Tidak penting BSI dibilang “bank syariah terbesar” kalau kenyataannya untuk transfer uang saja bikin frustrasi
Saya adalah seorang aktivis ekonomi syariah. Sejak kuliah, saya aktif di Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI), sebuah organisasi mahasiswa yang bergerak dalam dakwah dan gerakan ekonomi syariah. Semangat itu terus saya bawa hingga hari ini, dengan bergiat di lembaga filantropi Islam serta berbagai aktivitas sosial untuk mendorong tumbuhnya ekosistem keuangan syariah di Indonesia.
Oleh karena itulah, saya sangat peduli dengan perkembangan perbankan syariah. Saya ingin perbankan syariah bukan sekadar besar secara aset, tetapi juga kuat secara pelayanan. Maka dari itu, saya punya concern serius terhadap BSI.
Katanya Bank Syariah Indonesia (BSI) adalah bank syariah terbesar di Indonesia, bahkan digadang-gadang sebagai “leader” perbankan syariah. Sebagai aktivis ekonomi syariah, saya seharusnya bangga. Namun, kenyataannya sering kali saya justru dibuat malu, panik, bahkan rugi akibat pelayanan dan teknologi yang amburadul.
BSI Mobile yang, aduh…
Mari mulai dari aplikasi mobile banking-nya, BSI Mobile (Byond). Rasanya sudah jadi rahasia umum kalau aplikasi ini lemot setiap saat. Gangguan harian sudah kayak menu wajib. Puncak rasa malunya muncul saat saya belanja di warung atau toko, mau bayar pakai QRIS. Bukannya cepat dan praktis, saya malah berdiri lama di depan kasir karena aplikasi tidak kunjung merespons.
Penjual mulai curiga, seolah-olah saya nggak punya saldo atau bahkan mau menipu. Orang-orang di belakang ikut menatap karena antrean jadi terhambat. Padahal masalahnya bukan di saya, melainkan di aplikasinya.
Saya yakin banyak orang pernah mengalami situasi serupa. Di era serba digital, kita terbiasa mengandalkan QRIS untuk transaksi kecil maupun besar. Harusnya ini jadi solusi praktis, tapi dengan BSI justru berubah jadi sumber stres. Bayar kopi lima belas ribu saja bisa bikin jantung deg-degan, bukan karena nominalnya, tapi karena aplikasinya tidak bisa dipakai.
Lemot bukan satu-satunya masalah. Beberapa kali saya alami transfer gagal, saldo terpotong, tapi dana tidak sampai ke rekening tujuan. Masalah semacam ini tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga secara psikologis. Bayangkan, saat transaksi penting malah macet, uang menguap sementara, dan yang ada hanya rasa panik.
Pelayanan di bank yang mengecewakan
Masalah serupa juga terjadi di layanan fisik. ATM BSI sering bikin kesal. Jarak antar satu ATM dengan ATM lain berjauhan, belum lagi sering error. Tak jarang layar ATM menampilkan tulisan “out of service.” Kadang mesin tidak bisa tarik tunai, kadang bermasalah saat setor. Ini bukan sekadar pengalaman pribadi, banyak kawan-kawan saya juga mengeluh hal yang sama. Bagi nasabah, kondisi ini jelas tidak nyaman.
Dari sisi pelayanan di bank juga tidak kalah mengecewakan. Sebagai tim keuangan di tempat saya bekerja, saya sering ke bank untuk urusan finance. Tapi antrean lama sekali, pelayanannya pun lamban, padahal kondisi bank tidak terlalu ramai. Bayangkan, hanya untuk tarik tunai saja harus menunggu berjam-jam. Di bank lain, urusan serupa bisa selesai lebih cepat. Jadi kenapa di BSI tidak bisa lebih efisien?
Lebih parah lagi, saya pernah mendapat cerita dari tim penghimpunan lembaga kami. Mereka setor tunai dengan nominal jutaan, tapi uangnya berupa recehan: seribuan, dua ribuan, hingga koin. Itu hasil donasi masyarakat yang harus disetorkan. Bukannya dilayani dengan ramah, teller BSI justru bersikap sedikit judes dan merendahkan, seolah-olah uang recehan itu tidak bernilai. Padahal, di situlah letak amanah: bagaimana memperlakukan titipan publik, sekecil apa pun bentuknya, dengan penuh hormat. Syariah bukan cuma soal akad, tapi juga sikap dan pelayanan.
Tak berhenti di aplikasi
Seorang teman saya bahkan punya pengalaman lebih parah. Ia berniat membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) adiknya di hari terakhir pembayaran. Transaksi gagal, saldo terpotong, tapi pembayaran tidak tercatat. Akibatnya, adiknya tidak bisa KRS-an, dan teman saya dituduh menggelapkan uang kuliah oleh orang tuanya. Padahal, itu saldo terakhir di rekeningnya. Lebih sial lagi, keesokan harinya adalah akhir pekan, sehingga kantor bank tutup.
Untung pihak kampus masih memberi toleransi setelah dijelaskan, kalau tidak adiknya bisa terancam cuti kuliah. Namun tetap saja, BSI baru mengembalikan saldo maksimal 14×24 jam. Bayangkan, untuk urusan sepenting itu, butuh dua minggu hanya untuk mengembalikan uang sendiri.
Masalah tidak berhenti di aplikasi mobile. Internet banking BSI (Cuz.BSI) juga tak kalah menyedihkan. Di tempat saya bekerja—sebuah lembaga filantropi Islam—kami menggunakan BSI untuk payroll karyawan dan berbagai transaksi ke mitra. Tapi setiap kali melakukan transfer ke banyak penerima, lemotnya minta ampun. Tak jarang gagal total. Bukan sekadar menghambat kerja, tapi merusak kepercayaan mitra dan penerima manfaat yang menunggu pencairan dana. Untuk lembaga filantropi, ini jelas berbahaya. Sebab yang kami kelola adalah amanah publik. Begitu transfer tersendat, reputasi lembaga ikut dipertaruhkan.
Ironis, bank yang mengklaim paling syariah justru kalah dalam aspek pelayanan. Syariah seharusnya bukan sekadar label atau jargon. Syariah adalah soal amanah, transparansi, dan keadilan. Kalau urusan transaksi dasar saja gagal berulang kali, di mana letak prinsip amanahnya?
Sebagai nasabah, kami tidak butuh jargon atau branding megah. Tidak penting BSI dibilang “bank syariah terbesar” kalau kenyataannya untuk transfer uang saja bikin frustrasi. Kami butuh layanan lancar, teknologi andal, dan kepastian transaksi. Itu saja.
BSI mentereng, tapi itu tidak penting
Saya pribadi sebagai aktivis ekonomi syariah jadi malu. Bagaimana mau meyakinkan orang bahwa sistem ekonomi syariah itu solutif, kalau bank syariahnya sendiri membuat nasabah frustrasi? Rasanya percuma berbicara tentang inklusi keuangan syariah, zakat digital, atau wakaf produktif kalau bank syariah nasionalnya justru kalah kualitas dibanding bank konvensional.
BSI memang punya status mentereng: merger tiga bank syariah, aset raksasa, branding nasional. Tapi status besar tanpa pelayanan yang mumpuni hanya jadi kebanggaan semu. Ketika nasabah berulang kali mengalami kerugian dan kekecewaan, wajar jika kepercayaan publik terhadap perbankan syariah ikut tergerus.
Harapan saya sederhana: semoga BSI segera berbenah. Tidak perlu muluk-muluk dulu bicara tentang ekspansi internasional atau target-target besar. Selesaikan dulu masalah di dalam negeri: aplikasi mobile yang stabil, internet banking yang bisa diandalkan, ATM yang berfungsi, dan pelayanan bank yang menghargai nasabah. Kalau BSI bisa membuktikan diri di hal-hal dasar ini, barulah pantas disebut sebagai pemimpin perbankan syariah di Indonesia.
Penulis: Aliful Muhlis
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sebagai Anak Muda, Ini Alasan Saya Memakai Bank Syariah Indonesia (BSI)
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.


















