Cita-cita Jadi Ketua RT Lebih Keren ketimbang Jadi Presiden

Cita-cita Jadi Ketua RT Lebih Keren ketimbang Jadi Presiden terminal mojok

Jadi ketua RT bukan cita-cita yang buruk-buruk amat, kok.

Cita-cita saya sampai sekarang itu hanya ada dua, jadi astronot dan jadi presiden. Seiring berjalannya usia, cita-cita jadi astronot karam karena saya pekok banget matematika. Saya sering ndomblong di depan kasir mini market ketika dikasih kembalian, melihat uang, lantas berpikir ini jumlahnya sesuai apa nggak. Sampai pada satu titik saya merasa, wah, kayaknya saya nggak bakat jadi astronot yang kudu pinter segala hal.

Kecuali berperan sebagai kelinci percobaan. Dikirim ke antariksa atau ke eksoplanet, sebagai uji coba bahwa di sana ada alien atau nggak. Tapi, ya bukan astronot macam itu yang saya pengin.

Lantas cita-cita presiden paling awet, setidaknya sampai saya kuliah di jurusan Filsafat. Sebuah kampus yang isinya orang-orang wangun, apalagi almamater saya sama dengan presiden yang sedang menjabat. Tapi, cita-cita itu perlahan luntur karena kayaknya nggak enak, deh, jadi presiden kalau sampai kurus karena mikirin negara. Soalnya saya nggak mau bikin Bu Mega sedih mikirin saya.

Selain itu, saya orangnya nyah-nyoh dan nggak enakan. Mau orang bikin mural gambar wajah saya isinya “Website Maintenance” atau “404 Error” juga saya nggak masalah. Saya pikir, saya nggak bakat jadi presiden karena nggak tegas kepada rakyat yang sedang menyuarakan pendapat. Saya nggak jago membungkam.

Manuver politik saya juga payah banget. Saya nggak bisa diatur-atur sama orang lain semisal kelak jadi presiden. Misalnya dulu saya jadi ketua kelas, ketika ada siswa lain—yang kebetulan ketua geng dan suaranya amat berpengaruh—ngatur saya, saya emoh. Rasanya, jadi presiden lebih berat. Suara yang masuk bukan hanya sekelas anak geng bau bawang, melainkan orang-orang itu tuh.

Alhasil, jadi presiden kayaknya nggak asyik-asyik amat.

Lantas saya bersua dengan salah satu ketua RT di daerah lembah Imogiri nun dekat di sana. Sebagai pemimpin desa yang jabatannya nggak terhitung administratif negara, kok ya rasanya blio ini menjalankan mandat dan jabat dengan cara yang amat akurat. Blio layaknya manusia biasa yang lincah, atraktif, dan berdaya tahan tinggi dalam menghadapi masalah-masalah desa.

Malahan, jika boleh jujur, kinerja sang ketua RT lebih terasa dahsyat ketimbang negara dalam menangani pandemi. Ketua RT, dalam mata dan pikiran saya, ngosak-ngasiknya dalam sebuah menjalankan role pemimpin, adalah kiblat kami para muda-mudi desa yang butuh figur dan contoh pemimpin paling mandraguna.

Bahasa Yunaninya, ra kakehan was wes wos. Ada yang meninggal, langsung ditangani dengan cara sesuai dianjurkan oleh dinas kesehatan setempat. Warga ada yang maksa untuk rewang, blio ajak rembugan dengan cara ngopi bareng secara tatap muka. Ada yang maksa mau mengadakan pernikahan besar-besaran, blio membuat alur drive-thru yang tentu saja konsep itu baru.

Retorikanya amat alus. Nggak perlu sok-sokan merakyat karena sifat itu harusnya tumbuh dalam hati. Tiap ikut main judi, minum, dan gaple, nggak pernah membawa media agar meliput dan esoknya muncul di mading desa, “Pak RT adalah Pemimpin yang Merakyat!” Ketua RT nggak perlu itu.

Jabatan adalah mandat dari rakyat, bukan hanya jabatan jadi presiden, tetapi juga jabatan jadi ketua RT sekalipun. Suara warga desa, adalah mutlak yang harus ketua RT dengar. Nggak percaya? Kemarin salah satu warga marah karena sapi milik Mbah Mul makan suket di pekarangan Pak Wid, esoknya masalah selesai karena mereka bertiga melakukan mediasi.

Kata blio, tipsnya adalah rembugan dan sedikit kacang. Jadi presiden nggak bakal bisa, lha wong Indonesia luas. Presiden meminta bantuan bawahannya, ya itu pun kalau bawahannya amanah menjalankan tugas dari blio. Lha, wong yang disuruh nganterin bansos saja sekarang nangis-nangis di bui.

Ribet juga jadi presiden. Yang diurus bukan hanya rakyat, melainkan jatah potongan kue partai-partai yang mengusungnya jadi nomor satu di republik ini. Siapa jadi apa dari partai apa. Gitu saja seterusnya. Nggak asyik, membosankan, penuh dengan risiko.

Mengubah cita-cita yang awalnya ingin jadi presiden sekarang ingin jadi ketua RT, menurut saya nggak buruk-buruk amat. Memang, kuasa dan uang di zaman pagebluk seperti ini adalah komoditas yang nggak bisa memilih jalan pintas. Tapi, ada satu hal yang acap kali luput dari ingar bingar kuasa dan uang ketika kita sudah duduk nyaman di istana, yakni jadi manusia.

BACA JUGA Tugas Ketua RT Bikin Ayah Saya Pernah Ketipu Sales Perusahaan dan tulisan Gusti Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version