Bulan Ramadan dan Lebaran Membuat Banyak Orang Indonesia Jadi Auto Pengusaha

pengusaha lebaran

pengusaha lebaran

Jadi auto-pengusaha. Kok bisa? Di bulan puasa melakukan kegiatan seperti hari-hari biasa saja beratnya nauzubillah—kok ya bisa-bisanya jadi pengusaha? Jumlahnya banyak lagi—bukan hanya satu dua orang yang beralih profesi.

Sebelum berbuka puasa ada kebiasaan yang banyak dilakukan oleh orang-orang di Indonesia—ngabuburit. Semacam kegiatan yang dilakukan untuk menantikan azan Maghrib tiba. Banyak sekali kegiatan yang bisa dilakukan—seperti sekedar main kerumah tetangga melihat sedang masak apa dengan harapan saat pulang ke rumah bawa piring yang sudah berisi.haha. Bisa juga duduk di pinggir jalan bersama teman membicarakan si B dan A yang sedang menjalin asmara dan kemudian muncul orang ketiga—sungguh julid adalah nikmat yang ditentang oleh Tuhan namun tetap saja sering dilakukan~

Ada juga yang ngaburit dirumah sekedar menonton tv, dan versi manusia pencari pahala biasanya menghabiskan ngabuburit nya dengan membaca Alquran sampai khatam. Ada lagi golongan yang senang sekali ngabuburit jalan-jalan membeli makanan dipinggir jalan.

Nah ini, bulan Ramadan banyak sekali para penjual makanan yang muncul di pinggir jalan. Bahkan ada pasar yang buka sore hari di bulan Ramadan—pasar yang tidak ada jika tidak bulan puasa, hanya semacam pasar kaget yang beroperasi satu bulan. Di dalamnya banyak sekali penjual yang menjajakan berbagai macam makanan. Beberapa makanan jarang bahkan sulit ditemuin jika tidak bulan suci, seperti contohnya kolak pisang.

Namanya juga orang puasa, banyak haus matanya. Semua ingin dibeli mengingat sebentar lagi azan Maghrib tiba dan dengan oke-sip-nya memberi makan si perut kosong hingga kenyang. Padahal sesampainya di rumah es teh dan dua buah gorengan sudah cukup untuk buka puasa sebelum makan nasi. Maklum orang Indonesia, belum makan jika belum terisi nasi.

Itulah mengapa banyak pengusaha bermunculan saat bulan Ramadhan. Bayangkan saja di pinggir jalan melihat es buah yang menggoda? Siapa yang tidak tertarik coba. Ya syukur jika usaha terus berlanjut meski Ramadan usai. Namun disayangkan para pembeli pasti tidak senafsu untuk membeli ini itu saat hari-hari biasanya—mengingat perut berisi hingga nafsu mata tidak separah seperti saat bulan Ramadan.

 

Selain makanan yang merupakan kebutuhan pokok, pakaian juga merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi—ditambah lagi tidak sedikit orang ingin mengenakan baju baru saat lebaran. Kebiasan ini membuat pembelian pakaian naik seketika.

Tiap orang ingin tampil maksimal saat lebaran karena akan banyak bertemu sanak saudara. Syukur-syukur diselipin amplop kan ya saat pulang—yang sangat disayangkan saat sudah tidak dapat THR yang diharapkan, malah mendapatkan banyak pertanyaan—wabilkhusus untuk seorang anak rantau.

Kuliah dimana?

Semester berapa?

Oh semester tua, skripsi sudah sampe mana?

Kapan wisudanya?

Sudah punya pacar?

Rencana nikah kapan?

Sudah kerja?

Kerja di mana?

Gaji berapa ?

Duh Gusti, cobaan berat macam apalagi ini. Mengapa sulit sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan ini—mengapa lebih sulit dari analisis skripsi? Mengapa mereka yang melontarkan pertanyaan itu seketika terlihat seperti dosen yang akan menguji saat sidang?

Selain itu, saat lebaran pasti banyak sekali nastar yang terjajar di ruang tamu. Ini adalah salah satu peluang bisnis luar biasa saat bulan Ramadan. Tidak semua emak-emak bisa membuat kue, tidak semua juga mau membuat kue—jadilah yang bisa dan juga rajin ditambah dengan otak yang berputar memikirkan bagaimana mendapatkan cuan ya tentu saja jualan kue. Harga kue tidak bisa dimasukkan kedalam list murahan, ngomong-ngomong.

Bahan-bahan  kue yang cukup terbilang mahal, dan kesabaran si pembuat pun harus diperhitungkan. Tahu kue lapis legit?Iya, yang berlapis-lapis itu. Ampun membuatnya lama sekali ditambah harus sekali sabar untuk menuangkan adonan kue yang tidak bisa sekaligus seperti bolu. Satu lapis jika sudah tidak terlalu encer baru kembali menuang adonan diatasnya dan begitu seterusnya. Sehingga dinamakan kue lapis dan harganya cukup lumayan oke, penasaran? Coba saja ke toko kue dan beli untuk lebaran nanti.

Ramadan Kareem membawa banyak berkah ya selain pahala yang dilipat gandakan—rejeki pun berjalan lancar. Wait, sehabis puasa muncul lebaran—lalu THR pun diharapkan. Namun yang amat disayangkan banyak pula orang tua yang hanya memberi ucapan untuk kalangan yang sudah tidak bisa dikatakan anak-anak lagi.

“Yang  sudah besar tidak usah ya”.

Hancur seketika harapan mendapatkan uang jajan tambahan, jika dipikirkan dengan seksama menggunakan perkiraan dana kehidupan yang akurat—justru yang sudah besar inilah yang lebih membutuhkan THR.

Anak kecil untuk apa sih? Es krim? Mainan? Duh dek, kebutuhan kami lebih banyak, apalagi mahasiswa tingkat akhir ini—kan lumayan uang THR untuk menambah dana mencetak skripsi yang berulang kali kena coretan dosen. Coretannya sedikit, nge-print-nya mengulang lagi dari awal, dana yang dikeluarkanpun ya berulang-ulang.

Satu lagi komplotan pengusaha yang banyak bermunculan meski Ramadan usai dan lebaran datang, penjual mainan. Apa sih yang diinginkan anak-anak jika memegang uang yang menurut mereka banyak? Ya mentok-mentok beli mainan. Nah, si anak yang merasa duit THR adalah milik mereka sepenuhnya jelas saja terserah mereka juga ingin menghabiskannya bagaimana.

Saya pun pernah menjadi korban peluang memanfaatkan momen lebaran. Saya menjadi pengusaha mainan anak seketika—duh ilehhh pengusaha. Padahal hanya jualan sekitar semingguan—tapi jangan salah loh, keuntungan yang didapatkan lumayan.

Si anak jika tidak melibatkan orang tua dalam transakasi jual beli mainan tentu saja sangat menguntungkan si penjual. Orang tua jika menawar bisa setengah harga bahkan ada saja penjual dadakan seperti saya yang tidak mendapatkan keuntungan dari satu mainan yang mereka tawar—tanpa menunggu si penjual setuju tapi pembeli melemparkan uang di atas mainan yang dijejerkan.

Untung saja  masih momen lebaran—waktunya saling memaafkan. Tidak mengapa, aku sebagai penjual tidak mendapatkan keutungan dari mainan yang kau beli. Doakan saja banyak anak yang akan datang tanpa mengajak orangtuanya—apalagi seperti ibu yang tipenya memaksa—duh.

Hidup pengusaha sementara—semoga hidup kita tidak terjajah oleh pembeli yang maunya menang sendiri.

Exit mobile version