Kita pasti sering banget dong, pas lagi asyik nyetir atau dibonceng, tiba-tiba di depan ada truk yang muatannya tinggi banget atau lebarnya bikin kaget. Rasanya kayak lihat gunung jalan di depan mata! Nah, itu dia yang namanya Over Dimension Over Load (ODOL). Ini bukan cuma soal truk nakal yang kelebihan muatan, tapi udah jadi cerita panjang yang benang kusutnya susah banget diurai. Ada campur aduk masalah ekonomi, aturan, sampai etika yang udah lama banget bikin kepala pusing.
Mari kita bicara seperti sesama pengguna jalan yang sama-sama sering geleng-geleng kepala melihat “gunung berjalan” itu. Masalah truk ODOL ini bukan sekadar truk kelebihan muatan biasa. Ini adalah kisah yang jauh lebih dalam, tentang harga semu yang kita semua bayar dengan cara tersembunyi.
Ini bukan lagi sekadar persoalan teknis atau pelanggaran lalu lintas; ini adalah sebuah jebakan ekonomi yang kompleks, menjerat semua pihak. Mulai dari para sopir yang terpaksa mengambil risiko demi sesuap nasi, hingga kita sebagai konsumen yang sering mengeluh barang-barang kok harganya mahal terus, padahal di baliknya ada harga tak terlihat yang terus dibayar.
Awalnya cuma mau ngirit, eh malah terjebak lingkaran setan
Bayangkan jadi pengusaha angkutan. Biaya operasional meroket: solar naik, spare part mahal, tol tambah tinggi, gaji sopir harus cukup. Logikanya, ya harga jasa pengiriman harus naik. Perusahaan besar biasanya berani tarik napas lalu naikin tarif. Tapi di lapangan? Persaingan gila-gilaan. Banyak yang ambil jalan pintas:
“Asuransi buat apa? Lagian juga jarang kecelakaan…”
“Bawa kernet satu aja deh, biar sopir yang ngurus semua.”
“Servis rutin? Nunggu ada bunyi-bunyi aneh dulu ah.”
Konsumen mayoritas juga maunya yang paling murah. Pertanyaan “Ini pakai asuransi nggak?” atau “Truknya layak jalan nggak?” jarang keluar. Pokoknya, yang penting ongkirnya nggak naik! Kalau barang rusak atau telat? Nasib, katanya. Mental “yang penting murah” ini jadi bensin buat praktik ngirit-ngiritan tadi. Dan pada akhirnya, perusahaan angkutan yang idealis bakal semakin tersingkir sama mereka yang mau turunin harga.
Kita semua mesti tahu satu hal: nggak semua biaya itu bisa ditekan terus-menerus. Ada beberapa pos pengeluaran yang memang takdirnya bakal terus naik seiring waktu. Misalnya, harga BBM jelas bakal fluktuatif, bahkan cenderung naik. Harga spare part juga begitu, apalagi kalau truk makin tua dan butuh penggantian komponen. Belum lagi jasa servis, yang biayanya juga ikut inflasi. Jadi, upaya untuk ‘ngakalin’ biaya ini lama-lama bakal mentok, karena ada batas minimum yang memang harus dikeluarkan.
Ketika sudah nggak ada lagi yang bisa dipotong, muatanlah yang dinaikkan, terciptalah iring-iringan truk ODOL
Pemangkasan biaya itu kayak lingkaran setan. Ketika BBM naik lagi, tol naik lagi, tapi harga jasa kirim dipaksa tetap murah demi bersaing, mau potong apa lagi? Gaji sopir? Udah pas-pasan. Perawatan truk? Udah minim. Kernet? Udah nggak ada. Akhirnya, muncul “solusi” instan: muat lebih banyak. Truk ODOL jadi jawaban.
“Kan satu kali jalan, sekalian aja muat banyak biar efisien!”
“Truk tetangga juga muat segitu, kalau kita nggak ikut, kalah saing!”
Awalnya mungkin cuma 10% lebih berat. Lama-lama jadi berani 50%, bahkan 100% lebih. Lihatlah pikap kecil yang muatannya kayak mau tumbang – itu puncak keputusasaan sistem. Ongkir tetap murah? Iya, tapi “murah”-nya itu ilusi. Kita nggak sadar sedang menabung masalah besar.
Harga “murah” yang sebenarnya mahal banget
Praktik truk ODOL puluhan tahun ini berhasil menciptakan patokan harga palsu di pasar. Harga beras, semen, bahan bangunan, atau barang lain yang kita beli seolah-olah ongkos kirimnya murah. Padahal kenyataannya, harga “murah” ini jauh lebih mahal dari yang kita kira. ODOL itu seperti palu godam buat aspal, bikin jalanan kita cepat rontok dan bolong-bolong. Biaya perbaikan jalan yang mencapai triliunan rupiah itu? Ya, pakai duit pajak kita. Ini artinya, kita bayar dua kali: sekali saat beli barang yang ongkirnya ‘murah’, dan sekali lagi lewat pajak buat benerin jalan yang rusak karena truk-truk tadi.
Jalan yang rusak parah itu juga bikin macet makin parah, kan? Pengiriman barang jadi molor, waktu di jalan terbuang sia-sia, dan truk juga jadi lebih boros bahan bakar. Semua ini adalah bentuk lain dari “harga” yang harus kita tanggung, bikin biaya logistik nasional secara keseluruhan malah naik, padahal seharusnya bisa lebih efisien.
Yang paling mengerikan, truk ODOL itu ibarat bom waktu di jalan. Rawan oleng, rem blong, susah dikendalikan. Setiap kali kita melihatnya, itu bukan cuma bikin jengkel, tapi ancaman nyata buat nyawa kita, keluarga kita, dan juga nyawa sopirnya sendiri yang terpaksa nemenin “gunung” itu di jalanan.
Larangan ODOL: benar, tapi kok sopirnya yang demo?
Larangan ODOL itu wajar dan perlu. Siapa sih yang mau jalan rusak atau kecelakaan? Tapi ketika aturan ini mau ditegakkan serius, kenapa justru para sopir yang ribut turun ke jalan? Ini poin krusialnya.
Kalau dipikir secara logika, ya sopir mana sih yang mau bawa muatan tidak sesuai spesifikasi truk? Sopir juga maunya keselamatan mereka terjamin, ada kernet yang mendampingi, dan gaji yang mereka terima itu sesuai dengan keringat dan risiko yang mereka hadapi. Masalahnya, ketika ODOL ini dilarang, sopir itu paham betul bahwa merekalah yang bakal dikorbanin.
Tapi, jangan salah sangka. Sebagian sopir juga paham kok kalau kondisi ini nggak sehat. Bahkan, ada juga bos-bos angkutan yang sebenarnya pengen banget naikin harga biar semua sama-sama enak: untung dia gede, sopir sejahtera, operasional sehat. Masalahnya, kalau harga tiba-tiba naik drastis, konsumen bisa lari ke kompetitor yang masih nekat main harga “murah” lewat ODOL. Nah, kalau konsumennya pada kabur, justru malah nggak ada pemasukan sama sekali, dan akhirnya malah semuanya rugi besar.
Dari sisi pengusaha truk sendiri, dilemanya juga nggak kalah berat. Truk-truk ini modalnya gede banget, lho, bisa ratusan juta, bahkan ada yang sampai miliaran rupiah. Tujuannya beli truk kan buat nyari untung, buat muterin modal. Kalau tiba-tiba nggak bisa bawa muatan sebanyak biasanya karena dilarang ODOL, pemasukan jelas langsung anjlok. Meskipun mungkin nggak bisa menghasilkan uang segede dulu, yang penting truknya masih bisa ngasilin duit biar bisa nutup cicilan, gaji karyawan, atau sekadar buat makan. Mereka juga berpikir keras gimana caranya agar modal besar yang sudah ditanamkan ini tidak hilang begitu saja.
Sebab, sopir jadi korban
Bayangkan saja posisinya sopir: gaji pas-pasan, bahkan sering dipotong seenaknya. Kalau truk harus muat normal sesuai kapasitas, artinya pendapatan per sekali jalan bakal turun drastis. Masalahnya, perusahaan atau bos muatan seringkali tidak menaikkan tarif jasa ke pengirim barang, apalagi menaikkan gaji sopir, dengan dalih “sesuai aturan”. Akibatnya, beban langsung jatuh ke pundak sopir: penghasilan berkurang, sementara tuntutan “cepat sampai dan murah” dari perusahaan/pengirim tetap sama.
Mereka demo bukan karena nggak paham bahaya ODOL, tapi karena mereka terjepit. Mereka korban sekaligus pelaku (yang dipaksa) dalam sistem bobrok ini. Sementara itu, pemilik truk atau perusahaan yang selama ini ambil untung besar dari muatan lebih, sering kali nggak kelihatan dampak langsungnya. Sopir lah yang merasakan lapar sehari-hari dan risiko di jalan. Mau tidak mau, yang selama ini mengambil keuntungan lebih besar dari pengorbanan ini, akan jadi yang harus paling duluan berkorban.
Efek oportunitas di masa lalu, bikin ODOL makin berlipat ganda
Terus ini salah siapa? Ya, kalau mau jujur, gampang aja nuduh si A salah, karena si B juga salah, terus si C juga salah karena si D, dan seterusnya. Ini kayak efek domino yang nggak ada habisnya, saling tunjuk hidung. Semua pihak punya andil dalam kusutnya masalah truk ODOL ini, dan justru karena itu, mencari satu kambing hitam itu mustahil. Masalahnya udah telanjur jadi benang kusut yang rumit banget.
Kalau mau dibedah di mana salahnya, ya emang dari awal harga enggak pernah dibuat adil. Pas BBM naik, harusnya biaya kirim juga naik dong, yang wajar. Spare part mahal, ya naikkan juga sewajarnya. Memang sih, nanti harga-harga kebutuhan pasti bakal ikut naik juga pelan-pelan. Dan pemerintah (kalo kerjanya bener) harusnya ngelakuin penyesuaian juga sama besaran upah minimum. Apalagi kalau melihat penghasilan masyarakat sekarang yang masih kehitung pas-pasan, jelas susah banget buat bikin semuanya jadi ideal secara instan.
Tapi, kalau cuma nunggu sampai kepepet kayak sekarang, di mana masalah udah numpuk parah, jelas udah telat banget! Kalau dipaksa semua sesuai aturan sekarang, biaya kirim bisa melonjak gila-gilaan, dan harga-harga barang bakal ikut naik drastis banget. Ujung-ujungnya, ekonomi bisa kacau balau juga.
Sekarang harus apa?
Dan di sinilah kita sekarang, dalam posisi skakmat. Pilihan kita cuma dua: bayar mahal langsung lunas, atau bayar mahal tapi cicil. Kalau bayar lunas, jelas kantong kita langsung kering kerontang. Kalau bayar cicil, berarti kita harus terus-terusan mantau dan sabar. Buat bikin semuanya jadi lebih ideal, jelas kita—masyarakat biasa maupun pemerintah—harus kerja sama. Pemerintah, benerin dulu deh pos-pos yang profitnya kegedean, biar jadi buffer alias bantalan dari penyesuaian biaya kirim.
Untuk pengguna jasa kirim yang sudah proper (perusahaan atau individu yang dari dulu sudah taat aturan), pertahankan standar itu! Ke depan, justru mereka yang akan jadi panutan dan pemenang dalam persaingan yang sehat. Sementara itu, buat yang belum, jelas harus berusaha perlahan-lahan jadi proper. Ini demi keberlangsungan bisnis yang sehat dan aman untuk semua.
Akan ada korban, tapi…
Dan pahitnya, banyak pihak yang harus berkorban. Entah itu beberapa perusahaan harus ngurangin profit demi menyesuaikan diri, atau orang biasa yang harus ngurangin porsi makannya karena harga barang ikut naik. Ini bukan cuma soal hitung-hitungan untung rugi lagi, tapi udah masuk ke ranah moral. Apakah kita rela membangun ekonomi di atas penderitaan orang lain atau risiko nyawa? Ini pilihan etis yang harus kita hadapi bersama.
Keluar dari lingkaran setan ini sakit, tapi lebih sakit lagi kalau terus dibiarkan. Butuh kesadaran kita semua: sebagai konsumen yang mau pilih jasa kirim bertanggung jawab, sebagai pelaku usaha yang hitung ongkos secara jujur dan manusiawi, dan sebagai pemerintah yang tegas dan adil. Harga yang jujur hari ini, adalah investasi buat jalan yang lebih aman dan ekonomi yang lebih sehat besok. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Truk ODOL yang lewat tadi, bisa jadi mengancam nyawa orang yang kita sayangi besok.
Penulis: Fawwaz Alif
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Truk Kelebihan Muatan Memang Menyebalkan, dan Sayangnya Kita Dipaksa Memakluminya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
