Beberapa minggu yang lalu seorang teman mengirimkan sebuah gambar bertuliskan Bengi Angel Turu, Isuk Angel Tangi, Awan Ngantukan. Tak perlu waktu lama untuk menyadari bahwa saya—dan kebanyakan orang—sering mengalami hal seperti itu. Mungkin setiap hari malahan. Jargon tersebut— yang berarti malam susah tidur, pagi susah bangun, siang sering ngantuk —melekat terus di kepala bahkan berhari-hari setelah saya menerima pesan bergambar itu. Tak habis pikir siapa orang yang begitu hebatnya menciptakan kata-kata penuh faedah itu. Bisa-bisanya dia membaca pikiran saya dan kebanyakan orang lainnya.
Fenomena bengi angel turu tentu saja sudah saya alami sejak saya masih mahasiswa sampai jadi bapak rumah tangga. Nggak tau kenapa, begitu waktu menunjukkan jam 10 malam—saat itulah mata mulai segar dan rasa ngantuk hilang tanpa bekas. Melewati jam 12 malam rasanya benar-benar seperti baru memulai hari dan berlanjut terus begadang sampai jam 3 pagi—mulai galau karena belum ngantuk juga.
Biasanya azan subuh yang memaksa saya untuk segera memejamkan mata. Dan bisa ditebak kelanjutannya—isuk angel tangi. Ya gimana mau bangun, lha wong baru tidur sekitar jam 4-5 pagi. Saat menjadi mahasiswa, hanya ketika ada jadwal kuliah pagi yang bisa menjadi masalah. Selain itu bisa lanjut tidur sampe siang.
Lain lagi ketika sudah kerja. Terpaksa bangun juga sambil panik dan kelabakan karena (hampir) telat masuk kerja. Itupun setelah berkali-kali men-snooze alarm di HP yang bahkan sudah disetel tiap 5 menit sekali. Malah kadang bisa saja disetel ekstrim setiap 2 menit sekali. Entah apa faedahnya memasang alarm secara membombardir seperti itu. Tapi saya lakukan juga.
Alhasil ketika di kantor atau di kampus ya pasti awan ngantukan. Bawaannya pengen buru-buru pulang terus langsung lompat ke atas kasur. Rasa ngantuk ini berlanjut sampe sore menjelang berakhirnya semua kegiatan di kantor atau di kampus. Bahkan sepanjang perjalanan pulang pun masih diiringi dengan rasa ngantuk yang begitu besar.
Menjelang sampai di rumah dengan wajah berseri-seri karena akhirnya bisa segera melanjutkan tidur yang tertunda. Pokoknya harus tidur begitu sampai di rumah. Rasanya begitu berat seharian menahan ngantuk. Terbayang kasur seperti sudah melambai-lambaikan sprei nya pada saya. Ah, saya tak sanggup lagi.
Sesampai di rumah, lanjut mandi dan makan malam. Ngobrol-ngobrol sebentar dengan orang rumah sambil nonton TV. Berlanjut dengan cek timeline media sosial dan update berita-berita kekinian. Nggak terasa sudah menjelang jam 10 malam. Dan mata mulai segar kembali. Ya, siklus kembali berputar.
Setiap hari tersiksa oleh siklus itu, setiap hari pula saya (terpaksa) menikmatinya juga. Entah kenapa saya nggak bisa keluar dari siklus itu. Rasanya semakin hari semakin nyaman dengannya. Padahal pekerjaan atau kuliah lazimnya dilakukan di siang hari. Sementara sepanjang siang sampai sore yang terasa hanya ngantuk dan ngantuk saja. Akhirnya seringkali kegiatan yang dilakukan jadi nggak bisa produktif.
Bahkan ketika saya sudah beralih profesi jadi bapak rumah tangga ternyata siklus itu belum beranjak dari saya. Padahal ada seorang balita yang harus saya perhatikan sepanjang hari, terutama dari pagi sampai sore. Siklus tidur anak saya yang jarang tidur siang semakin memperberat hidup saya. Apalagi anak saya termasuk anak yang super aktif.
Pekerjaaan Kegiatan saya dimulai sejak saat anak bangun sekitar jam 7-8 pagi. Lanjut tanpa henti sampai sekitar jam 8-9 malam. Cukup familiar rasanya jenis pekerjaan ini. Ya, jam kerja saya seperti jam kerja di dunia startup kekinian. Beruntunglah para pegawai negeri sipil yang sangat dimudahkan oleh jadwal kerjanya. Apalagi di jaman orba dulu, saat jam 3 sore sudah bisa pulang ke rumah, itu pun masuk kerjanya jam 9 pagi. Eh, kok malah jadi ngelantur, hehe~
Kembali ke soal mengurus anak. Rasanya begitu berat kerja dengan jam lembur seperti itu. Apalagi selama 13-14 jam itu si anak tanpa henti berkegiatan, mulai dari lari kesana-kemari, main tanah, mandi, loncat sana-sini, main tanah lagi, mandi lagi, corat-coret tembok, main sepeda, mandi lagi, dan seterusnya. Selingan hanya ada ketika si anak sedang minum susu. Selain itu, ya harus siaga penuh ngintilin si anak. Padahal sepanjang siang rasanya saya sudah nggak kuat menahan kantuk.
Jam 9 malam tentunya menjadi waktu yang ditunggu-tunggu. Berharap si anak segera tidur dan saya menyusul tidur juga. Ketika si anak sudah berhasil tidur, seketika itu saya coba pejamkan mata berusaha untuk tidur. Sayangnya usaha ini selalu berakhir gagal. Entah kenapa kok semakin berusaha untuk tidur malah semakin nggak bisa tidur.
Malam semakin larut sampai waktu menunjukkan jam 3 pagi. Saat ini rasa panik mulai menjalar ke pikiran saya. Karena sekitar 4-5 jam lagi anak saya akan bangun. Itu artinya saya juga harus bangun dan mengulang semua kegiatan rutin harian si anak mulai dari awal.
Rutinitas mematikan dan men-snooze alarm HP sudah nggak perlu saya lakukan lagi. Karena alarm untuk bangun sudah berubah jadi sentuhan fisik, meski bukan sentuhan lembut yang didapat, melainkan berupa pukulan dan tendangan dari si anak tersayang. Semakin saya tunda untuk bangun, semakin bertambah juga intensitas sentuhan tadi. Terpaksa bangun juga akhirnya. Dan berulang terus lah siklus seperti hari-hari sebelumnya.
Saya rasa banyak teman-teman yang juga menjadi penganut jargon bengi angel turu, isuk angel tangi, awan ngantukan. Apa perlu kita buat semacam sekte grup untuk menahbiskan keberadaan jamaah ini? Dilanjut dengan pergerakan di grup WA yang masif untuk menyebarkan paham ini. Saling berbagi kisah-kisah inspiratif tanpa hoax dari para jamaah. Sesekali kopdar—di warung kopi saja, tak perlu di depan gedung Bawaslu—untuk menyampaikan aspirasi.
Sebuah jargon atau paham yang bisa menyatukan banyak orang tanpa harus saling menyakiti seperti ini tentunya harus kita lestarikan. Ketika semua orang bisa saling menertawakan kesulitan hidup dari orang lain tanpa harus merasa tersinggung. Kapan lagi kita bisa menikmati kebersamaan di tengah kesusahan tanpa harus menyusahkan orang lain? Yuk gas poll lanjut ghibah ngobrol di grup WhatsApp Bengi Angel Turu, Isuk Angel Tangi, Awan Ngantukan.