Conclave mengantongi piala Best Adapted Screenplay di ajang film bergengsi Oscar 2025. Film ini mampu menceritakan dengan apik suksesi tahta suci gereja Katolik yang dikenal dengan istilah conclave atau konklaf. Bukan hanya sebagai ritus yang sakral, film ini berhasil mengangkat konklaf yang penuh intrik dan skandal kepausan.
Secara tidak langsung, film garapan Edward Berger ini ingin memberi pesan bahwa pemilihan pemimpin tertinggi gereja Katolik tidak melulu perkara iman, tapi juga politik global. Tidak heran kalau Conclave kemudian memicu perdebatan. Prosesi yang selama ini dianggap sakral itu diceritakan diwarnai dengan berbagai kepentingan, korupsi, dan sedikit konflik SARA. Namun, konflik-konflik itu jadi terasa “biasa saja” dengan kehadiran plot twist di akhir cerita terakhir.
Drama dua jam dalam Vatican
Banyak reviewer yang memandang Conclave lebih cocok disebut film thriller. Namun, bagi saya, film yang pertama kali rilis pada Agustus 2024 itu adalah drama moral dan politik. Walau tidak dimungkiri, nuansa thriller sangat kental dalam film berdurasi dua jam itu. Pembawaan ala detektif dari Ralph Fiennes yang berperan sebagai tokoh utama, Kepala Dewan Kardinal Thomas Lawrence, menambah tegang suasana. Apalagi, latar tempat Conclave terpusat pada satu titik: Vatican, khususnya Kapel Sistine. Kombinasi itu menciptakan kesan terjebak dan mencekam yang dapat dengan mudah penonton rasakan.
Film Conclave dibuka dengan kematian seorang paus yang tidak dijelaskan siapa. Serangan jantung mendadak membawa kepausan pada momen Sede Vacante alias tahta kosong. Dewan kardinal yang berisi para pemimpin gereja dari seluruh dunia kemudian berkumpul untuk melaksanakan konklaf atau pemilihan paus baru.
Kardinal Thomas Lawrence menjadi pemimpin proses ini. Polemik langsung dimunculkan di awal ketika Uskup Benitez menghiasi layar. Ternyata, sebelum kematiannya, paus diam-diam mengangkat uskup dari Kabul menjadi kardinal. Latar belakang Uskup Benitez yang penuh dengan rahasia kemudian menjadi pusat film ini.
Saat konklaf dimulai, konflik kepentingan mulai terasa. Para kardinal terbelah menjadi beberapa kelompok. Secara garis besar ada dua: liberal dan konservatif. Perdebatan terus mengisi film ini, diselingi dengan proses konklaf yang sakral.
Baca halaman selanjutnya: Konflik puncak …
Konflik puncak Conclave yang menampar penonton
Konflik makin memanas pada momen istirahat. Dicertiakan, salah satu suster di tempat makan membahas isu perselingkuhan seorang kandidat kuat. Konflik terus berlanjut dan menyerang beberapa kardinal yang menjadi kandidat paus baru. Puncaknya adalah bocornya kasus korupsi dan penyogokan.
Hal tabu dalam tradisi gereja Katolik banyak ditabrak. Termasuk membongkar data paus sebelumnya pada masa sede vacante. Konflik lintas agama juga membuat suasana semakin mencekam. Bom bunuh diri di Roma menjadi puncak cerita dan konflik.
Konklaf berakhir ketika 2/3 lebih suara memilih Benitez. Sosok yang mengutamakan perdamaian antar agama. Mungkin kalian bernafas lega setelah hantaman drama selama 2 jam. Namun, terpilihnya Benitez melahirkan konflik puncak yang tidak disangka-sangka yang membuat penonton termenung setelah menonton film ini.
Kekuatan sinematografi dan aktor yang tepat
Conclave meninggalkan kesan yang luar biasa. Selain alur cerita yang disusun dengan apik, sinematografi film tidak kalah hebatnya. Modernitas dan nuansa klasik ala Vatican disempurnakan dengan pengambilan gambar yang dramatis.
Film dengan latar tempat terbatas seperti Conclave biasanya akan menjemukan. Namun, Edward Berger selaku sutradara berhasil mengemas cerita rumit dalam tempat terbatas. Pemilihan aktor senior yang tepat makin menyempurnakan cerita yang cenderung memeras otak.
Saya harus angkat topi pada semua aktor, terutama Ralph Fiennes. Membawakan intrik duniawi dengan kemasan sakral bukanlah hal mudah. Apalagi dengan tetap patuh pada protokol standar sebagaimana dalam tembok Vatican. Kombinasi cerita, sinematografi, dan para pemeran memang layak diganjar Oscar. Tapi, lebih dari itu, kombinasi ini mendapat penghargaan lebih besar: kontroversi dan polemik.
Apakah film Conclave mengguncang iman?
Segenap kontroversi yang timbul dari film Conclave ini mengerucut pada satu masalah: bagaimana gereja dan umat Katolik memandang film ini? Konklaf yang dibayangkan sakral dibongkar dalam film. Politik kepentingan, korupsi, hingga skandal mewarnai proses pemilihan pemimpin tertinggi gereja Katolik.
Sebenarnya urusan duniawi dalam konklaf bukan hal baru. Sudah banyak pernyataan dari para kardinal perkara ini. Terutama perkara politik antar kardinal. Paus bukan hanya posisi suci, tapi juga jabatan duniawi. Posisi Vatican yang kompleks dalam relasi global membutuhkan pemimpin yang siap menghadapi tantangan zaman.
Conclave justru membantu kita, para penontonnya, memahami misteri di balik tembok Vatikan. Sekaligus menunjukkan betapa lemahnya manusia. Meski mengemban jabatan suci sebagai wakil Tuhan di bumi, pemangkunya tetap saja manusia biasa yang tidak sempurna.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 5 Drakor Netflix yang Nggak Menye-menye, Cocok untuk Penonton Usia Matang
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
