Bendungan Walahar Karawang: Penjajahan oleh Belanda Memang Menyakitkan, tapi Bangunan Tinggalan Mereka Memang Luar Biasa

Ilustrasi Bendungan Walahar Karawang Produk Penjajah, Rasanya Nikmat (Unsplash)

Ilustrasi Bendungan Walahar Karawang Produk Penjajah, Rasanya Nikmat (Unsplash)

Bagi warga Karawang asli pasti sudah tidak asing dengan yang namanya Bendungan Walahar. Bendungan yang terletak di daerah Walahar, Klari, Karawang, Jawa Barat ini menjadi saksi bisu peninggalan masa penjajahan Belanda. Meski kini sudah berusia hampir 1 abad, bendungan tersebut tetap tegak berdiri dan berfungsi sebagaimana mestinya.

Masyarakat memanfaatkan bangunan bersejarah dengan arsitektur khas Eropa ini untuk mengatur debit air Sungai Citarum. Maklum, kapasitas bendungan ini cukup besar dan mampu menahan aliran Sungai Citarum selebar 50 meter. Bendungan yang “sangat melindungi”, bisa menahan air sungai, dan menahan banjir.

Pembangunan Bendungan Walahar Karawang dimulai pada 1918 dan diresmikan pada 30 November 1925. Selama pembangunan, seorang ahli perairan dari Belanda mengawasinya secara langsung. Dia bernama C. Swaan Koopman.

Bendungan Walahar Karawang membuat saya takjub

Sebagai warga asli Karawang, sudah beberapa kali saya mengunjungi Bendungan Walahar bersama orang tua. Waktu kali pertama mengunjungi bendungan tersebut, saya langsung takjub. 

Bendungan itu terlihat sangat tua, tapi tetap kokoh dan seperti tidak ada kerusakan. Begitu memasuki pintu masuk bendungan, suara aliran air yang sangat deras terdengar cukup kencang di telinga.

Ketika di sana, saya bersama keluarga menikmati kulineran khas Sunda di area sekitar bendungan. Tempatnya yang cukup asri serta suara aliran air membuat makan jadi terasa lebih nikmat. Sudah begitu, hawa di sana terasa sangat sejuk.

Baca halaman selanjutnya: Bangunan luar biasa yang tetap kokoh melawan zaman.

Transformasi bendungan

Bendungan Walahar Karawang terdiri dari 3 bagian. Bagian bawah, di mana sebagai pintu penahan air berjumlah 5 pintu. Yang kedua, merupakan jembatan seluas 3 meter, yang menghubungkan Klari dan Anggadita. Lalu bagian terakhir, merupakan ruang mesin untuk mengatur sistem bendungan.

Awalnya, pemerintah Belanda membangun Bendungan Walahar Karawang untuk mengatasi kekeringan yang sering dialami oleh daerah Karawang bagian utara. Selain itu, bendungan tersebut bermanfaat untuk mengairi areal persawahan yang luas mencapai 87.506 hektare. Sejak zaman penjajahan, Kota Karawang sudah menjadi daerah lumbung padi.

Selain menjadi penjaga aliran air, Bendungan Walahar Karawang juga mengalami transformasi menjadi tempat wisata. Seperti yang saya jelaskan di atas, kawasan ini menjadi tujuan wisata. Pemandangan indah dan suasana yang mendukung membuat kunjungan selalu ada. Apalagi kuliner khas Sunda di sana juga enak dengan harga terjangkau.

Bertahan di tengah terjangan zaman

Saat ini, Bendungan Walahar Karawang sudah berkontribusi meningkatkan perekonomian dari berbagai sektor di wilayah setempat. Mungkin para penjajah dahulu tidak menyangka jika bendungan yang mereka bangun bisa menjadi daerah wisata yang sangat potensial.

Meski sudah berusia cukup tua, namun mesin-mesin yang beroperasi masih berfungsi sebagaimana mestinya. Melihat hal itu, seharusnya Perum Jasa Tirta bisa merawat bahkan mengembangkan potensi dari teknologi bendungan ini.

Penjajahan itu pasti menyakitkan karena menyandera hak kebebasan individu. Namun, di satu sisi, kita tidak bisa memungkiri bahwa Belanda meninggalkan pemikiran yang jauh ke depan. Khususnya untuk irigasi dan pertanian. 

Dan, Belanda selalu serius ketika membangun sesuatu. Buktinya, selain Bendungan Walahar Karawang, banyak bangunan peninggalan mereka masih kokoh dan kita bisa merasakan manfaatnya.

Penulis: Diaz Robigo

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Manisnya Sejarah Kecamatan Kencong Jember, Pusat Ekonomi Belanda pada Masa Kolonial

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version