Saya diracuni ibu saya untuk nonton drama Korea. Katanya, daripada di rumah hanya ngejangklong saja seperti pengangguran yang belum terlihat kapan purnanya, mendingan nonton drama Korea. Ibu saya langsung menyuguhkan satu drama berjudul Our Blues. Katanya, drama ini bagus sekali.
Saya nonton satu episode, biasa saja. Dua episode, biasa saja. Tiga episode, masih biasa saja. Tanpa sadar, saya menikmati sampai ke seri dua belas. Tanpa sadar, saya terpikat dengan musik, visual, dan akting para pemain di dalamnya. Singkat kata, saya jadi tertarik dan menunggu Our Blues tiap minggu.
Yang bikin saya suka, drama ini mirip-mirip seperti cara bercerita William Faulkner dalam As I Lay Dying. Berlebihan sih jika menyebutnya sama, namun banyak tokoh dan banyak cerita di dalamnya—muatan masalah, pembangunan karakter, dan juga cara memperkenalkan tokoh secara tipis-tipis—setidaknya “mirip-mirip”.
Selain hal di atas—dan keindahan Pulau Jeju yang membuat saya hari Minggu kemarin memutuskan berangkat ke pantai setelah beberapa tahun tidak pernah ke sana—ada satu hal yang membuat saya terpikat. Bahwa masyarakat di salah satu desa di Pulau Jeju itu mirip sekali dengan kebanyakan masyarakat di Bantul. Sialnya, saya sering menyamakan tokoh A dengan para tetangga saya yang memiliki tipikal yang serupa—plek ketiplek malah.
Ada yang hobinya berantem terus seperti Pakdhe In Gwon dan Paklik Ho Sik di awal-awal cerita. Masalah kecil saja jadi besar jika melibatkan mereka berdua. Padahal dulunya mereka berdua kawan dekat. Sama, di Bantul juga ada—atau lebih tepatnya di sekitar rumah saya—yang dulunya dekat seperti sahabat, eh, jadi musuh hanya karena masalah warisan.
Uang yang menggelapkan mata dan mengubah situasi kekeluargaan menjadi medan peperangan. Sialnya, uang itu seperti kartu truf dalam kehidupan. Jika kamu punya uang, besar kemungkinan kamu akan menguasai apa pun yang kamu inginkan. Pakdhe In Gwon dan Paklik Ho Sik pun sama. Gara-gara uang, ada hati yang tersakiti. Karena ada hati yang tersakiti, maka ada permusuhan yang akan terjadi.
Selain hobi berantem, ada juga yang hamil di luar nikah. Sejatinya sih hal ini tidak apa-apa, dengan catatan mereka yang terlibat mempertahankan nyawa yang terkandung di dalam rahim itu. Pelajaran yang saya suka dari drama ini adalah, bahwa tidak ada kehamilan yang terjadi karena kecelakaan.
Asal sesuai dengan konsen, itu adalah cinta. Bicara tentang kebahagiaan yang dianggap menyimpang oleh masyarakat itu mudah, namun lingkungan tentu tidak akan sependapat secara cuma-cuma. Yang hamil di luar nikah akan menjadi bahan pergunjingan secara massa dengan keji.
Di Bantul pun serupa. Jika ada yang hamil di luar nikah, niscaya satu kelurahan akan tahu. Langkah si perempuan dan laki-laki akan diintai bak habis melakukan kejahatan. Si perempuan dicap penggoda, si laki-laki dicap begundal atau bahkan kadang lepas dari stigma—itu yang saya tahu dari beberapa kejadian di sekitar saya, sih.
Keluarga kadang dikucilkan dan langkah menggugurkan akan menjadi pilihan utama. Di drama Our Blues juga sempat ada rencana menggugurkan, bagaimana gejolak dan tekanan dari masyarakat membuat pilihan gugurkan janin terlihat paling realistis di antara semuanya. Namun, masih ada yang sayang dengan mereka, yakni Dik Yeong Ju dan Dik Yeon. Itulah yang membuat mereka bisa lepas dari pilihan menggugurkan, namun kadang beberapa kejadian di Bantul sulit terelakkan.
Yang beda adalah, beberapa kolega dan keluarga Dik Yeong Ju dan Dik Yeon sebisa mungkin melindungi mental mereka di masyarakat. Keluarga yang kecewa jelas ada, tapi mau sampai kapan menengok janin yang terus tumbuh, mendapatkan kasih sayang dari orang terdekat jelas hak si janin itu. Dan warga Bantul, kebanyakan masih belum bisa masuk ke ranah itu. Mereka masih bengis menjadikan kehamilan di luar nikah menjadi santapan gosip selama bertahun-tahun.
Ibu-ibu yang galak minta ampun seperti para haenyeo pun di Bantul sama saja. Perbedaan generasi, pola pikir, dan bagaimana cara muda-mudi menyikapi masalah yang berbeda dengan generasi ibu-ibu yang jauh di atasnya, kadang menghasilkan gosip tidak enak.
Mbak Yeong Ok adalah korban. Hanya karena sering dapat telepon di jam kerja—mencari kerang—malah kena gosip dia punya suami dan anak yang ditelantarkan di luar Jeju. Padahal…. ya tonton sendiri, deh. Di Bantul pun sama. Mbak-mbak yang sering pulang malam diantar mobil yang terus berganti, dicap sebagai gadis nakal. Padahal ya dia sedang shift malam dan diantar pakai GoCar.
Ibu-ibu di Bantul itu bukan kolot, bukan juga ketinggalan zaman. Namun dalam beberapa tahap, mereka ini suka sekali berasumsi tanpa dasar yang jelas. Seorang kawan bahkan dikira babi ngepet karena kalau keluar rumah cuma pakai kaos, kalau pagi tidur, namun bisa beli ini dan itu. Ketimbang menjelaskan tentang kripto kepada mereka, rasanya lebih masuk akal menunggu ending cerita sinetron Tukang Ojek Pengkolan.
Selain sisi negatif, persamaan antara warga Jeju di drama Our Blues dengan orang-orang di Bantul tentu ada juga sisi positifnya. Hmmm, apa, ya? Kuat nahan mabuk—semalaman mabuk-mabukan padahal besoknya kerja sebagai buruh itu termasuk sisi positif nggak, sih?
Penulis: Gusti Aditya
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 5 Karakteristik Masyarakat Desa dalam Drakor Our Blues.