Dengan wajah merah padam, Misbah membanting ponselnya di lantai cangkruk setelah beberapa menit sebelumnya ngobrol pakai nada tinggi dengan seseorang dari seberang teleponnya.
Melihat nafas kawan baiknya masih naik turun lantaran emosi, Kang Salim menyorongkan cangkir berisi es legen. Masih dengan bersungut-sungut, es legen tersebut ditandaskan Misbah hanya dengan sekali tenggak.
“Sudah lega? Sekarang saatnya cerita. Ada apa, tho, kok sampai semarah itu?” Kang Salim memancing penjelasan dari Misbah, setelah amarahnya agak terkendali.
“Saya dapet kabar nggak enak dari temen saya yang sudah balik ke kota,” Misbah masih berusaha mengendalikan emosinya. “Rekan bisnis jualan kebab ternyata sekarang buka gerai sendiri.”
“Oh, dia nyuri resep dari kamu?”
“Itu termasuk yang bikin saya kesel, Kang. Maksudnya kok nggak bilang-bilang dulu gitu kalau mau buka gerai kebab sendiri. Mana nomornya nggak bisa dihubungi lagi. Kalau mau pakai resep yang sama sih saya nggak masalah, Kang. Asal sebelumnya bilang dulu ke saya pasti saya oke-oke aja. Wong ya kami kan ngerintis usahanya dulu bareng-bareng.” Misbah mengambil jeda.
“Tapi ada yang bikin saya jauh lebih geram sampai semarah ini.”
Kang Salim masih menunggu lanjutan cerita dari Misbah.
“Rekan bisnis saya ini nggak cuma nyuri resep, uang sisa tabungan keuntungan jualan juga diembat abis. Sepeser pun nggak ada yang jatuh di saya. Iya tahu sih, Kang, kalau dulu pas awal-awal ngerintis dia yang ngeluarin modal gede. Tapi ya nggak gini juga, tho, mainnya. Yang lebih menyakitkan… ”
“Loh, masih ada lagi?”
“Bentar, Kang, masih ada lagi. Dan ini yang paling bajingan, nih. Di gerai kebabnya yang baru, dia sering nyebar fitnah ke pelanggan-pelanggan kami dulu. Kalau ada yang tanya, ‘Loh, kok udah nggak bareng Misbah?’ Tanpa ragu dia ngejawab, ‘Udah nggak, soalnya Misbah itu orangnya egois, pelit, boros, pemalas, inilah, itulah, pokoknya image saya dijatuhin di hadapan orang-orang.
“Ini nanti kalau saya balik ke kota, terus mau buka usaha lagi sudah jelas gagalnya, Kang. Asu tenan og cah kuwi!! Padahal semua-mua udah saya lakuin ke dia. Kurang baik apa coba saya ke dia?”
Kang Salim sedikit banyak merasakan kegeraman yang bergejolak dalam hati kawan baiknya. Dia tampak memutar otak keras, sampai kemudian terlontar tanya, “Eh, Mis, inget pelajaran paling dasar soal muhasabah di pesantren dulu nggak?”
“Yang mana tuh, Kang?”
“Kalau soal uang tabungan itu mungkin bisa diurus. Tapi kalau soal hati dan penilaianmu sama rekan bisnismu saya jadi inget kalau dulu Abah Yai sering bilang, jadi orang itu jangan suka ngungkit-ngungkit kebaikan diri sendiri ke orang lain, tapi lupa kalau kita juga bisa ada buruknya. Kalau berbuat baik itu ya kita lupain. Nah, yang harus sering diingat adalah keburukan apa yang pernah kita perbuat? Itu buat bahan introspeksi, self-reformation kalau istilah kerennya.”
“Oh, iya. Inget saya, Kang. Dasarnya Abah Yai adalah kisah seorang wali yang tiap hendak tidur mesti menakar-nakar; keburukan apa saja yang dia perbuat hari itu? Dan sering si wali ini berdoa, ‘Ya Allah, tolong buat aku lupa dengan amal baik yang telah aku lakukan, dan ingatkan aku tentang kesalahan-kesalahan yang saya perbuat.’ Yang itu kan, Kang?”
“Syukurlah kalau kamu ingat, Mis.” Kang Saling mengulum senyum. “Tapi yang terjadi di kamu sekarang ini justru kebalikannya. Kamu lupa kalau kamu bisa salah, padahal bisa jadi apa yang dikatakan rekan bisnismu itu bener adanya. Yang kamu inget hanya hal-hal baikmu. Kamu juga lupa kalau rekan bisnismu punya sisi baik. Yang kamu inget justru cuma buruk-buruknya saja.”
“Kok sampeyan malah terkesan membenarkan si bajingan itu sih, Kang? Mana pakai bawa-bawa Abah Yai segala lagi!” Misbah kembali bersungut-sungut.
“Waduh, tahan, Mis, tahan. Bukan gitu maksud saya. Begini, dengerin dulu,” Kang Salim mencoba menenangkan. “Biar lebih gayeng, saya ceritain kisah Hasan al-Bashri aja ya, Mis. Kamu kan seneng tuh kalau cerita soal sufi-sufi?” Misbah mengangguk sekenanya.
“Suatu ketika, Mis, Hasan al-Bashri jadi makmumnya Habib Ajmi. Karena bacaan dan tajwid Habib Ajmi kacau, maka Hasan al-Bashri membatalkan niat jamaahnya dan memilih mendirikan salat sendiri. Malamnya beliau bermimpi ditegur oleh Allah, Wahai Hasan, kenapa kau hanya melihat cacatnya si Ajmi saja? Kenapa kau tak melihat sisi keikhlasannya dalam menyembah-Ku?”
“Saya paham maksud dari cerita itu, Kang,” Misbah memotong. “Oke, seiring berjalannya waktu saya bisa kok introspeksi diri, barangkali emang selama kerja bareng saya banyak salahnya. Saya juga mengakui lah kalau di luar yang terjadi saat ini, dia pernah berjasa banyak buat saya. Dia suka nraktir saya makan. Bagi hasil ya seadil-adilnya, dan lain-lain.”
“Nah itu sadar.”
“Bentar, Kang. Yang jadi masalah adalah, apa pantes gitu keburukan saya, kalau emang bener saya seburuk itu, harus disiarkan ke orang banyak? Merusak reputasi dan image saya, tho, Kang?”
Kang Salim menghela nafas panjang, untuk kemudian kembali berucap, “Mis, dawuh Ali bin Abi Thalib, Tak perlu menjelaskan siapa dirimu kepada siapa pun. Karena yang menyukaimu tidak butuh itu dan yang membencimu juga tidak percaya itu.”
“Artinya, legawa aja gitu ta, Kang? Biarin rekan bisnis saya itu ngomong yang jelek-jelek tentang saya. Yang akhirnya nggak suka sama saya sih tentu banyak. Tapi yang tetep respek sama saya mestinya juga akan tetep ada.”
“Nah, gini nih saya suka.” Kang Salim menepuk keras pundak Misbah. “Inget kata simbokmu. Hla kok baru kita, Rasulullah aja yang jelas-jelas manusia mulia, dimusuhi orang banyak, kok. Tapi yang harusnya kita contoh dari Rasulullah, beliau itu betapa pun dibenci, tapi tetep dibales dengan cinta, loh. Yang ngelempar tahi unta dijenguk, orang buta yang sering menghujat beliau malah dikasih makan, dan lain-lain. This is the real back to sunnah kalau kamu bisa mencontohnya.”
“Kalau kata Cak Nun, Bencilah aku setinggi gunung, maka akan aku balas engkau dengan cinta setinggi langit. Kayak gitu ya, Kang?” Timpal Misbah sembari melempar tanya.
“Makin sadar juga kamu.” Kang Salim terkekeh. “Ya sudahlah maafin aja. Cara membalas paling baik kan emang memaafkan, Mis. Lagi pula nih, kata Jalaluddin Rumi, segala tentang dunia ini jangan disikapi terlalu berlebihan. Lebih gampangnya pakai dawuh Ali bin Abi Thalib yang maksudnya kurang lebih, jangan mencintai atau membenci sesuatu secara berlebihan. Sebab yang kita cintai suatu saat bisa kita benci. Begitu juga yang hari ini kita benci, besok-besok justru malah kita cintai. Wolak-waliking ati (bolak-baliknya hati) lah, Mis.
“Buat pelajaran aja, Mis, kita ini jangan jadi orang yang gampang mengumbar kejelekan orang lain. Karena kalau pakai teorinya Rumi, seseorang itu tercermin dari ucapannya. Kalau yang diomongin adalah hal-hal baik, bisa jadi orang itu emang sosok pribadi yang baik. Begitu juga sebaliknya. Jadi, mending kalau ngomongin orang lain, omongin aja baik-baiknya. Itulah kenapa dalam tradisi talqin mayit di desa-desa, Mbah Modin pasti tanya ke para pelayat, ‘Pak, Buk, mayit ini semasa hidup sahe, nggih (baik, kan)?’ Karena sejelek atau seburuk apa pun seseorang, pasti ada sisi baiknya, kok.”
“Duh, mencari cacatnya orang lain emang jauh lebih gampang, Kang,” renung Misbah.
“Iya, Mis, tapi betapa sumpeknya orang-orang yang hidupnya hanya untuk mencari-cari kesalahan dan keburukan orang lain. Mesti capek, nggak sehat juga buat kejiawaan,” Kang Salim menyulut batang kreteknya. “Ada satu pertanyaan, Mis. Sebenernya manusia itu ahsani taqwim alias sempurna, atau tempatnya salah? Kalau sempurna kok dibilang tempatnya salah, kalau tempatnya salah kok redaksi ayatnya sempurna.”
“Bingung, Kang.”
“Manusia itu sempurna justru karena dia nggak sempurna, Mis. Manusia itu sempurna karena dia memiliki dimensi yang lengkap; dimensi baik dan dimensi buruk. Untuk itu, jangan ngaku sudah menegakkan hablun min al-nas kalau belum mampu menerima segala kelebihan atau kebaikan dan kekurangan atau keburukan orang lain.
“Saya malah kepikiran, Mis. Kenapa kamu nggak nyoba buka gerai kebab di sini aja? Anak-anak desa pasti pada suka. Wong ya belum pernah ada, tho, di sini?” celetuk Kang Salim yang langsung disambut Misbah dengan kegirangan. “Ide muantul itu, Kang!”
Sementara matahari kian lingsir ke barat, pertanda bentar lagi masuk waktu asar, dan pertanda Kang Salim harus siap-siap berangkat ke ladang.
*Rujukan: Terjemah Fihi Ma Fihi (Jalaluddin Rumi), dan diolah dari Ngaji Filsafat Dr. Fahruddin Faiz edisi 249: Muhasabah Hasan al-Bashri, serta diolah dari ceramah Cak Nun.
BACA JUGA Jangan Sombong, Jangan Sok Suci, Kita Hanya Beda Jalan dalam Memilih Dosa dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.