Cara Bapak Saya Ajari Anak Perempuannya Mahir Membaca Peta

Cara Bapak Saya Ajari Anak Perempuannya Mahir Membaca Peta terminal mojok.co

Cara Bapak Saya Ajari Anak Perempuannya Mahir Membaca Peta terminal mojok.co

Banyak yang bilang bahwa sebagian besar perempuan itu sangat payah dalam perkara membaca peta. Lantas, sebagian kecil perempuan yang memiliki keterampilan membaca peta bisa dikatakan bahwa itu sebuah berkah. Menurut saya pribadi masalah kemampuan membaca map ini bukan masalah yang perlu dibesar-besarkan. Ini masalah kebiasaan saja, sih. Selain itu, ini juga masalah kemauan untuk belajar. Banyak perempuan yang enggan belajar membaca map karena dia merasa di zona nyaman. Oleh karena itu, kalaupun dia tak bisa membaca map, ya akan baik-baik saja. Toh, akan ada “orang lain” yang  membacakan map untuknya.

Saya sendiri sebagai perempuan bisa dibilang nggak pernah merasa kesulitan dalam membaca map. Hal kayak gini bukan sesuatu yang “wow” menurut saya. Bahkan, kemampuan dasar dalam membaca map ini juga sudah diajarkan di bangku sekolah dasar dulunya kan, ya?

Tentu bakat yang saya miliki ini tidak datang secara tiba-tiba. Semua ini karena bapak saya. Dulunya, saya tinggal di kampung yang bisa dikatakan jauh dari peradaban kota. Tak perlu berpikir memiliki kendaraan bermotor, punya sepeda saja sudah merupakan sebuah keniscayaan bagi keluarga kami. Oleh karena hal itu, momen bepergian saya sangat terbatas sekali, paling hanya naik bus ke pasar atau diajak orang tua pergi ketika orang desa nyarter mobil Carry bareng-bareng dalam rangka “nyumbang” atau tilik orang sakit.

Bapak biasanya memangku saya karena lebih ngirit membayar ongkosnya dan mencari tempat duduk di samping jendela. Setelah itu, di sepanjang perjalanan bapak sudah seperti seorang guide yang begitu fasih menjelaskan nama desa atau daerah yang kami lalui beserta dengan cerita-cerita di dalamnya. Misal, nih, kami melalui Jembatan Kali Krasak yang memisahkan DIY dengan Jawa Tengah, maka bapak akan beralih profesi menjadi guru IPS yang dengan telatennya menjelaskan sejarah jembatan serta letak geografis sungai tersebut.

Bapak selalu bilang, “Kalau berpergian itu selalu melihat plang, banner, atau gapura, biar kamu tahu di mana lokasi kamu berada.”

Kelihatannya memang sepele sekali, tapi nyatanya itu besar sekali manfaatnya. Dengan kita tahu di mana kita berada, maka kita akan lebih mudah menentukan lokasi tujuan. Atau paling tidak, kita bisa tahu berapa lama atau berapa jauh lagi waktu tempuh yang diperlukan untuk sampai ke tujuan. Jika kita tidak tahu di mana lokasi kita berada, tentu itu akan menyulitkan kita dalam menentukan tujuannya. Hal ini yang biasanya menjadi kesalahan yang cukup fatal sebagian orang dalam membaca map di aplikasi. Lah, ya gimana mau sampai ke tujuan kalau di mana posisinya saja masih bingung.

Selain diajarkan secara manual dengan teknik storytelling, bapak juga sering mengajari saya membaca peta. Saya masih ingat sekali pernah dibelikan peta Jogja seharga 5000 rupiah. Bapak saya itu hanya petani kecil yang sadar betul bahwa dia tak bisa membawa anak-anaknya bepergian rekreasi setiap akhir pekan seperti bapak teman-teman saya. Oleh karena itu, bapak berinisiatif mengajak saya piknik secara virtual dengan sebuah peta sebesar setengah meter.

Peta itu ditempel di kamar saya. Lalu, bapak menerangkan dengan lidi satu per satu nama jalan utama, jalan tikus, tempat wisata, sekolah-sekolah unggulan beserta kampusnya, terminal, bandara, ataupun pasar yang ada di Jogja. Makanya, meski saya tak pernah bepergian, tapi saya sangat familiar sekali dengan jalanan di kota Jogja. Ketika di usia 18 tahun, saya diminta teman saya dari luar kota buat nganterin ke Malioboro, ya saya dengan santainya menunjukkan jalan meski sebenarnya saya belum pernah ke sana sama sekali. Hehehe.

Kata bapak, membaca peta itu tidak sulit asal kita tahu di mana lokasi kita, di mana tujuannya, dan kita harus memperhatikan skala. Di zaman sekolah dasar dulu mungkin kita sudah diajarkan tentang apa itu skala, tapi sering kali hal itu diabaikan, padahal sangat penting sekali. Map di zaman sekarang sebenarnya kinerjanya hampir sama kayak peta, hanya ini lebih detail. Makanya sebelum mencari tempat, saya selalu membuka map-nya lebih besar dulu. Melihat lokasi saya, melihat jalanan utama yang harus saya lalui, serta ilmu “kiro-kiro” (skala) ini harus dimainkan. Seberapa jauh saya harus lurus, kapan saya harus belok, bangunan atau tempat apa yang harus saya jadikan patokan, hal-hal seperti ini sangat diperlukan sekali.

Bagi sebagian orang mungkin membaca map kayak gini nggak terlalu penting, ya. Namun, bagi saya hal kayak gini sangat berfaedah sekali. Misalnya, ketika backpacker-an atau berpergian sendiri. Saya pernah keliling Batam, Jakarta, Bandung, sendirian hanya bermodalkan map (sama duit juga ding). Bahkan tiap kali mudik Karawang-Jogja via jalur selatan atau Pantura, saya selalu dijadikan sebagai petunjuk jalan sedangkan suami hanya menyetir dan mengikuti arahan saya.

Memahami peta daerah setempat ini nyatanya juga bermanfaat ketika ada orang tersesat dan bingung nyari jalan. Bagi yang tinggal di kota mungkin nggak terlalu ngefek karena ada bantuan GPS. Namun, kalau sudah sampai di desa yang susah sinyal, bantuan dari masyarakat sekitar adalah harapan terakhir untuk sampai ke tujuan.

Lagi-lagi, bisa membaca map kayak gini bukanlah sesuatu yang istimewa. Ini sama aja kayak kita “membaca-membaca” lainnya, tinggal mau atau nggak dalam belajar dan membiasakan diri. Ingat, segala kemampuan yang sifatnya pengetahuan, tuh, nggak bisa datang dengan tiba-tiba.

BACA JUGA Sulit Romantis dengan Pacar yang Nggak Bisa Baca Google Maps dan tulisan Reni Soengkunie lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version