keras dan Punya Jabatan Tinggi, Pekerja Ini Tetap Sulit Merasa Aman dari Brutalnya Layoff, Akhirnya Stres dan Nothing to Lose

Layoff yang Brutal Bikin Stres Pekerja meski Jabatan Tinggi (Unsplash)

Layoff yang Brutal Bikin Stres Pekerja meski Jabatan Tinggi (Unsplash)

Fenomena layoff yang terjadi belakangan di banyak perusahaan membikin banyak pekerja ketar-ketir. Beberapa rekan saya merasakan sensasi nggak nyaman tersebut dan memutuskan curhat kepada saya. Katanya, sih, untuk menemukan ketenangan sekaligus solusi.

Sulit memungkiri bahwa sampai saat ini, layoff terjadi di mana-mana secara serampangan. Terlalu brutal. Nggak kenal skala perusahaan, lini bisnis bergerak di bidang apa, posisi dan jabatanmu apa, sebaik apapun kinerjamu, jika sudah apes, bisa terkena layoff.

Overthinking karena ancaman layoff yang brutal

Rekan saya, sebut saja Tono, saat ini sudah bekerja di perusahaan fintech ternama sekira 3 tahun. Awal mula dia pikir bekerja di perusahaan berbasis keuangan akan stabil dan aman dari desas-desus layoff. Realitasnya, tidak sama sekali. Satu per satu, rekan kerjanya mulai terkena layoff secara bertahap sejak 2 tahun lalu hingga sekarang.

Kenyataan yang nggak menyenangkan tersebut membikin dia overthinking, nggak merasa aman dan nyaman dalam bekerja. Malah, seringnya jadi hilang fokus.

“Saya jadi nggak fokus, Mas. Bawaannya jadi nothing to lose. Karena setelah dipikir-pikir, mau capai atau nggak capai target, sama aja. Bakal kena cut juga, kan?” Curhat Tono kepada saya.

“Saya sambil cari kerja lagi juga, Mas. Kalau memang dapat penawaran lebih baik, nggak ada salahnya dicoba,” lanjut Tono.

Tono yang punya beberapa rekan di perusahaan kompetitor, sering dicurhati hal serupa. Sehingga, Tono memutuskan untuk mencoba peruntungan selain di perusahaan berbasis keuangan. Karena khawatir jatuh ke lubang yang sama.

Gonta-ganti profesi, tapi tetap nggak aman

Lain Tono, lain cerita Tini (nama samaran). Di waktu yang berbeda, Tini yang saat ini bekerja di perusahaan F&B merasakan kekhawatiran yang sama, tentang nasibnya yang rentan terkena layoff.

Tini mengeluh, perusahaan F&B yang konon dibutuhkan oleh banyak orang sehari-hari karena menyangkut soal kebutuhan paling utama (pangan, makan), nggak luput dari layoff.

“Bingung aku harus kerja di perusahaan apa lagi, Mas. Mas, kan, tahu sebelumnya aku sempat di perbankan, properti, terus sekarang F&B, isunya sama terus. Entah harus gimana ngadepinnya,” keluh Tini.

Inti dari keluhan Tono dan Tini, saya pikir, menjadi gambaran sedikit banyaknya suasana hati pekerja hari ini. Betapa isu layoff nyaris membikin para pekerja merasa ada di situasi yang nggak menentu.

Di sisi lain dan masih beririsan, melalui berbagai tulisan, cukup banyak yang mengulas bahwa hal tersebut berawal dari wabah Covid-19, kemudian berlanjut kepada fenomena tech winter. Bahkan, pengamat memperkirakan tech winter masih berlanjut hingga 2024 ini, meski tidak semasif tahun sebelumnya.

Efek tech winter

FYI, salah satu efek domino dari tech winter adalah, pekerja yang terkena layoff di perusahaan sebelumnya (umumnya start up/rintisan) dengan gaji besar, rela menurunkan nominal gaji saat melamar di perusahaan berikutnya. Alhasil, persaingan dalam menemukan pekerjaan akan semakin ketat.

Sebab, di satu sisi, perusahaan tidak ingin melewatkan peluang untuk merekrut pekerja yang sudah punya pengalaman. Sehingga, pelamar kerja dengan pengalaman nanggung, apalagi lulusan baru, suka atau tidak, menjadi kalah saing.

Ini yang menjadi benang merah situasi dilema yang dihadapi oleh Tono dan Tini. Mau tetap maju, tapi, ragu. Mau mundur teratur, tapi, di perusahaan baru, belum tentu bernasib mujur. Lantaran, benang layoff dan aman-nyaman dalam bekerja masih kusut.

Usaha Tono, Tini, mungkin juga pekerja lainnya, tidak ada yang salah. Mereka masih tetap bekerja, meski merasa nggak nyaman, sambil mencoba peruntungan lain.

Kebijakan perusahaan menjadi kunci

Jika tidak ingin kehilangan karyawan kepercayaan begitu saja, saya pikir, perusahaan juga mesti ambil langkah serta menurunkan ego. Saat ini, pemikiran, “Halah, yang mau kerja di perusahaan gue masih banyak,” bukan itu poin utamanya.

Sebab, merekrut orang baru, bisa jadi akan mengeluarkan cost yang lebih banyak. Belum lagi soal training, probation, adaptasi, pemahaman ruang lingkup kerja, dan lain sebagainya.

Paling mudah, sampaikan secara terbuka mengenai kondisi perusahaan. Apa misi yang akan dilakukan oleh perusahaan dalam periode tertentu. Lain dari itu, adanya sosialisasi mengenai benefit atau reward yang jelas, agar bisa menjadi motivasi tambahan bagi para pekerja. Setidaknya, bisa dijadikan pertimbangan untuk bertahan.

Terakhir, melalui verbatim curhatan ini, saya nggak bermaksud pesimis, bahwa siapa pun dari kita, pekerja di mana saja, pasti akan terkena layoff. Nggak, nggak seperti itu. 

Saya hanya ingin mengingatkan, potensi layoff, di mana saja Anda bekerja, akan selalu ada. Tapi, bagaimana kita sebagai pekerja merespons, mawas diri, serta menyiapkan rencana selanjutnya dalam menghadapi kenyataan tersebut, jauh lebih penting.

Penulis: Seto Wicaksono

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Proses Layoff Memang Nggak Pernah Mudah, Termasuk bagi para HRD dan Perusahaan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version