Capek Dengar Cerita Orang DO Kuliah yang Sukses? Sama, Saya Juga

Capek Dengar Cerita Orang DO Kuliah yang Sukses? Sama, Saya Juga

Capek Dengar Cerita Orang DO Kuliah yang Sukses? Sama, Saya Juga

Jujur, kadang saya capek. Capek setiap kali buka media sosial, selalu ada saja konten motivasi yang isinya hampir sama. Isinya tentang pendidikan tidak penting, karena ada orang DO kuliah dan sukses. Biasanya menampilkan wajah Bill Gates atau Mark Zuckerberg, disandingkan dengan alunan musik epik, lalu ditutup dengan kalimat sakti: “MEREKA SEMUA TIDAK LULUS KULIAH. Pendidikan tidak menjamin kesuksesan!”

Ribuan orang like, ratusan komentar “Setuju!”, seolah-olah baru saja menemukan rahasia alam semesta. Dan saya, yang dulu berjuang empat tahun menyelesaikan skripsi sambil begadang dan minum kopi sasetan, cuma bisa menghela napas. Tiba-tiba saja ijazah yang dibingkai rapi di dinding itu terasa seperti sebuah kesalahan strategis. “Harusnya dulu aku nekat buka usaha saja, ya?” begitu bisikan jahat di kepala.

Kita semua suka dongeng. Dan kisah para jenius pemberontak yang DO kuliah lalu menaklukkan dunia adalah dongeng paling seksi di zaman ini. Tapi setelah dipikir-pikir, dongeng ini, jika terlalu sering didengar, bisa menjadi racun.

Kisah mereka indah, tapi kita lupa satu hal penting: privilese

Setiap kali nama-nama besar itu disebut, kita seolah diajak untuk percaya bahwa modal mereka hanya nekat dan ide brilian. Padahal, ada bab penting dari cerita mereka yang seringkali sengaja dirobek dan dibuang: privilese.

Saya jadi mikir, Mark Zuckerberg itu DO kuliah dari Harvard. HARVARD. Bukan dari universitas yang kalau disebut orang harus Google dulu. Sebelum memutuskan berhenti, dia sudah berada di episentrum orang-orang terpintar, fasilitas terbaik, dan calon investor yang siap menyiramkan uang ke ide gilanya. Jaring pengamannya sudah terpasang.

Bill Gates? Sama saja, berasal dari keluarga kaya raya. Kalaupun Microsoft gagal, dia tidak akan pusing besok mau makan apa.

Kisah mereka, DO kuliah lalu sukses, bukanlah kisah “dari nol”. Ini lebih mirip kisah “dari level 90 lanjut ke 100 tanpa menyelesaikan misi terakhir”. Sementara kita? Banyak dari kita memulai dari level 1, tanpa cheat, tanpa jaring pengaman. Menyuruh kita meniru langkah mereka itu sama saja seperti menyuruh orang biasa adu lari dengan Usain Bolt. Ya, sama-sama lari, tapi titik start-nya beda jauh.

Belakangan ini saya baru tahu ada istilah keren namanya Bias Kesintasan. Intinya, kita cuma fokus pada segelintir orang yang berhasil “selamat” dari sebuah proses berisiko tinggi, dan kita lupa pada jutaan lainnya yang mencoba hal yang sama dan gagal total. Kita tidak pernah dengar cerita mereka karena kegagalan bukanlah konten yang bagus untuk dijual.

Jadi, buat apa ijazah sarjana saya ini? Kenapa tidak DO kuliah saja?

Setelah merasa insecure berbulan-bulan meski tidak sampai DO kuliah, saya akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang menenangkan. Mungkin saya dan banyak orang lain selama ini salah memahami fungsi utama sekolah.

Saya sadar, pendidikan formal bukanlah tiket untuk menjadi anomali atau pengecualian. Bukan. Sebaliknya, pendidikan formal adalah jaring pengaman terbaik agar hidup kita tidak ambyar. Ia adalah alat manajemen risiko paling masuk akal di dunia yang penuh ketidakpastian.

Ijazah S.T. atau S.E. di belakang nama mungkin tidak akan membuat saya punya jet pribadi. Tapi ijazah itulah yang secara dramatis meningkatkan peluang untuk diterima kerja, mendapatkan gaji yang cukup untuk bayar cicilan, dan punya kehidupan yang stabil. Ijazah adalah parasut. Para miliarder yang DO kuliah itu berhasil melompat dari pesawat tanpa parasut dan secara ajaib mendarat di atas tumpukan jerami. Tapi jutaan lainnya yang mencoba, berakhir tragis. Saya, sih, tidak seberani itu untuk mempertaruhkan hidup pada keajaiban.

Lebih dari sekadar selembar kertas, empat tahun di bangku kuliah (dengan segala drama revisi skripsinya) setidaknya memberi saya modal yang nyata. Ia melatih struktur berpikir, terutama kemampuan untuk bertahan menyelesaikan sesuatu yang sudah dimulai, meskipun rasanya membosankan setengah mati. Ia juga memberikan jaringan awal; teman-teman yang dulu jadi partner begadang di depan laptop, sekarang menjadi kolega atau sumber informasi berharga di dunia kerja.

Tiket masuk paling dasar

Dan yang paling pragmatis, ijazah adalah “tiket masuk” paling dasar. Tanpa tiket itu, lamaran kerja saya mungkin tidak akan pernah lolos dari saringan pertama HRD, tak peduli seberapa brilian ide di kepala saya. DO kuliah, bagi orang biasa seperti saya, tentu bukan pilihan bijak.

Jadi, sekarang setiap kali saya melihat konten motivasi tentang hebatnya orang-orang yang tidak tamat sekolah atau DO kuliah, saya tidak lagi merasa insecure. Saya hanya tersenyum. Mereka memang hebat. Tapi jalan hidup saya, dan mungkin juga jalan hidup Anda, tidak harus sama.

Pendidikan formal mungkin bukan roket yang menjamin kita sampai ke bulan. Tapi bagi saya, ia adalah parasut terbaik yang memastikan kita tidak hancur saat jatuh ke bumi. Dan di zaman yang serba tidak pasti ini, punya parasut adalah sebuah kemewahan tersendiri.

Penulis: Yulfani Akhmad Rizky
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Kisah “Mahasiswa Abadi” di UNY Nyaris Kena DO hingga Beasiswa Dicabut, Kini Buktikan Bisa Lolos CPNS usai Wisuda

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version