Sudah menjadi hal yang umum terlihat dan terjadi di masyarakat. Sungai-sungai di desa maupun kota hampir tidak bisa dibedakan. Bekas popok bayi sekali pakai dari berbagai merek, menjadi sampul penghias aliran sungai. Jembatan sebagai jalur penyeberangan, merupakan tempat yang paling nyaman, untuk melempar limbah popok, tanpa repot-repot melinting celana dan mengotori sandal dengan lumpur sungai. Walaupun tidak setiap sungai serendah itu harga dirinya.
Sebagaimana yang saya lihat dari laman m.jpnn.com gubernur Jatim, Bu Khofifah sampai mencetuskan kebijakan program 99 jembatan bebas popok sebagai solusi atas masalah ini. Menurut saya kebijakan ini terjadi karena pembuangan popok bayi ke sungai merupakan masalah yang semakin meluas dan membudaya di masyarakat.
Upaya menghanyutkan popok bayi pada aliran sungai merupakan hal yang mudah dilakukan. Coba bandingkan dengan mengubur atau membakar, jelas minimal effort.
Upaya membakar limbah popok juga terhalang oleh beberapa hal, limbah popok merupakan sampah basah yang sulit terbakar, kandungan gel yang mengandung daya serap air yang sangat kuat membuatnya sulit mengering dan tidak mudah terbakar jika tekanan api kecil, selain itu upaya pembakaran popok bayi terhambat oleh mitos yang berlaku di kalangan masyarakat Jawa.
Mitos bakar popok bayi
Selain itu, ada masalah lain yang ikut menghantui. Betul, mitos. Tepatnya, mitos membakar popok. Konon katanya, membakar popok bikin pantat si bayi melepuh secara tiba-tiba. Kebenarannya tentu saja amat diragukan.
Sebagai orang Jawa, mitos mengenai larangan untuk membakar pakaian—dalam hal ini, popok—sudah terdengar sejak saya masih kecil. Wewaler atau larangan merupakan salah satu nasihat atau pitutur luhur orang Jawa, didukung dengan ucapan “ora ilok” (tidak baik) berlaku pada berbagai macam kegiatan yang salah satunya adalah membakar pakaian.
Sudah bisa diduga, pembuangan popok bayi ke sungai dilakukan orang tua atau kerabat bayi atas dasar patuh pada nasihat, juga karena takut akan datangnya musibah. Betul, patuh pada nasihat memang baik dan memang merupakan anjuran bagi orang Jawa apalagi nasihat orang tua dan leluhur. Tetapi kebaikan sesempurna apa pun tetap ada kurangnya (walau sedikit).
Kenapa membuang popok ke sungai? Karena tidak mau membakarnya, kenapa tidak dibakar? Karena patuh pada nasihat dan takut mendatangkan musibah.
Nah, ini uniknya.
Memayu hayuning bawana
Disadari atau tidak, pelaku tersebut sama saja melanggar petuah Jawa yang berbunyi Memayu Hayuning Bawana yang artinya kurang lebih berbuat baik atau selaras dengan alam semesta seisinya. Sungai adalah sajian dari alam semesta yang seharusnya dimanfaatkan sebagaimana mestinya, seperti mengairi sawah dan menampung aliran air hujan. Kejernihan air perlu dijaga agar hewan-hewan mendapat kenyamanan, dan bisa juga dimanfaatkan untuk mandi dan minum, jika airnya benar-benar bersih.
Saya jadi teringat nasihat Bu dokter saat masih SD, dilarang mandi di sungai karena airnya kotor, yang jelas kotor, karena dari dulu jadi tempat pembuangan popok bayi CS.
Saya berharap ke depannya ada solusi yang adil, yang dapat mendukung terlaksananya petuah Jawa yang satu tanpa membunuh petuah Jawa yang lain. Yang percaya dengan wewaler pembakaran popok boleh tetap percaya. Tapi tolong, minimal hormati maksimal laksanakan juga petuah yang satunya, Memayu Hayuning Bawana. Dan semoga berakhir dengan lestarinya budaya patuh nasihat dan lestarinya keseimbangan alam semesta.
Penulis: Septian Andri Santoso
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pengetahuan tentang Popok yang Wajib Diketahui Kawula Muda Sebelum Menikah dan Punya Anak