Cita-Cita ke Luar Negeri, Sekalinya Kesampaian Malah ke Vietnam

Cita-Cita ke Luar Negeri, Sekalinya Kesampaian Malah ke Vietnam

Dari kecil, hanyalah Inggris yang ada di kepala saya. Apalagi, lagu milik The Changcuter yang berjudul Hijrah ke London memantapkan perasaan untuk menjadikan negeri milik Ratu Elizabeth sebagai tujuan utama. Apa sajalah dalihnya, terserah. Mau sekadar menghabiskan uang atau syukur-syukur studi yang dicap sebagai “raja terakhir” bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. “Anaknya sekolah di mana, Bu?” dengan bangga, Ibu saya menjawab dengan mantap: London!

Cita-cita itu makin membuncah kala perjumpaan saya dengan Liverpool yang secara tidak sengaja di dalam artikel majalah Bobo terbitan 2005. “Liverpool Huebat Betul!” begitu ujar si Bona dan Rong-Rong. Bona saja suka Liverpool, ya jelas saya suka sama Liverpool. Ya, jika di zaman sekarang, Bona itu ibarat YouTuber yang menjadi banyak inspirasi untuk anak-anak. Untungnya, pada saat itu saya tidak sampai mengecat rambut menjadi warna pink (karena Bona berwarna pink) seperti apa yang ditiru anak-anak untuk menyerupai sang YouTuber idolanya.

Setelah itu, berkenalan lah saya dengan Jepang dan segala hiruk pikuknya. Saking sukanya dengan Jepang, sampai-sampai saya menulis artikel di Mojok yang berjudul Tips Menyembunyikan Identitas Sebagai Seorang Wibu. Tulisan ini sebenarnya saya tujukan untuk menyindir teman-teman saya yang sering mengira bahwa pop kultur Jepang tak lepas dari wanita-wanita dua dimensi dan jagad semesta per-hentai-annya. Ada Vinland Saga dengan tema sejarah, Beck dengan industri musik, dan Homunculus dengan dunia klenik yang luar biasa menakjubkan.

Ya, total hanya dua negara itu yang benar-benar saya ingin tuju. Tidak pernah terbesit di pikiran bahwa Afrika dengan dunia petualangan padang rumputnya yang luar biasa sebagai destinasi utama karena saya orangnya mageran. Pun Perancis dengan pusat peradaban kesenian karena saya sudah alergi duluan dengan hal-hal yang berbau keindahan lantaran makul Estetika yang membuat saya trauma menahun dengan yang namanya kesenian. Mual rasanya jika mengingat dosennya, eh, mata kuliahnya.

Derita anak kedua yang selalu berada di bawah bayang-bayang sang kakak yang sudah menjelajahi hampir separuh dunia, membuat saya semakin sakit kepala. Ditambah, semaraknya grup keluarga yang rasanya tidak baik untuk pertumbuhan batin saya. Perbandingan adalah hal biasa yang menyakitkan adalah kakak saya yang sudah lebih dahulu menyentuh kakinya di Inggris dan Jepang. Padahal, menentukan letak wilayah Solo itu masuk dalam Provinsi Jawa Tengah atau DIY saja harus Googling terlebih dahulu.

Saya alergi dengan keberhasilan kakak saya. Sedang di saat yang sama, negeri ini sedang heboh-hebohnya akan kebangkitan PKI. Dua perasaan yang harusnya tidak patut ada. Perasaan saya yang harusnya tidak seperti itu kepada saudara kandung, sedang negeri ini yang kelewat lebay lantaran PKI itu sudah mati dan barangkali saat ini sudah jadi minyak bumi (entah bagaimana dengan pemikiran-pemikirannya yang masih tumbuh subur atau sudah mati. Hehe).

Dan entah bagaimana ceritanya, muncul sebuah surat yang membawa saya bisa terbang menggunakan pesawat dan kesibukan di kantor imigrasi untuk membuat paspor. Dan ketika mengabarkan kepada Ibu saya yang riweuh-nya mengalahkan kisah cinta Boby dan Anisa dalam serial Tukang Ojek Pengkolan, kerutan dahi dan tatapan tajam saya dapatkan. Ibu saya adalah golongan yang selalu menyalahkan rezim. Dan blio mengira bahwa saya adalah bibit-bibit PKI yang sengaja dihadirkan bagai konspirasi Napoleon Bonaparte yang ternyata orang Garut.

Dengan berbagai dalih dan disumpah di hadapan keluarga besar, saya pun berangkat ke negara tujuan. Vietnam nama negaranya, dengan bintang berwarna emas terang yang dikelilingi merah dengan membahana. Setelah sampai Hanoi yang sebelumnya transit di Kuala Lumpur, ibu saya WhatsApp, “Jangan makan babi, ya!!” Sengaja katanya tanda serunya dua, biar keliatan lagi serius. Saya jawab dengan sepenuh hati, “Iya, Buk. Soalnya ternyata daging babi itu tidak enak. Nyesel saya bayar mahal-mahal.”

Ibu saya dengan arif dan bijak pun membalas dengan penuh kemenangan, “Tuh kan, apa Ibu bilang, daging babi itu selain haram, juga tidak enak.”

Saya pun mbatin, menghindari daging babi di sini itu mudah, yang susah adalah memilah antara masakan yang tidak pakai minyak babi dan yang memakainya. Butuh kejelian, mungkin. Dan selama dua bulan di sana, keahlian itu tidak bisa saya dapatkan. Hanya mengucap doa sebelum makan pho di pinggiran Old Quarter sembari membayangan Paman Ho dulu main layangan di sekitaran sini.

Hanoi juga seperti Jakarta, barangkali. Karena saya lebih lama hidup di Hanoi ketimbang di Jakarta. Ke Ibukota Indonesia hanyalah seperlunya saja, menemani kakak saya yang jenius membuat visa, contoh kecilnya. Contoh besarnya ya menemani ibu saya salat di Monas. Sedang Hanoi, saya hidup selama dua bulan. Dan selama itu pula saya hapal dengan kebiasaan teman kos saya yang tiap pagi pada pukul lima buang angin sebanyak tiga kali. Entah itu sebagai ritual atau kentutnya memang mau keluar tiap pagi buta.

Lebih dari itu, masyarakat Hanoi adalah kumpulan manusia yang diberi kekuatan super oleh Tuhan. Bagaimana tidak, traffic-nya itu lho, bikin cumpleng kepala. Masyarakat Jogja, tempat saya tinggal, membunyikan klakson tiap ada perlunya. Pantangan untuk masyarakat Hanoi, mereka membunyikan klakson tiap ia menaiki kendaraan bermotor. Sepanjang pagi hingga senja-senja bada Magrib, klakson terus berkeliaran di kepala saya.

Dan pengendara motor di Hanoi, adalah mereka yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Mau nangis rasanya saya ketika pertama naik motor di Hanoi. Dilema ketika lampu merah, mau bablas nggak kepenak, mau berhenti takut disundul sama yang belakang. Tidak semua sih, ya, sama seperti masyarakat kita, tapi masalah klakson, itu adalah hal wajib untuk dibunyikan. Tapi ada benarnya juga, sih, bukannya fungsi klakson itu untuk dibunyikan?

Selain itu, kos saya berada di lantai tiga. Satu kos diisi oleh tiga mahasiswa yang berasal dari negara berbeda. Kebetulan, saya satu kos dengan duo Nguyen yang ternyata mereka bukan saudara, namun namanya Nguyen semua. Mungkin nama Nguyen di Vietnam, seperti nama Adit di Indonesia, pating tletek. Yang unik adalah hobi keduanya yang ngopi sambil ngobrol di dekat jendela. Padahal, di luar gedung adalah keruwetan kabel listrik yang bikin ngelus dada.

Ternyata bukan hanya perasaan saya saja yang ngeri-ngeri sedap tiap melongok ke jendela. Dilansir dari Tirto, kabel hitam di Hanoi dinobatkan sebagai salah satu sistem kabel listrik terburuk di dunia oleh majalah teknik dan teknologi berbasis di Inggris, E&T. Keruwetan kabel di Hanoi baru saya sadari ketika sudah sebulan tinggal di sana. Entah apa penyebabnya, yang jelas hal ini bukan hanya menghalangi pemandangan, tapi juga keselamatan warga Hanoi yang selalu bergerak lincah dengan skuter matic-nya.

Dalam tulisan saya kali ini, murni membahas tentang sisi Hanoi yang saya lihat. Kalau masalah rekomendasi tempat wisata, saya tidak banyak tau karena keuangan yang terbataslah sebagai penghalang kemesraan saya dengan “sisi indah Hanoi”. Benci? Tidak juga. Bahkan kota ini dapat saya katakan sebagai kota yang banyak merubah pola pikir saya. Entah kebiasaan masyarakatnya yang serba dinamis, atau duo Nguyen yang mengajari saya tentang nikmatnya mencicipi Kopi Vietnam.

Jujur dari hati yang terdalam, saya malah rindu terjebak macet di Hanoi. Tanpa sadar, ketika itu saya ikut-ikutan membunyikan klakson. Bedanya, mereka membunyikan dengan raut wajah marah, tapi mimik wajah saya malah tersenyum-senyum dengan bahagianya. Lambat laun saya juga bisa menikmati Kopi Vietnam buatan duo Nguyen (kopi yang takaran susunya lebih banyak ketimbang kopinya sendiri) di jendela sekaligus muncul pikiran “hidup dan mati sudah ada yang ngatur ini, kan!”

Hanoi memang bukan London. Bukan juga Tokyo yang hanya bisa saya lihat dari anime dan dorama. Memang feed Instagram saya tidak akan pernah seindah milik kakak saya dengan Big Ben atau Tokyo Tower sebagai latarnya. Tapi, sesekali coba rasakan metropolitan dengan cara yang berbeda, bising dan riuhnya kota ini terkadang bukan masalah jika kita menikmatinya dengan keterpaksaan yang ikhlas.

BACA JUGA Kalau Negara Gagal Nyediain Lapangan Kerja, Masak Buruh yang Bayar? atau tulisan Gusti Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version