Istilah bucin atau budak cinta belakangan ini sering disebut-sebut sebagai ungkapan yang menggambarkan perilaku kecintaan seseorang yang kebablasan sampai-sampai kehilangan jati diri. Kalau pembelaan teman saya sih “cuma jomblo yang bilang begitu”—kan saya jadi ingin berkata kasar. Dasar parutan kelapa! Tapi ada juga yang bilang dengan adanya istilah bucin, kata ‘tulus’ jadi kehilangan tempat—hiyaa hiyaa mashoook, Pak Ekooo~
Jadi sobat Terminal Mojok, sudahkah kamu mendeklarasikan diri sebagai Bucin Club atau Anti Bucin-Bucin Club? Ngomong–ngomong, itu gerakan baru yang muncul akibat fenomena bucin belakangan ini. Saya juga tahunya dari Kang Emil a.k.a Ridwan Kamil dari postingan di Instagram beberapa waktu lalu.
Fenomena bucin ini dimaknai sebagai ketumpulan berfikir masyarakat milenial—terutama kalangan remajanya. Bucin itu memang benar adanya terjadi ketika seseorang yang mencintai orang lain tentu saja ia akan melakukan apa saja yang membuat seseorang yang dicintainya bahagia—rela berkorban untuknya tapi tidak untuk orang lain karena merasa mereka lebih penting dari hal lain disekitarnya serta melakukan semua itu dengan tulus. Yap, dengan tulus.
Lalu barisan para bucin, “Boleh juga kau, Ferguso”. Eitss, tunggu dulu—yang ingin saya sampaikan adalah konteks ketulusan seperti inilah yang kemudian menjadi alat pembenaran atas segala hal yang mereka lakukan, sekali pun hal tersebut setidaknya terlihat seperti membodohi diri sendiri.
Coba deh lihat fenomena yang terjadi sekarang ini, bucin telah bereformasi menjadi lebih kejam—obsesi menjadi jauh lebih mendominasi—dan bucin ini mulai gencar melakukan ekspansi. Mereka ini menjadikan tulus sebagai pembelaan terhadap perilaku mereka yang sesungguhnya kebablasan. Misalnya, mereka tiba-tiba menjadi pengabdi setan pasangan seolah-olah pasangannya adalah makhluk Tuhan paling suci yang tidak pernah salah—dan kita para jomblo yang penuh dosa (bukan curhat ya gaes)—bagian yang salah adalah mereka menemukan seseorang tapi kehilangan diri mereka sendiri.
Mereka juga akan melakukan apa saja untuk pasangannya—tidak peduli benar atau salah—mereka rela berkorban tanpa batas. Gunung akan didaki, laut pun mereka seberangi—ya setidaknya mereka totalitas, totalitas begonya~ (kalimat ini mengandung humor).
Entah bagaimana sampai pada akhirnya mereka kehilangan cara berpikir logis dan rasional. Hal ini lebih mirip obsesi, mereka akan sangat bergantung pada pasangannya mengenai hal apapun. Dan yang lebih mirisnya lagi adalah memiliki perasaan bahwa mereka memang sudah seharusnya ditakdirkan bersama. Jadi, kamu itu mencintai atau terobsesi? Kemudian pasukan Anti Bucin-Bucin Club bersorak “Sadarlah kau, Wahai Alejandro, masa jahiliyah sudah berlalu.”
Bucin juga punya kelasnya sendiri loh—dari yang kelas teri sampai kelas Paus. Dalam kehidupan sehari-hari berita pembunuhan, penganiayaan, bunuh diri maupun depresi yang dipicu oleh masalah percintaan juga mulai memadati portal-portal berita tanah air—dari media online hingga televisi, dan tentu saja tim forward grup-grup Whatsapp. Salah satu yang paling ramai diberitakan dan sempat menjadi hits media belakangan ini adalah kasus Audrey, penganiayaan dan bullying yang dilakukan oleh sesama siswa SMA karena dipicu oleh masalah percintaan remaja.
Dalam pemberitaan lainnya misalnya, kabar pembunuhan seorang mahasiswi di Singaraja, Bali, bernama Ni Made Serli Mahardika (20) yang dibunuh dengan dicekik oleh kekasihnya sendiri berinisial KIJ (21) akibat cemburu karena korban sering terlihat kongkow-kongkow manja dengan laki-laki teman kuliahnya. Kasus lainnya, begal dan pembunuhan di Palembang yang dilakukan oleh Wahyu terhadap selingkuhan kekasihnya karena dilandasi perasaan cemburu. Tidak ketinggalan, kasus pembunuhan seorang mahasiswi UPN Yogyakarta bernama Annisa (23) yang dibunuh oleh kekasihnya sendiri, Sandra Saputra (28) karena merasa dibohongi setelah korban mengaku sebagai single di aplikasi TikTok—ini salah satu aplikasi remaja milenial juga—yang sebenarnya telah memiliki kekasih.
Lebih seram lagi salah satu kasus di Jepang oleh Yuka Takaoka dengan menikam pria yang dicintainya agar tak dapat dimiliki oleh orang lain kemudian berencana bunuh diri setelahnya agar mereka sama-sama tidak bersama orang lain. Ya untungnya kekasihnya berhasil diselamatkan setelah ia sendiri menghubungi kepolisian—sungguh upaya pertolongan yang hakiki. Ini adalah contoh bentuk perpaduan antara bucin dan obsesi. Ketahuilah bahwa kedua istilah tersebut memiliki perbedaan yang sangat tipis dan sulit dibedakan.
Berbanggalah bagi kalian yang mendeklasikan diri atau terpaksa dinobatkan sebagai jomblo—apalagi Jomblo di jalan Allah. Ahsiiapp~ Bahwa barang siapa yang menghindari bucin, niscaya anda berada di jalan yang lurus. Mencintai seseorang dan berkeinginan untuk melakukan apa saja untuk si doi adalah suatu hal yang wajar—sangat wajar. Namun cobalah pahami bahwa mencintai diri sendiri bukan sesuatu yang sekedar wajar tapi suatu keharusan.
Katanya cinta memang butuh pengorbanan. Tapi karena terlalu mencintai, banyak orang yang lupa di mana batasan dan kapan harus berhenti berkorban—terutama kalangan remaja yang masih terus belajar caranya menjadi alayers sejati. Nyatanya kehidupan tidak semata-mata tentang ‘cinta’. Bukankah usia muda seharuskan dihabiskan untuk melakukan hal-hal yang lebih produktif dan berfaedah? Hubungan itu dibangun untuk memberikan kita rasa nyaman, tenang, dan bahagia, untuk membuat diri kita berkembang dan belajar. Maka, jadikanlah demikian adanya.
Percayalah, seseorang yang benar-benar mencintaimu akan menghargai dirimu sepenuhnya. Jadikanlah ia pemacu untuk menemukan versi terbaik dari dirimu—bukan malah sebaliknya. Belajarlah bersikap adil pada dirimu sendiri—jangan mengkhianati dengan bersikap bodoh untuk tidak menghargai hidup dan peluangmu sendiri karena tak ada yang dapat menyelematkan kamu selain dirimu sendiri. Sejatinya cinta itu tidak ada yang berlebihan, jika memang ada yang mengatakan demikian. Disebut berlebihan apabila di antara yang saling mencintai tidak dapat mengimbangi satu sama lain, maka disaat kita berjuang sendiri seharusnya kita faham kapan harus berhenti dan lebih menghargai diri sendiri.
Jika kamu berfikir bahwa menyakiti orang lain adalah konsekuensi dari menghargai dirimu sendiri, cobalah tata ulang fikiranmu—bagian mana yang salah. Banyak sekali orang yang mau menghargai kita dunia ini, tapi peduli mereka sering kali dianggap sebagai halangan cinta si bucin ini untuk bersatu dengan pasangannya—bahwa orang lain tidak suka melihat mereka bahagia. Pemikiran yang dangkal seperti ini sering kali menyerap sampai membuat otak dan rasionalitas mereka berhenti bekerja.
Maka sebagai sesama generasi muda, mari saling mengingatkan. Sudahkah kita menghargai dan mencintai diri kita sendiri?