Kerap kali saya kadang dibuat terkagum-kagum oleh daya kreatifitas dalam pengolahan barang bekas video DIY yang saya tonton di YouTube. Barang-barang yang tadinya dianggap tak berguna, bisa dengan mahirnya diubah menjadi sesuatu yang begitu memukau dan memiliki nilai estetika yang tinggi.
Proses yang diajarkan dalam video tersebut juga relatif sangat mudah dan sederhana. Sehingga orang-orang yang menonton video tersebut seolah terhipnotis untuk ikut-ikutan mempraktikan adegan tersebut. Kalau sudah gini, mereka mulai akan mengumpulkan barang-barang bekas yang mungkin bisa diolah kembali.
Kata DIY sendiri merupakan singkatan dari Do It Yourself. Secara garis besar ini merupakan sebuah metode untuk merakit, memperbaiki, atau memodifikasi sesuatu secara mandiri tanpa bantuan ahli. Walaupun saya yakin, para pembuat video ini sebenarnya tak mungkin seorang amatiran atau pemula. Dari cara kerjanya yang cekatan dan ide kreatifitasnya menunjukan bahwa mereka mahir dan sangat mengusai dalam bidang tersebut.
Alat-alat yang digunakan untuk pratik tersebut rata-rata juga merupakan peralatan bermerk dan memiliki kualitas yang bagus. Sehingga peralatan tersebut cukup menunjang kinerja dari adegan di videonya. Ya kali, masak mau motong kayu pakai gergaji murahan. Bisa-bisa durasi lima jam cuma selesai buat motong kayu lima biji aja. Hukum kinerja barang kan suka gitu, ada harga ada kualitas. Kalau mau harga murah jangan tanya kualitas, sedangkan kalau mau kualitas jangan tanya harga.
Suatu hari saya pernah melihat video tutorial mengolah celana jeans bekas. Dalam video tersebut saya melihat bagaimana jelana jeans tersebut diolah menjadi sebuah tas. Sebenarnya kalau saya ini teliti, dari awal mula bahan bakunya saja, harusnya saya itu curiga. Maksud saya tentang celana jeans bekas yang akan saya gunakan itu. Berhubung ini barang bekas, tentu jeans miliki saya warnanya sudah pudar dan agak kusam, sedangkan ya setelah beberapa tahun kemudian saya baru sadar ternyata celana jeans yang digunakan si orang ini kok nggak kusan dan mbeladus kayak punya saya. Hmm… Jangan-jangan dia pakai celana baru kayaknya.
Untuk membuat tas tersebut, saya harus menyiapkan peralatannya terlebih dahulu. Berhubung saya gak punya mesin jahit, maka merengeklah saya minta dibeliin mesin jahit. Setelah beli mesin jahit, saya juga butuh gunting yang tajam. Dikarenakan gunting saya gak tajam, berarti saya harus beli gunting. Setelah itu saya juga harus membeli resleting dan aksesorisnya.
Masalah belum berakhir sampai di sini, karena sejujurnya saya ini kurang mahir dalam urusan jahit- menjahit tapi sok-sokan mau menjahit. Jadi, hasil jahitan saya itu miring-miring gak jelas. Motong celananya juga gak rapi. Duh, setelah lihat hasil karyanya, langsung saya buang di tong sampah. Proses panjang saya itu ternyata cuma sekadar mengolah sampah menjadi sampah doang.
Tahu gitu daripada beli mesin jahit dan lain-lain, mending saya beli tas Elizabeth aja kan yah. Huhuh~
Begitu juga dengan uji coba saya lainnya. Misal, mau memodifikasi tempat cat tembok bekas. Saya juga harus modal cat warna untuk melukis tempat cat tersebut. Cat yang dibutuhkan gak cukup satu doang lagi, saya butuh beberapa warna. Belum lagi sama kuasnya. Kalau ditotal pembelian cat dan lain-lain, saya kira sudah bisa buat beli pot bunga keramik dua.
Jadi, bisa dibilang, cara mendaur ulang sampah ini kalau ditelaah lebih dalam mungkin kita bisa mengeluarkan biaya yang lumayan banyak tanpa disadari. Bahan dasarnya sih emang sepele mungkin, tapi lain-lainnya itu loh yang gak boleh kita sepelein begitu saja. Niat hati mau hemat dengan memanfaatkan barang tak terpakai, eh, ujung-ujungnya malah tekor.
Terkadang kalau pas santai gitu, saya juga suka mikir. Dalam proses mengolah atau mendaur ulang sampah ini secara tidak langsung mau tak mau saya juga sudah menghasilkan sampah lainnya. Bahkan mungkin lebih banyak lagi dari sebelumnya.
Efek dari semua itu, saya dulunya jadi suka menimbun barang-barang tak terpakai. Lihat handuk bekas, bawaannya mau mengolahnya menjadi boneka. Padahal handuknya udah kumal. Lihat kipas bekas, bawaanya mau menyulapnya menjadi baling-baling bambu kayak milik Doraemon. Hmm…pokoknya sayang aja gitu mau nyingkirin barang dari rumah itu. Bahkan ya saya, jadi hobi mengoleksi botol kecap, botol sirup, sampai bungkus kopi dan deterjen.
Padahal saya ini orangnya semangat kalau di awal doang. Setelah itu yah kalau ada waktu luang, mending buat rebahan, goleran, dan glundhang-glundhung. Boro-boro mau bikin prakarya kayak gitu.
Akhirnya suatu hari saya tercerahkan setelah membaca buku Seni Hidup Minimalis karya Francine Jay. Dalam buku tersebut saya jadi paham akan makna menyimpan barang itu sama dengan menimbun, tidak minimalis sekali kayak hidung saya yang sangat amat minimalis dan ekonomis. Lagi pula, saya membaca postingan milik teman saya di media sosial. Dia mengatakan bahwa menyimpan barang-barang yang tak terpakai di dalam rumah itu, bisa memberi energi negatif bagi penghuni rumah tersebut.
Sejak saya itu saya kemudian berhenti untuk menimbun barang bekas dan barang-barang yang tak terpakai di dalam rumah. Saya harusnya sadar, bahwa tak semua orang itu diciptakan untuk memiliki tangan terampil dan cekatan. Meski bahan dan barang yang digunakan sama, tapi tangan yang membuatnya berbeda tentu saja bakalan akan beda hasilnya. Lagi pula, bagi pemalas kayak saya ini, menonton video kayak gitu bukannya menyelesaikan masalah, tapi malah bisa menimbulkan masalah lagi.