Buruh tani Situbondo sering dipandang sebelah mata. Sebenarnya tidak hanya di Situbondo, di berbagai daerah, pekerjaan ini disepelekan. Buruh tani dianggap pekerjaan yang berat dengan penghasilan tidak seberapa.
Akan tetapi, sejak sering kumpul dan ngobrol dengan buruh tani beberapa waktu belakangan, saya menyadari hal baru. Bekerja sebagai buruh tani di Situbondo ternyata mencukupi untuk kehidupan sehari-hari. Bahkan, mereka bisa mengejek orang-orang dengan gaji UMR Situbondo yang ada di kisaran Rp2,3 juta, terendah di Jawa Timur.
Sebenarnya, kurang elok rasanya membanding-bandingkan pendapatan pekerja satu dengan yang lain. Hanya saja, saya rasa perlu membagikan informasi ini agar para pencari kerja di Situbondo tercerahkan.
Buruh tani Situbondo bekerja dengan sistem laotan
Di Situbondo, sistem kerja para buruh tani ini dikenal dengan laotan. Sistemnya, mereka banyak dibayar setiap 4 jam kerja. Dalam 4 jam kerja ini, mereka biasa dibayar Rp35 ribu hingga Rp40 ribu. Ini sudah jadi standar harga yang umum untuk buruh tani di Situbondo.
“Kalau dikalikan 30 hari kan artinya kurang dari UMR?” mungkin beberapa dari kalian akan bertanya demikian. Bentar dulu. Buruh tani ini kebanyakan bekerja dulaot atau dua laotan. Artinya dalam sehari mereka bisa 8 jam kerja dan mempropleh upah antara Rp70 ribu hingga Rp80 ribu.
Sekarang coba hitung dalam sebulan. Upah buruh tani bisa mencapai kurang lebih Rp2,1 juta hingga Rp2,4 juta. Ini sudah hampir menyentuh dan bahkan melebihi UMR Situbondo.
Catatan penting. Buruh tani Situbondo, dan mungkin banyak daerah lain, punya kemampuan fisik yang kuat. Bayangkan saja, setiap hari mereka harus kuat bekerja di bawah sinar matahari selama berjam-jam. Selain itu, mereka harus kuat menggendong hasil panen yang bisa mencapai berkilo-kilo. Belum lagi tangki sprayer obat pertanian dengan kapasitas 16 – 20 liter yang berat banget.
Itu mengapa, untuk menjadi buruh tani yang bisa mengantongi upah setara UMR Situbondo, para pekerja perlu menyiapkan fisik yang kuat.
Memungkinkan kerja dari jam 5 pagi sampai jam 5 sore
Meski ada yang memilih untuk kerja dua laotan, tak jarang ditemui buruh tani yang rajinnya kebangetan. Mereka bisa mulai kerja dari jam 5 pagi hingga jam 5 sore. Dengan istirahat yang mereka ambil untuk salat dhuhur dan ashar, anggep aja dalam sehari mereka bekerja kurang lebih 10 jam. Ada ekstra dua jam kerja dibanding buruh tani yang kerja dua laotan. Ekstra jam kerja artinya tambahan garapan dan ekstra pendapatan.
Buruh tani yang rajin seperti ini hasilnya melebihi yang hanya ambil dua laotan tadi. Anggap saja satu jam kerja dihargai Rp10 ribu. Ekstra 2 jam kerja berati ada tambahan sekitar Rp20 ribu. Dalam sehari, totalnya udah nyampe Rp100 ribuan. Sebulannya itung aja sendiri.
“Tapi, kan, nggak setiap hari mereka dapet kerjaan?” Hmm. Setahu saya, buruh tani yang rajin kerja dari jam 5 pagi sampai jam 5 sore itu sering jadi orang kepercayaan para petani. Dia sering dipasrahi tanggung jawab untuk mengelola berkotak-kotak lahan milik petani yang seringnya mageran.
Nah, dari lahan yang dikelola itu, dia mendapat dua sumber pendapatan. Pertama, aktivitas operasional seperti pemberian pupuk, tanam, pemberian obat, menyiangi rumput, hingga panen. Kedua, duit bagi haril dari petani yang memasrahkan sawahnya pada mereka.
Upah bisa semakin besar kalau kerjanya cepat
Buruh tani yang punya jam terbang tinggi bisa mengerjakan lahan secara cepat. Ini memungkinkan sebab pekerjaan di sawah itu repetitif. Itu mengapa, sangat memungkinkan bagi buruh tani yang rajin untuk mengerjakan banyak hal dalam satu laotan.
Kebetulan, si buruh tani yang rajin ini tetangga saya. Rumahnya jadi markas utama dari buruh-buruh tani yang sering diajaknya bekerja. Setiap malam, mereka membagikan-bagikan upah harian di rumah itu. Karena sering mengantar bayaran, saya kadang nggak sengaja mendengar saat mereka menghitung penghasilan hariannya. “Tos seket ebu (Rp150 ribu)”, “Duratos (Rp200 ribu),” dan seterusnya.
Sekarang, coba deh jumlahin. Anggep aja rata-rata upah harian si buruh yang rajin betul ini mencapai Rp150 ribuan. Dalam sebulan, bisa dapat sekitar Rp3,9 jutaan. Itu sudah dipotong oleh 4 hari libur kerja dalam sebulan lho.
Lumayan kan? Angka itu mungkin bisa lebih tinggi dibanding mereka yang bekerja dalam ruang AC, berseragam, dan suka nyinyir dengan pekerjaan buruh tani.
Jadi, kalau ada warga Situbondo yang bingung mau kerja apa, mending balik ke desa-desa dan coba “apply job” di industri yang bertanggung jawab untuk ketahanan pangan dan keberlanjutan umat manusia ini. Lumayan daripada harus ke-pressure target dan lembur yang nggak dibayar itu~
Penulis: Firdaus Al Faqi
Edit: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
