Budaya Palli-palli dan Kerja Keras Orang Korea

Budaya Palli-palli dan Kerja Keras Orang Korea Terminal Mojok

Budaya Palli-palli dan Kerja Keras Orang Korea (Unsplash.com)

Merasakan atmosfer sibuknya Stasiun Seoul 2018 silam memang menjadi kenangan yang masih teringat jelas sampai sekarang. Saya sempat hanya terbengong di salah sudut stasiun dan melihat betapa cepatnya orang Seoul bergerak.

Salah satu realitas kehidupan asli Korea adalah budaya palli-palli (cepat-cepat) dan bekerja keras. Kosakata palli-palli ini juga sering kita dengar dalam drakor, kok. Biasanya orang Korea akan mengucapkannya ketika menyuruh makan cepat-cepat biar nggak keburu dingin misalnya.

Orang Seoul nggak bisa santuy

Nggak hanya stasiun, bahkan sewaktu di pasar, saya melihat bagaimana orang Seoul berjalan dengan nggak santai. Saya yang berjalan biasa saja, cenderung pelan untuk menikmati pemandangan Seoul, akhirnya memilih untuk mepet ke tembok tangga daripada terseok-seok dan mengganggu pengguna tangga lainnya. Kalau di eskalator, mau tak mau saya ikut berjalan kalau orang di depan saya juga berjalan. Kalau berhenti, saya takutnya mereka bakal sewot dan ilfeel. Ternyata berjalan cepat seperti itu sudah sangat biasa di Seoul, lho.

Sewaktu makan di restoran, orang Korea juga menyajikannya dengan cepat dalam hitungan detik. Bus dan kereta pun datang tepat waktu. Sepertinya orang Korea nggak mau merasa rugi karena membuang-buang waktu.

Orang Korea terbiasa dengan ritme cepat. Mereka berusaha menyelesaikan segala sesuatu dengan cepat. Ketika pekerjaan yang satu sudah selesai, mereka bisa melanjutkan pekerjaan lainnya. Bersantai setelah selesai satu pekerjaan? Jangan harap. Orang sekitar pasti akan bertanya, “Kenapa kamu istirahat dan santai? Bukankah masih ada pekerjaan yang lain?” Setelah lama tinggal di Korea, kebiasaan ini akan membuat diri sendiri merasa bersalah dan berdosa kalau bersantai. Segitunya lho, Gaes.

Melakukan sesuatu dengan cepat-cepat atau buru-buru (palli-palli) memang menjadi budaya di Korea setelah kemerdekaannya. Budaya ini memang awalnya dijadikan sebagai gerakan untuk bergerak dengan cepat mencapai target agar bisa menyusul negara lain yang sudah duluan maju. Terbukti kan, Korea akhirnya bisa lebih maju dan unggul di beberapa aspek kehidupan, mulai dari industri mobil, elektronik, sampai kecepatan internet di sana sudah menjadi bukti bahwa Korea memang bisa maju berkat budaya palli-palli ini.

Namun, hidup di Seoul katanya bikin orang-orang di sana susah bisa tidur nyenyak, lho. Bayangkan saja, mereka pulang kerja larut malam dan harus berangkat kerja pagi-pagi lagi. Bagi beberapa orang, bisa tidur nyenyak dan tidur dalam jangka waktu yang lama juga jadi salah satu dosa karena membuang-buang waktu, lho. Astaga.

Menurut data, tingkat stres orang Seoul itu tinggi, bahkan tingkat bunuh diri di Korea juga terhitung tertinggi di Asia. Orang Seoul sendiri merasa mereka nggak bisa menikmati hidupnya meski punya banyak uang. Gara-gara hal tersebut, banyak juga yang akhirnya memilih meninggalkan Seoul dan pindah ke wilayah Korea lainnya seperti Pulau Jeju atau Desa Gongjin, Pohang, yang jauh lebih santuy kehidupannya. Mungkin biar kayak Hye Jin dan Hong Du Shik Hometown Cha-cha-cha, ya, gaes.

Nggak normal kalau nggak capek

Selain budaya palli-palli, hal yang sangat normal di Korea adalah harus sibuk dan bekerja keras. Orang Korea harus memiliki etos belajar dan bekerja yang totalitas. Salah satu alasannya ya karena tingkat persaingan di sana sangat ketat. Industri dan pemerintah Korea sukses menciptakan sistem dan budaya persaingan ketat ini lho, Gaes.

Untuk bisa naik jabatan dalam sebuah perusahaan saja, mereka harus bersaing dengan karyawan lainnya dalam hal inovasi, terobosan, marketing, dll. Setiap saat harus sibuk dan capek. Bahkan sapaan saat bertemu rekan kerja biasanya, “Kamu pasti capek, ya?” sambil memberikan kopi untuk menyemangati, misalnya. Lembur adalah hal biasa dan jadi makanan harian di sana. Makanya, minum soju setelah pulang kerja jadi hal biasa yang dilakukan orang Korea untuk mengusir stres karena pekerjaan.

Para idol group juga nggak kalah ketat persaingannya, lho. Mereka harus ikut training selama bertahun-tahun, bahkan kalau lolos untuk debut pun mereka masih harus bersaing dengan idol group lainnya. Mereka juga harus tetap berlatih, berinovasi, dan mempertahankan kualitas nilai jual khas mereka. Membentuk “fans club” dunia agar bisa menyapa dan mengekslusifkan penggemar. Pokoknya semua hal dilakukan agar terus mendapat dukungan dari semua pihak. Bahkan, aktor dan aktris terkenal pun tetap berlatih akting meski sudah dianggap bagus sekalipun. Persaingan casting pun ketat dan nggak sembarangan, Gaes.

Dan yang paling mengerikan menurut saya sih persaingan ketat di dunia pendidikan Korea. Sekolah dengan sistem ranking dan ujian setiap minggu/bulan untuk menentukan ranking siswa di sekolah adalah hal yang sangat wow. Siswa Korea juga belajar sampai 16 jam sehari dan ikut les sana-sini sepulang sekolah. Mereka harus ikut ujian suneung (semacam SNMPTN) yang hanya diadakan setahun sekali kalau pengin masuk universitas negeri favorit. Nggak sedikit lho siswa yang berkali-kali ikut tes ini akhirnya memilih untuk bunuh diri karena stres dan dianggap sampah masyarakat.

Hmmm, ternyata seperti itu ya budaya palli-palli dan kerja keras orang Korea. Kesannya memang mengerikan, sih, tapi ada juga kok positifnya. Orang Korea jadi terbiasa disiplin dan menghargai waktu serta totalitas dalam mengerjakan sesuatu. Kira-kira kalau di Indonesia, bisa diterapkan juga nggak ya budaya seperti palli-palli ini?

Penulis: Primasari N Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version