Berlagak Tuli dan Benci Pengamen di Tongkrongan Adalah Budaya Bajingan para Tukang Nongkrong

Berlagak Tuli dan Benci Pengamen di Tongkrongan Adalah Budaya Bajingan para Tukang Nongkrong terminal mojok.co

Berlagak Tuli dan Benci Pengamen di Tongkrongan Adalah Budaya Bajingan para Tukang Nongkrong terminal mojok.co

Kalau memang nggak mau ngasih pengamen, bilang aja apa susahnya, sih?

Bayangkan skenario ini: Anda sedang nongkrong bersama kawan-kawan. Di tengah riuh tawa dan gibah Anda, terdengar sayup suara gitar. Makin lama makin mendekat. Terlihat seseorang sedang bermain gitar untuk Anda. Ia mengambil perhatian Anda, agar Anda memberi sedikit uang padanya.

Orang itu pergi, dan Anda kembali bercengkrama. Tidak lama kemudian, datang lagi orang serupa, mengangsurkan tangan untuk meminta sedikit uang dari Anda. Kejadian ini berulang tiga sampai empat kali, sampai Anda memutuskan untuk hengkang dari tempat nongkrong.

Jika Anda tidak asing dengan skenario ini, sebenarnya Anda tidak terlalu istimewa. Karena skenario ini umum terjadi di banyak tempat. Ketika ada sebuah lokasi yang ramai dengan orang nongkrong, para pengamen dan pengemis akan muncul di sana. Tentu bukan untuk nongkrong, tapi untuk meminta sedikit uang dari pengunjung.

Apakah Anda sebal? Anda merasa terganggu? Anda merasa dipermainkan sekelompok pengamen? Atau Anda merasa pengamen tadi berkonspirasi untuk mengeruk uang Anda?

Saya pribadi juga sering mengalami skenario tadi. Dan saya banyak menangkap tanggapan miring seperti di atas. Baik dari kawan sendiri, dari nyinyiran meja sebelah, sampai di media sosial. Jika dirangkum, para pengamen itu mengganggu dan mengambil kesempatan dari keramaian karena malas kerja.

Banyak yang memilih pura-pura tuli ketika ada pengamen. Tanpa ada niatan untuk menyampaikan bahwa tidak ada uang yang bisa dibagikan. Pokoknya membiarkan pengamen itu capek sendiri agar berlalu. Toh, kalau mau dapat uang, mending kerja yang benar, bukan?

Lah, nggatheli. Itu pikir singkat saya. Bukan bermaksud sok moralis, tapi logika di atas memang menyebalkan. Dan untuk itu, saya ingin sedikit mengorek isi otak Anda dalam menghadapi situasi pengamen di tongkrongan ini. Bukan berdasarkan asumsi, tapi merangkum opini para pengamen yang pernah saya ajak ngobrol.

#1 Para pengamen tidak punya privilese seperti Anda

Bicara privilese memang paling enak. Dan tanpa sadar, Anda semua memiliki privilese meskipun merasa hidup paling nelangsa sedunia. Tapi, apa hubungannya dengan pengamen?

Ini perkara sudut pandang mengapa mereka tidak bekerja seperti Anda. Anda punya akses untuk mencari kerja seperti Anda. Bahkan untuk kerja tanpa syarat ijazah seperti office boy saja sulit. Tentu karena mereka kalah dengan Anda yang punya KTP dan pendidikan paling dasar. Anda bisa mandi sebelum interview, menyiapkan berkas, bahkan belajar cara mengambil hati rekruiter.

Lah, mereka? Negara saja tidak mencatat keberadaan mereka. Mereka sulit mendapat informasi lowongan kerja. Dan kehidupan mereka tidak dipersiapkan untuk melamar kerja. Mereka terjebak dalam kasta terendah, dan Anda memandang mereka malas? Malas dhengkulmu mlocot itu!

#2 Pengamen terjebak zona nyaman seperti Anda

Beberapa orang sok pahlawan memandang para pengamen ini memang berniat malas. Ketika ditawarkan pekerjaan, mereka akan tetap memilih mengamen. Jika Anda memandang kasus di atas sebagai bentuk pemalas, coba Anda pakai otak sebentar. Jangan lupa, bercermin.

Mereka terbiasa mengenal kehidupan jalanan yang penuh urusan meminta-minta. Pekerjaan yang “lebih beradab” bukanlah sesuatu yang mereka kenal. Untuk masuk dunia kerja yang baru ini, mereka sudah waswas karena memang tidak tahu apa-apa selain itu. Belum lagi masalah eksploitasi pekerja yang berasal dari kasta terendah masyarakat ini. Gaji kecil dan beban kerja ngawur menjadi teror mereka.

Dibilang zona nyaman ada benarnya. Tapi, bukankah ini hal yang umum? Ketika Anda bekerja di zona yang nyaman, sudah menguasai pekerjaan Anda, dan gaji lumayan, apakah Anda akan resign kecuali ada konflik. Para pengamen di tongkrongan juga dalam logika serupa.

#3 Untuk apa berspekulasi pengamen sebagai kebohongan?

Argumen ini memang memuakkan. Pokoknya main pukul rata bahwa para pengamen adalah orang yang berpura-pura miskin agar mendapat belas kasihan. Sejatinya, mereka punya kekayaan yang lebih dari Anda.

Logika seperti ini memang umum di masyarakat kita. Tapi sayang sekali, logika ini memang pekok. Dan kunci utamanya kan satu: mau memberi uang atau tidak. Kalau tidak, ya, sudah. Tidak perlu membalut penolakan Anda dengan teori konspirasi macam ini, kan? Mau pelit atau memang tidak punya uang tidak perlu dikemas sebagai bentuk perlawanan dari konspirasi kebohongan pengamen.

#4 Mengamen tetaplah pekerjaan

Banyak yang bilang jadi pengamen itu enak. Minta uang langsung dapat. Logika ini juga disematkan pada pengemis tanpa mengamen. Nah, apakah semudah itu? Apakah mengamen itu adalah bentuk dari menolak pekerjaan?

Mengamen tetaplah pekerjaan. Meskipun dipandang sekadar meminta uang, toh ada transaksi di dalamnya. Antara lagu yang diberikan ditukar uang. Bentuk iba ditukar uang. Sesederhana itu! Yang mereka jual adalah suara dan permainan musik, tenaga untuk mengamen, dan tentu saja harga diri untuk menjadi warga kelas bawah.

Jika mengamen adalah pekerjaan mudah banyak uang, mengapa Anda tidak melakukannya? Karena gengsi dan harga diri? Pengamen menjual itu demi mendapat penghasilan. Tidak etis dan tidak beradab? Silakan kembali ke poin-poin sebelumnya.

#5 Siapkan uang kecil atau tolak baik-baik

Solusi dari perkara pengamen ini gampang, kok. Anda bisa menyiapkan petty cash atau uang kecil. Jika nongkrong bersama, malah bisa dikumpulkan bersama. Toh, jika Anda merasa lebih beradab dan bekerja keras daripada pengamen, petty cash bukan masalah berat untuk Anda.

Kalaupun Anda benar-benar tidak bisa memberi uang, Anda punya hak untuk menolak memberi uang. Katanya beradab, tapi kok pura-pura tuli saat ada pengamen? Karena mau bagaimanapun, pengamen tetaplah manusia seperti Anda. Jadi, mengapa tidak mencoba memanusiakan pengamen?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version