Cinta yang memang tak ditakdirkan untuk bersama
Andai memang cinta sejatinya adalah Madrid, maka kisah cinta Hazard dan Madrid adalah contoh terbaik bahwa jika cinta mati sekalipun, tapi tak jodoh, tetap saja ceritanya tak membahagiakan.
Mungkin diri saya 6-7 tahun lalu akan mentertawai diri saya yang sekarang, bahwa saya percaya konsep jodoh. Tapi setelah melalui banyak hal, saya akhirnya tidak lagi bisa mengelak bahwa if it’s not meant to be, it will really not happen, meski kisah yang dilalui begitu manis.
Tak sedikit kalian mendengar atau melihat dua pasangan yang begitu bahagia. Tak ada cela, dunia seakan mendukung mereka untuk bersama. Cinta mereka begitu sempurna. But the next thing happen is, entah kenapa, mereka berpisah. Yang satu melanjutkan hidup, menata cerita, berakhir bahagia. Yang satu menghabiskan waktu, menatap ruang vakum, sembari mendengarkan lagu payah milik Armada.
Eden Hazard, pembelian terburuk dalam sejarah
Yang membedakan pecundang dengan pemenang, bagi saya, adalah berbuat lebih untuk menang. Manusia dengan seribu bakat, jika tak mau berbuat lebih untuk menang, bakatnya tak lebih dari nasi basi masuk tempat sampah. Manusia terlahir medioker, tapi jika ia menembus batas diri untuk meraih kemenangan, ia akan tercatat sejarah sebagai manusia hebat.
Saya tak melihat itu ada pada Eden Hazard dalam tiga musim terakhirnya di Real Madrid. Ia tak bergerak lebih ngotot, menggiring lebih taktis, dan tak menunjukkan api kemenangan dalam matanya.
Nyatanya, kesabaran Madrid punya batas. Kini, cerita Hazard telah berakhir. Ia akan dikenang sebagai pembelian terburuk dalam sejarah sepak bola. Bukan karena cedera, bukan karena nasib buruk, tapi karena ia menyia-nyiakan kesempatan.
Andai saja kau tunjukkan rasa cintamu dengan sungguh-sungguh, mungkin kau akan dikenang sebagai pahlawan. Bukan sebagai pesakitan hingga pelut akhir dibunyikan.
Sumber gambar: Instagram @hazardeden_10
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Beri Karim Benzema Ballon d’Or Sekarang Juga!