Perjalanan hidup manusia dilalui bersama timbunan ingatan yang menyertainya. Ingatan masa kecil dan remaja biasanya masih lumayan awet membekas. Jika topik seputar SKJ ’94 dilempar ke forum publik, setidaknya memori kita akan mengarah ke dua hal. Yang pertama adalah Senam Kesegaran Jasmani 94 yang begitu populer di era Orde Baru. Yang kedua adalah band dari Jogja yang pernah booming di zamannya, SKJ ’94.
Kamu yang pernah melalui masa sekolah atau kuliah di Jogja tahun 2007-2010 tentu pernah mengalami melejitnya lagu “Skutermatik”. Kalau lupa, yang begini nih reff-nya:
Kamu… terlihat paling cantik
Dengan skutermatik yang menawan, dengan gaya klasik zaman sekarang
Saat itu band beranggotakan Rangga, Tama, dan Bagus ini sering manggung di acara konser atau pensi, lagunya sering diputar di radio, dan file MP3-nya banyak dicari anak muda di warnet. Unsur wave dan electro pop yang diusung SKJ ’94 plus deretan tembang yang sporty and easy listening membuat musik mereka begitu digandrungi. Apalagi kalau nonton mereka manggung, penampilan energik para personelnya memicu diri untuk ikut bergoyang.
Pertemuan pertama saya dengan band ini terjadi saat makrab kampus di Bumi Perkemahan Sinolewah, Sleman. Ngetren-nya lagu “Skutermatik” membuat pantia makrab memutar lagu itu setiap pagi khususnya saat sesi senam. Di semester yang sama, saya pernah punya gebetan hasil makrab yang ngefans SKJ ’94. Dari sini alurnya yang membuat saya kenal mereka lebih jauh, dari beli merchandise di basecamp mereka hingga nonton konsernya di Kridosono.
Sayangnya, nggak berselang lama kemudian muncul seruan anti-SKJ yang entah datang dari mana. Istilah akronim SKJ berupa Sampah Kota Jogja begitu viral. Stiker dan kaos F*ck SKJ bermunculan. Helm dan motor menjadi area favorit ditempelnya stiker provokatif itu.
Sebenarnya nggak jelas juga alasan munculnya gerakan anti-SKJ. Infonya simpang siur. Ada yang bilang ini terjadi karena dendam lama, personelnya sombong, hingga opini soal musik mereka yang dinilai nggak bagus. Sempat terdengar suara yang bilang kalau mereka adalah band yang hanya nyetel musik dan skill bermusiknya kurang joss. Ada pula yang bilang kalau suara penyanyinya biasa saja. Aksi benci ini terdengar hingga ke telinga personel SKJ ’94 dan sempat membuat mereka resah.
Setelah lebih dari sedekade booming-nya anti-SKJ, saya justru tergugah untuk merefleksi sikap anak muda kala itu. Naif, berpikiran sempit, dan kurang dapat mengapresiasi karya orang lain menjadi poinnya. Di tahun 2007-2010 memang belum marak band yang sealiran dengan SKJ ’94. Aliran mereka yang terkesan antimainstream dipandang sebagian orang sebagai hal yang aneh. Anomali yang perlu disingkirkan. Selera dicibir, musikalitas disindir.
Musik memang berkaitan dengan kuping masing-masing orang yang mendengarnya. Jika nggak suka suatu band bukan berarti lantas kita boleh menularkan kebencian itu, mengorganisirnya, dan mencetaknya dalam bentuk stiker. Nggak semua orang yang nggak suka dengan SKJ ’94 itu wajar, tapi kalau sampai mengarah ke mengajak orang membenci dan anarkisme ya jelas itu sudah masuk ke level berbahaya. Praktik menilai band ini bagus dan band itu buruk dari subjektif individu secara berlebihan yang kemudian dikoordinir massa inilah yang rentan menimbulkan konflik dan perpecahan di kalangan penikmat musik.
Sebagai sesama anak muda yang hidup di Jogja, malu rasanya menjadi pihak yang justru membully karya mereka. Dengan cara mereka sendiri, SKJ ’94 berperan dalam mengharumkan nama Yogyakarta. Buktinya kisah perjuangan mereka sampai dibuatkan film berjudul Seleb Kota Jogja. Film yang juga dibintangi Andy /rif, Cinta Laura, Lala Karmela, dan Nindy ini cukup tenar di tahun 2010. Jarang-jarang kan ada band dari Jogja yang kisahnya difilmkan dan tayang di bioskop?
Musik SKJ ’94 memang punya area genrenya sendiri. Jangan samakan semua band harus beraliran A atau B. Jika diperhatikan, lagu SKJ ’94 adalah tipe lagu yang cocok untuk iringan olahraga. Kroscek saja ke tembang “Skutermatik”, “Disko Patah Hati”, “123 Berdansa”, “Lagu Lita”, dan “Main Belakang”. Apresiasi karya seni menjadi sikap yang perlu dibudayakan. Sudah susah payah berkreasi menciptakan lagu sendiri justru dibully seolah karya mereka buruk banget dan nggak ada gunanya. Lha, apa kabarnya dengan band masa kini yang doyannya hanya nge-cover lagu orang lain?
Pepatah lawas berbunyi kalau batas antara cinta dan benci itu tipis. Patut diduga jangan-jangan mereka yang mengaku sebagai anti-SKJ justru diam-diam menikmati “Skutermatik” dan memutar lagunya di earphone saat joging pagi sembari kepalanya manggut-manggut mengikuti alunan musik. Prasangka yang layak dialamatkan pula pada kita yang di zaman tersebut mengklaim anti-Kangen Band namun diam-diam kesengsem lagu “Juminten”.
Gung ning nong ning nong ning gung… Gung ning nong ning nong ning gung…
Sumber Gambar: Unsplash