Membully bucin memang menggemaskan. Dulu, saya termasuk orang yang gemar sekali melabeli teman-teman saya dengan sebutan ‘bucin’. Lihat teman nyetatus galau langsung saya ledekin bucin. Teman curhat belum bisa move-on saya bilang bucin. Teman susah dihubungi karena kelamaan kencan juga saya bilang bucin. Pokoknya, dikit-dikit bucin.
Sampai akhirnya saya mendapat tanggapan yang cukup menohok. Waktu itu saya sering guyon mengomentari status galau teman saya dengan kalimat, “Ah, bucin lu”. Biasanya dia hanya membalas dengan emoticon tertawa ngakak atau monyet tutup mata tanda malu. Tapi, pada saat itu dia membalas, “Bucin bagi seseorang yang ditinggal H-1 lamaran itu beda”
Makjleb! Saya langsung speechless membayangkan bagaimana sakitnya ditinggal calon tunangan. Apalagi, itu terjadi H-1 di mana semua persiapan acara pasti sudah beres. Saya nggak bisa bayangkan kalau teman saya itu harus menjual lagi cincin tunangannya, membatalkan sewa dekorasi, katering, dan perintilan-perintilan yang lain. Yang lebih menyakitkan bin memalukan, membayangkan bagaimana teman saya menjelaskan gagalnya acara tunangan itu kepada keluarga terdekat yang terlanjur diundang.
Lalu saya teringat banyaknya kasus serupa yang dihadapi banyak orang dalam urusan memperjuangkan cinta. Mulai dari di-ghosting pas sudah mulai sayang-sayangnya, diputus sepihak karena adanya orang ketiga, hingga gagal menikah akibat terhalang restu orangtua.
Semua permasalahan tersebut memang klise dan sangat familiar kita saksikan dalam film. Tapi, bayangkan jika kita sendirilah yang menjadi korbannya. Melampiaskan kesedihan lewat status galau mungkin bisa sedikit melegakan. Tapi, jika ada teman yang tiba-tiba nge-judge bucin, halu, baper, drama, rasanya itu seperti sebuah pelecehan.
Saya jadi merasa berdosa pernah menjadi kaum yang kurang toleran terhadap para pejuang cinta (bucin) ini. Niatnya sih becanda. Padahal, kelamisan lambe ini bisa bikin mereka insecure hingga susah tidur. Alih-alih mengingatkan agar tak larut dalam kesedihan, ternyata malah bikin mereka semakin terpuruk dan meresa tak ada yang bisa memahami.
Teman saya yang lain sampai berubah lantaran sering saya ledekin bucin. Sikapnya mulai berubah dingin, jarang balas chatting, hingga membisukan statusnya dari saya. Tak ingin lama-lama perang dingin, saya pun bertanya memastikan, “Kamu marah nggak sih kalau aku ledekin bucin?”
Dia langsung ngegas, “YA IYALAHH!!!”
Kemudian, teman saya curhat kalau dia baru saja ditinggal kekasihnya yang pernah menjanjikan rencana pernikahan. Bukannya menepati janji, si lelaki yang asudahlah itu malah tiba-tiba ngilang tanpa pamitan. Wajar dong kalau teman saya jadi merana ditinggal kekasih yang tak tahu kabarnya itu. Ndilalah saya yang kurang toleran ini malah berkali-kali menyebutnya bucin. Saya jadi merasa sangat bersalah.
Hingga akhirnya muncul kesadaran dalam diri saya. Bahwa sebagai manusia ya wajar-wajar aja mau sedih, murung, nangis sambil gulung-gulung, hingga memenuhi timeline dengan status galau. Setiap orang punya ketahanan mental yang berbeda-beda, sehingga dalam melampiaskan kesedihannya pun beraneka ragam. Yang pasti, asal nge-judge bucin sampai menyuruh mereka bertindak sewajarnya saja, karena ada hal yang lebih menyedihkan dari itu tentu hal yang keliru. Sebab, tidak ada tingkat kerecehan dari setiap kesedihan. Semua emosi yang kita rasakan itu valid, termasuk perasaan sedih karena mencintai the people that we can’t have.
Kadang menghadapi teman-teman bucin memang sedikit ngeselin. Di satu sisi ingin mencoba berempati, tapi di sisi lain kok ya mereka itu kadang terlalu halu. Saya pernah menghadapi seorang teman yang menurut saya mempunyai tingkat kehaluan di atas ambang batas normal.
Ceritanya, si cowok curhat ke saya kalau dia ingin putus. Tapi, rencana itu selalu gagal karena si cewek yang merupakan teman saya selalu menafikan kenyataan. Si cowok berkali-kali minta putus karena dia tidak bisa memberi kepastian untuk hubungan itu. Lebih baik ceweknya bersama lelaki lain, agar tidak menjadi bahan gunjingan keluarga dan tetangga. Eh, si cewek membalas dengan penuh keshalihan, “aku tidak peduli apa kata orang. Pokoknya aku yakin sama kamu dan aku mau nunggu kamu sampai kapan pun”
Saya tertegun mendengarnya. Jelas-jelas yang laki nggak mau lanjut karena hal yang jelas-jelas masuk akal. Tapi apa daya, pacar kesayangannya saja sudah tak didengarkan. Apalagi diriku yang hanya butiran debu?
Yang lebih menyebalkan, teman perempuan saya itu malah berkata penuh keyakinan, “Iya, dia memang berkali-kali ingin menyudahi hubungan ini. Tapi aku selalu meyakinkannya kalau kita bisa melanjutkan. Pokoknya doakan saja. Tahu-tahu nanti aku kasih undangan kayak Raisa sama Hamish. Teko tenang, tinggal madyang”.
Saya speechless mendengarnya. Dalam hati saya kasihan. Setidak-logis inikah saat seseorang dimabuk cinta? Dalam hati pula saya mengatainya, tapi kemudian saya istighfar.
Astaghfirullahaladzim, yang salah itu si cowok. Kenapa dia tidak tegas kalau memang beneran mau putus? Kenapa masih memberinya harapan kalau kenyataannya tidak ingin melanjutkan? Teman perempuanku itu mungkin sedang diliputi kehaluan. Tapi, membiarkannya terbuai fantasi sambil terus-terusan menyebutnya ‘bucin’ juga tak terlalu membantu. Lebih baik saya menyediakan waktu untuk lebih memahami dengan bercerita dari hati ke hati. Pasti ada alasan dibalik setiap kebucinan dan kehaluan. Dari situlah kita bisa berbagi perspektif agar berlaku secara bijak.
Sebab, kisah cinta para bucin ini sudah ‘terlalu’ mengenaskan. Jangan tambahi dengan nyinyiranmu yang menjatuhkan. Tanpa pernah kita tahu, satu kata yang asal nyeplos dari mulut kita ternyata bisa mereka ingat hingga bertahun-tahun lamanya.
BACA JUGA Nebak Karakter Orang dengan Modal Stalking Instagram dan tulisan Riris Aditia N. lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.