Bus Bumel Sukoharjo Kartasura, Bus Kasta Terendah yang Sebetulnya Dibutuhkan tapi Akhirnya Mati

Trayek Bus Sukoharjo Kartasura Mati, Pengangguran Menghantui (Unsplash)

Trayek Bus Sukoharjo Kartasura Mati, Pengangguran Menghantui (Unsplash)

Rabu 11 Oktober 2023, pukul 05.19, saya menunggu kedatangan bus di terminal pembantu Pasar Sukoharjo. Apabila seperti kesehariannya, bus paling awal datang kira-kira 05.30, ngetem sebentar, berangkat sekitar 05.45. Namun, hari itu saya kesal. Sudah pukul 06.20 tapi bus bumel trayek Sukoharjo Kartasura tidak kunjung datang. 

Tidak lama, sopir dan kondektur datang berjalan kaki. Sopir langsung duduk di samping kanan saya. Kebetulan saya memang sudah akrab dengan semua kru bus yang jumlahnya tidak lebih 8 orang. 

Sebelum saya ngomong, dia berkata: “Pak Dosen, ini tidak ada bus. Bus Wahyu semalam laku dijual semua. Sekarang sudah tidak ada Bus Wahyu trayek Sukoharjo Kartasura. Mulai hari ini dan seterusnya, tidak ada lagi Bus Wahyu.” 

Belum sempat saya menanggapi, si sopir melanjutkan ceritanya. Jadi, pernah terjadi demo di Kantor Dinas Perhubungan Sukoharjo. Yang demo adalah sekelompok masyarakat pelanggan bus bumel trayek Sukoharjo Kartasura. Mereka mendengar kabar kalau dinas akan menutup trayek tersebut. Tidak terima, mereka protes. Menurut Dinas Perhubungan sendiri, bus trayek Sukoharjo Kartasura sudah tidak layak jalan.

Sopir dan kondektur bus bumel trayek Sukoharjo Kartasura yang merana

Saya mengamati wajah si sopir. Dia masih seru bercerita, meski pandangannya kosong memandang matahari pagi yang sorotnya menerawang secara lembut. Sebagai karyawan Bus Wahyu, penghasilan si sopir memang tidak seberapa. Namun, motivasi kerjanya tetap tinggi.

Misalnya, ketika bus ngadat, mereka memperbaikinya secara sukarela, bersama-sama, tanpa mengeluh. Mereka melakukan itu semua demi mempertahankan bus bumel trayek Sukoharjo Kartasura, tidak merugikan pelanggan, dan terjadi pemutusan kerja. 

Saya lalu bertanya: “Terus, setelah trayek ini mati, kamu mau kerja apa?”

“Nggak tahu ini saya, Pak. Saya masih syok belum mikir ke situ,” jawabnya pasrah.

“Saya pribadi, dan semua kondektur pasti tahu, bahwa saya membayar lebih dengan doa dan harapan bus bumel di trayek ini masih tetap beroperasi.”

“Iya kami paham, Pak. Penumpang langganan lain juga sering ngomong begitu, Pak, karena trayek ini sebetulnya monopoli adanya hanya Bus Wahyu. Makanya menjadi jalur langka. Lha kok bosnya punya maksud lain yang kami tidak tahu arahnya ke mana. Syukur bus trans jalur Sukoharjo-Kartasura yang baru nanti segera masuk, Pak. Tapi, ya, entah kapan.” Lagi-lagi sorot matanya memandang jauh ke depan, dan ternyata menyisakan perasaan getir di hati saya mendengarkan ceritanya.

Saran yang tak kesampaian

Saya ingat, kira-kira setengah tahun yang lalu, sebetulnya saya berkeinginan mewawancarai pemilik Bus Wahyu. Sebelumnya, saya ngobrol dulu dengan salah satu kondektur yang panggilannya Pak Kumis. Kumisnya memang setebal itu. 

“Mas, saya pengin ketemu Bos Wahyu. Orangnya mudah diajak ngobrol nggak ya?”

“Ingin ketemu maksudnya apa, Pak?” Tanya Pak Kumis. 

“Ya ingin memberi masukan saja, Mas. Jikalau mungkin, biar ada pergantian bus yang lebih baik, syukur ada AC-nya,” jawab saya.

“Wah, kalau itu jangan, Pak. Orangnya kurang ramah dan perusahaan Wahyu itu sudah terbagi-bagi. Jadi Bapak susah kalau mau ketemu.” Mendengar jawabannya, saya langsung mengurungkan niat itu

Setelah itu saya menulis dengan judul: “MIMPI KAMPUS UIN RM SAID SURAKARTA DILEWATI BST DAN BUS BUMEL SUKOHARJO-KARTASURA”. Tulisan saya WA ke Rektor UIN RM Said Surakarta, Wakil Rektor, Direktur Pasca-Sarjana, dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Agama Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, serta 5 grup WA yang saya menjadi anggotanya. 

Maksud tulisan saya agar menjadi perhatian bagi para pejabat terkait transportasi massal yang bisa melewati kampus UIN RM Said Surakarta. Namun, secara kelembagaan, nampaknya belum memperoleh tanggapan seperti yang saya harapkan.

Trayek kampus yang potensial

Lalu, tepatnya tanggal 25 September 2023, Fajar Novianto Alfitroh menulis di Terminal Mojok dengan judul: “UIN Solo, Kampus yang “Nasibnya” mengenaskan, Nggak kayak UMS dan UNS” Inti dari tulisan tersebut adalah UIN RM Said Surakarta adalah kampus terpencil jauh dari jalan besar dan tiadanya akses transportasi.

Perlu sedikit saya informasikan di sini bahwa mahasiswa UIN RM Said Surakarta saat ini kabarnya mencapai 19.000-an. Sementara itu, jumlah dosen dan karyawan mencapai 300-an orang.

Mempertimbangkan jumlah civitas akademika sebanyak itu, kita perlu membuat analisis dampak lingkungan, terutama sisi transportasi menggunakan Studi Ilmu Kependudukan (Demografi). Alasannya, setiap hari akan terjadi aktivitas ulang-alik bagi yang nglaju dari rumah ke kampus dan sebaliknya. 

Maka, kita memerlukan jenis transportasi massal seperti bus bumel yang melewati lokasi kampus. Ke depannya, kita bisa mengurangi kepadatan jalan menuju kampus dan sekitarnya, jumlah kendaraan pribadi, dan membantu mahasiswa beralih ke transportasi massal.

Nah, hal ini merupakan suatu kesempatan bagi pemilik modal untuk merintis trayek Sukoharjo-Kartasura yang rutenya melewati kampus. Sejauh ini sudah terbukti bahwa trayek ini merupakan jalur langka, sehingga perusahaan bus seharusnya bertahan untuk mengoperasikan berdasar jumlah penumpang yang memadai. 

Memaksimalkan “trayek kampus”, terutama menggunakan armada baru dan ber-AC, pasti akan mengurangi jumlah pengangguran. Berhentinya bus bumel di trayek Sukoharjo-Kartasura sudah jelas membuat sopir, kondektur, dan montir yang bekerja menjadi pengangguran. Wallahu’alam.

Penulis: Basuki Rahardjo

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Dosa Sopir Bus Mira dan Sugeng Rahayu yang Bikin Pengendara Lain Jengkel

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version