Bogor, Kota yang Nanggung karena Sulit Dijangkau Transportasi Umum, Harus Mampir Jakarta Dulu!

Hidup di Bogor Itu Nggak Seindah yang Ada di Bayanganmu, Udah Panas, Macet, Chaos! jakarta

Hidup di Bogor Itu Nggak Seindah yang Ada di Bayanganmu, Udah Panas, Macet, Chaos! (Ammar Andiko via Unsplash)

Siapa yang nggak tahu Kota Bogor? Kota yang dijuluki Kota Hujan ini sudah sangat dikenal banyak orang. Kalaupun ada yang nggak tahu, bisa jadi orang tersebut selama ini terasing di tengah hutan. Sebagai Kota Satelit, Bogor juga sering diasosiasikan sebagai kota yang hijau, romantis, dan punya banyak tempat untuk nongkrong. Hal itu membuatnya sering jadi tempat melepas stress bagi sebagian orang-orang di Jakarta.

Selain itu, karena banyak hotel dan resort, Kota ini juga sering jadi pilihan agenda pelatihan berhari-hari oleh perusahaan atau lembaga Kementerian (setidaknya sebelum efisiensi).

Tapi sadar nggak sih kalau sebenarnya Kota Bogor ini nanggung, terutama soal jangkauan terhadap transportasi publik lintas provinsi?

Bogor jarang jadi pemberhentian

Jadi begini, kalau diperhatikan, sangat jarang transportasi antarprovinsi memposisikan Bogor sebagai perhentiannya, baik sebagai kota perhentian sementara maupun perhentian terakhir.

Mulai dari pesawat deh. Di Bogor ini nggak ada bandara, sehingga kalau mau naik pesawat, tentu pilihan orang-orang ya mau nggak mau harus ke Bandara Soetta (Tangerang) atau Halim (Jakarta). Sebenarnya ini masih bisa diterima karena konteksnya kalau perjalanan jauh, apalagi luar pulau.

Tapi kondisi ini berlaku juga untuk kereta antarkota/provinsi. Ketika seseorang sedang di kota lain misalnya Solo, Jogja, atau Surabaya, kemudian ingin ke Bogor. Begitu membuka aplikasi tiket, hampir semua kereta berhentinya di Jakarta. Ya Stasiun Gambir atau Senen. Kadang Jatinegara. Kesannya kayak peta Jawa berhenti di situ.

Sementara Bogor nggak dianggap sebagai kota tujuan, cuma numpang disebut di rute KRL Commuter Line. Gambaran ini memberi kesan kalau ke Bogor, ya sudah lanjut aja sendiri!

Baca halaman selanjutnya

Bogor memang nanggung

Tapi secara geografis, terutama jalur kereta, Bogor ini memang nanggung. Dulu dia sempat punya peran lebih besar sebagai titik penting jalur kereta, sekarang praktis identitasnya direduksi jadi “ujung KRL”.

Bagi orang luar Jawa Barat, kondisi ini memang ribet. Bawa barang banyak, sama keluarga, ditambah anak-anak, kemudian harus menerima kenyataan kereta yang ditumpangi hanya berhenti sampai Jakarta. Selanjutnya harus pindah ke KRL. Harus beli kartu KRL atau topup e-money, antre lagi, masuk gerbong yang berpotensi lebih padat, terus menjalani rute tambahan satu sampai dua jam dengan posisi berdiri lagi.

Perjalanan jauh yang harusnya selesai dengan dramatis di sebuah stasiun kota tujuan, malah berakhir dengan fase mode survival + sabar di KRL.

Bus pun sama saja

Dari sisi bus AKAP juga kurang lebih punya gambaran yang hampir sama. Bogor memang punya terminal seperti Baranangsiang yang melayani beberapa bus AKAP, tapi pilihan armada yang langsung dari kota-kota besar seperti Solo, Yogya, Surabaya, atau bahkan Malang sangat terbatas. Alasannya ya sama dengan kereta, bus AKAP lebih banyak berhenti di Jakarta.

Sebab di sanalah terminal besar itu ada. Mulai dari Pulo Gebang, Lebak Bulus, Kampung Rambutan, Kalideres. Terminal tersebut jadi magnet utama rute dari Jawa Tengah dan Timur. Mayoritas PO pun akhirnya lebih tertarik menempel ke Jakarta karena penumpangnya banyak, jalur tol langsung, dan secara bisnis lebih masuk akal. Pada akhirnya, banyak penumpang memilih, “Sudah, ke Jakarta dulu saja, nanti dari sana sambung.” Secara logika perjalanan, Bogor selalu hadir sebagai fase kedua, bukan destinasi final.

Kalau Jabodetabek itu diibaratkan rumah, nah Bogor ini seperti ruangan tambahan di belakang rumah yang aksesnya tidak pernah didesain langsung dari luar. Jadi kalau mau ke belakang ya harus lewat depan dan dalam rumah (Jakarta) dulu. Lagi-lagi, alasannya memang karena Bogor dirasa terlalu dekat dengan Jakarta.

Tapi status kedekatannya ini jadi semacam kutukan. Sebab, dia tidak pernah dianggap perlu punya jalur besar sendiri. Dia cukup dengan numpang hidup di ujung jaringan KRL dan beberapa trayek bus yang jumlahnya terbatas.

Bikin ribet pendatang

Sebagai pendatang, seseorang jadi harus diribetin dengan detail-detail kecil, mulai dari berganti transportasi, kemudian waspada dengan terus memeluk tas dengan erat, mata harus lebih awas, dengan ritme perjalanan berubah dari “tur antar kota” menjadi mobilitas harian.

Pada akhirnya, Bogor memang kota yang punya identitas kuat sebagai kota hujan, kota wisata, kota kampus, tapi di peta transportasi jarak jauh, namanya terasa asing. Setiap orang yang ingin datang harus siap menerima syarat tak tertulis, harus turun Jakarta dulu, baru boleh ke Bogor.

Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Melihat Sisi Lain Jombang yang Nggak Diketahui Orang Banyak, Saya Tulis supaya Nggak Ada Lagi yang Salah Kaprah

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version