Sebelum merasakan naik bus Handoyo, tiap kali mudik Karawang-Jogja, saya biasanya langganan naik bus Kramat Djati. Busnya menurut saya lumayan nyaman dan yang paling saya suka adalah selera musik pak sopirnya. Biasanya mereka akan memutar lagu-lagu jadul era masa muda orang tua saya.
Misalnya, Panbers, Betharia Sonata, Koes Plus, dan lain-lain. Saya sudah sangat familiar dengan lagu-lagu itu, karena hampir setiap hari orang tua saya menyetel lagu itu di radio tape. Sehingga perjalanan malam Karawang-Jogja terasa begitu syahdu dan melankolis sekali.
Namun sayang sekitar tahun 2013 atau 2014, bus ini tidak lagi berhenti di Karawang Timur. Kalaupun saya terpaksa naik ini, biasanya bakal diturunkan di pintu tol kawasan industry Karawang Timur. Tetap bisa sih sebenarnya, tapi ribet dan jauh dari rumah saya.
Untuk arah ke Jogja, saya juga harus menumpang bus jurusan lain dulu dan saat sampai di rest area atau tempat makan gitu saya akan dioper di bus jurusan Jogja. Oleh karena keribetan ini, saya kemudian berpindah haluan untuk menjajal naik bus Handoyo.
Dari namanya saja, bus ini sudah ‘Jawani’ banget. Sopir dan kernetnya pun kebanyakan atau jangan-jangan semuanya orang Jawa. Soalnya obrolan mereka juga menggunakan bahasa Jawa yang medok kayak saya. Secara sekilas pelayananya hampir sebelas dua belas sih dengan Kramat Djati.
Hanya saja, setelah saya naik, lampu dimatikan, saya cukup kaget. Soalnya langsung terdengar suara menggelegar dari speaker bus, lagu dangdut koplo. Di layar TV juga tampak jogetan para biduan beserta kru-nya yang tengah beratraksi di panggung. Sejak dulu saya sudah terbiasa kalau naik bus selalu duduk di belakang sopir. Jadi bisa dibayangkan berapa SR kecepatan jantung saya berdetak. Belum lagi mata saya yang pedes melihat layar yang silaunya minta ampun dari televisi di depan saya pas.
Mungkin agak lebay yah reaksi saya ini. Tapi jujur saja, meski saya orang Jawa, namun saya jarang atau bahkan tak pernah mendengarkan musik dengan genre koplo semacam itu. Kalaupun lagu Jawa, biasanya saya sering mendengar lagu keroncong atau mocopatan yang sering diputar oleh bapak. Saya masih awam sekali untuk genre musik yang satu ini. Sehingga saya yang biasanya kalau naik bus langsung molor, ini gak bisa tidur semalaman karena jantungnya ikutan dag dig dag dug ngikutin irama gendang di bus Handoyo.
Suaranya berisik banget, mau mencoba tidur pun percuma. Nggak bakal bisa tidur. Mana makin malam bukannya dimatiin, malah makin pada semangat nyanyinya. Ampun deh. Baru kali ini saya naik bus yang full semalam suntuk koplonan di sepanjang jalan Pantura hingga Jogja. Yang saya heran, semua penumpang bus Handoyo tetap bisa tidur dengan nyaman. Tak ada juga penumpang yang complain dengan music tersebut. Mereka sepertinya menikmati tontotan tersebut. Apa cuma saya saja yang aneh. Saat turun dari bus saja saya masih terngiang-ngiang dengan ‘jeduk jeduk des’ gendang semalaman itu.
Saya kira, hal ini karena saya naik bus kelas VIP. Maka saat balik ke Karawang, saya mencoba naik bus Handoyo yang eksekutif. Lebih mahal sih harganya, tapi busnya super duper enak dan nyaman sekali. Tapi eh tapi, setelan musiknya tetap aja dangdut koplo. Ya ampun.
Mau gak mau saya harus tetap bersinggungan dengan musik koplo karena saya sering sekali mudik dan bolak balik menggunakan bus Handoyo ini. Lambat laun saya jadi terbiasa. Lagu dangdut koplo ternyata nggak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Saya mulai menikmati suara penyanyinya, mengikuti irama musiknya, dan menghayati setiap liriknya. Mendengar musik ini kadang membuat saya melupakan sejenak beban hidup. Membuat saya losss doll….
Pantas saja jika orang itu pada kayak orang tanpa beban saat menonton pertunjukan dangdut koplo. Bukan berarti mereka yang ketawa dan nyanyi-nyanyi itu tak punya masalah, namun dengan nyanyi dan joget kayak gitu mereka seolah melupakan sejenak beban hidup di dunia nyata. Begitulah katanya cara para rakyat jelata dulunya mencari hiburan dari kepenatan masalah kehidupan yang menghimpit.
Dari bus Handoyo saya jadi kenal Sagita and the gang, tahu performa Via Vallen itu kayak apa, dan tahu juga yang namanya Nela Kharisma itu yang mana. Saya bahkan jadi hafal beberapa lagu milik Sagita gara-gara sering naik bus Handoyo. Kalau bukan karena dicekoki lagu dan tontonan dangdut koplo sama Handoyo, mungkin sampai sekarang saya akan tetap enggan berkenalan dengan genre musik yang satu ini.
Dulu saya sempat mikir, mendengarkan lagu koplo semacam ini pas malam-malam itu bukannya bikin berisik yah. Tapi menurut saya lagu koplo memang paling cocok untuk teman perjalanan malam sih. Biar ng gak ngantuk. Coba kalau pas nyopir gitu yang diputar lagu-lagu syahdu, kan malah bahaya buat pak sopir yah. Bikin ngantuk.
Gara-gara bus Handoyo, sekarang saya jadi ikut-ikutan kecanduan mendengarkan lagu-lagu koplo. Tiap ada lagu koplo baru, saya bahkan langsung update. Apalagi kalau mudik naik kendaraan pribadi gitu, playlist saya sekarang lagu koplo semua. Hehehe. Fix kena racun koplo karena bus Handoyo.
BACA JUGA Kok Bisa, sih, Cikampek Lebih Terkenal ketimbang Karawang? dan tulisan Reni Soengkunie lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.