Culture Shock Orang Muhammadiyah yang Hidup di Lingkungan NU

Lahir di Lingkungan NU dan Tumbuh Dewasa di Lingkungan Muhammadiyah, Bikin Saya Jadi Krisis Identitas terminal mojok.co

Lahir di Lingkungan NU dan Tumbuh Dewasa di Lingkungan Muhammadiyah, Bikin Saya Jadi Krisis Identitas terminal mojok.co

Sebagai orang Minangkabu yang tumbuh dengan kultur Muhammadiyah, saya kaget betul hidup di tengah lingkungan Nahdliyin

“Mas, nanti malam datang tahlilan ya ke rumah Pak Yusuf, habis maghrib,” Ucap Pak RT mengingatkan saya di mushola suatu ketika.

Sebagai warga baru yang belum genap tinggal tiga minggu, saya sedikit risih dengan berbagai undangan yang bersifat kumpul-kumpul seperti mengenang wafatnya seseorang dengan hitungan hari, mendoakan orang yang sudah wafat secara bersama-sama dengan sajian makanan, hingga kegiatan ala warga NU lainnya yang tak sedikit dalam mengeluarkan biaya.

Begini, sebelum Anda menuduh saya sebagai warga yang tak mau bermasyarakat dan sombong, tentu saya punya alasan sendiri mengapa hal-hal semacam di atas membuat saya sedikit syok sebagai warga yang baru saja pindah.

Minangkabau yang kental dengan nilai Muhammadiyah

Sedikit cerita, saya terlahir dari keluarga besar Minangkabau yang terbiasa dari kecil mengamalkan tata cara beribadah ala orang Muhammadiyah. Almarhum kakek dari ibu saya dulunya aktivis Muhammadiyah di kampungnya, Sumatera Barat. Sedang almarhum ayahnya lebih hebat lagi, dia pernah jadi wakil ketua cabang Muhammadiyah tingkat kabupaten di pertengahan 90-an. Untuk yang satu ini, membuat saya bangga bukan main.

Tak hanya itu, sejak pertengahan 80-an, di kampung kelahiran saya banyak pendatang asal Minangkabau, Sumatera Barat, yang merantau dan tujuannya jelas mengadu nasib dengan berdagang. Dan bisa ditebak, orang Minang sudah pasti identik sebagai warga Muhammadiyah. Padahal tidak juga.

Hingga awal 2000-an, para perantau Minang tersebut jumlahnya sampai puluhan KK, dan melahirkan keturunan hingga bisa membentuk dua RT untuk hitungan dalam satu desa.

Anda bisa bayangkan dengan besarnya jumlah perantau tersebut, mereka mampu mendirikan masjid, membangun ke-khas-an tradisi dari kampungnya agar tak hilang, hingga komunitas ini sangat disegani warga lokal asli dan para perantau dari suku lain yang jumlahnya tak sebesar mereka.

Belum pernah tahlilan

Saya ingat betul, dari saya SD hingga menjelang masuk kuliah, tak pernah sekalipun ada acara tahlilan maupun yasinan selepas jenazah dimakamkan siang atau sore harinya di kampung saya.

Ayah saya cuma bilang, “Muhammadiyah emang gitu, Nak, kalau ada sodara atau kerabat yang wafat, malamnya rumah ahlu musibah nggak ada acara, yang mendoakan almarhum atau almarhumah ya anak-anaknya, bukan minta tolong tetangga,”

Sejak almarhum ayah saya bilang begitu ketika saya masih kelas 5 SD, saya manggut-manggut saja, nurut. Dan saya pikir, inilah ajaran Islam sesungguhnya. Ya, itulah kekakuan saya yang berlanjut hingga akan menikah, dan menjadi warga baru di sebuah komunitas yang jauh berbeda dengan kampung saya.

Mungkin Anda bertanya, kan? Anda kan pasti kuliah, dan pasti menemukan lingkungan baru? Kok tidak mau beradaptasi? Masak ya semua kawan saya orang Muhammadiyah?

Jawabannya singkat, ketika kuliah saya masuk komunitas mahasiswa muslim yang keras soal ketauhidan. Saya tak mau sebut apa nama organisasinya, mereka mengklaim diri sebagai Salafi, bercelana cingkrang, dan tidak ada zikir bersuara sesuai sholat berjamaah. Sudah itu saja gambaran saya ketika di kampus dulu. Kaku banget ya hidup ini, duh.

Berkenalan dengan kultur NU

Setelah obrolan singkat dengan Pak RT di musala subuh itu dan secara lisan mengundang saya, sejuta pertanyaan muncul dalam benak. Saya sampai bertanya kepada istri, “Dik, biasanya kalau diundang yasinan atau tahlilan itu ngasih amplop nggak, sih? “. Istri saya cuma jawab, “Abang nggak pernah yasinan ya seumur hidup?”. Saya hanya bengong dengan jawaban sekaligus pertanyaannya. Kan ya itu tadi, tumbuh sebagai orang Minangkabau dengan nilai Muhammadiyah yang kental, wajar saya bingung.

Baiklah, dengan segala kesadaran tinggi sebagai warga baru, akhirnya saya datang juga menghadiri undangan tahlilan Pak Yusuf, tetangga kami yang cukup dituakan oleh warga.

Selepas acara, saya disalami bapak-bapak dengan senyuman ikhlas, mereka mengajak saya berbicara dan mempersilakan duduk sambil dihidangi kopi panas serta gorengan. Ah, nikmat sekali. Saya tersentuh, dalam hati saya berkata, inilah makna sesungguhnya di balik undangan tahlilan dan yasinan, yaitu : silaturahmi dan persatuan antar warga.

Saya sadar betul bahwa kini hidup di tengah-tengah masyarakat Nahdliyin, setidaknya itu yang saya lihat dari plang ranting NU di depan mushola tempat tinggal saya saat ini. Saya lihat juga militansi warganya sangat baik, terutama ketika ada undangan yasinan maupun pengajian yang menghadirkan tokoh agama dari pondok pesantren berlatar belakang NU.

Walau di awal sedikit gugup dengan kebiasan baru ini sebagai anak yang dilahirkan dari tradisi kental Muhammadiyah, akhirnya saya mulai beradaptasi.

Muhammadiyah pun menjunjung nilai toleransi dan melebur ke masyarakat

Sebagai disclaimer, bukan salah organisasi Muhammadiyah lho saya, tapi pemahaman buruk saya soal kehidupan yang sangat majemuk di masyarakat. Muhammadiyah sangat menjunjung tinggi toleransi dan mendorong warga persyarikatan untuk melebur dalam setiap kegiatan masyarakat, apa pun latar belakangnya.

Ada beberapa catatan penting setelah saya mulai terbiasa hidup di tengah komunitas atau masyarakat Nahdliyin.

Pertama, betapa sulitnya hidup di tengah masyarakat Nahdliyin jika Anda bersikeras tak mau hidup bertetangga dengan baik dan selektif memilih ‘aliran’ tertentu dalam ritual ibadah. Saking baiknya mareka, jangan kaget, tak datang ke yasinan saja, kita sudah dikirimin bungkusan makanan ke rumah.

Kedua, betapa sulitnya hidup di tengah masyarakat Nahdliyin jika Anda memilih menjadi warga cuek, dan tak ambil pusing soal masalah tetangga. Padahal Anda cuek aja, mereka tak segan merangkul, dan selalu ingin melibatkan kita dalam kegiatan bermasyarakat.  Untuk yang satu ini, saya sudah buktikan seperti cerita awal tulisan saya. Saya lho tumbuh Muhammadiyah, tetap dirangkul.

Lagi? Tidak ada, saya bangga menjadi bagian kecil kehidupan mereka, walau saya sadari ‘berbeda’ soal pemahaman fiqih, dan cara pandang dalam beberapa ritual ibadah.

Namun saat ini, saya sangat terbuka dan begitu menghargai ketika berada di tengah-tengah mereka. Saya lantas berpikir, persatuan dan kesatuan sesungguhnya lebih berharga ketimbang mempertahankan sebuah prinsip serta ego yang masih bisa dicari sela perdebatannya.

Semoga Anda semua dan saya makin memaknai indahnya persatuan dan hidup nyaman dalam sebuah kedamaian.

Penulis: Irsyadunnas
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Sejarah Indonesia 100 Tahun Lalu: Dari Pembuangan Tan Malaka hingga Keluarnya Muhammadiyah dari Barisan Sarekat Islam

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version