Solehisme: Seni untuk Bersikap Bodo Amat ala Soleh Solihun

Belajar Solehisme: Seni untuk Bersikap Bodo Amat ala Soleh Solihun terminal mojok.co

Belajar Solehisme: Seni untuk Bersikap Bodo Amat ala Soleh Solihun terminal mojok.co

Bodo amat orang-orang mau ngerti atau nggak sama isi wawancaranya, Soleh Solihun tetap semangat menyalurkan hasrat wawancara lillahi ta’ala.

“Halo, sodara-sodara….”

Barangkali sapaan tersebut tidak asing buat kamu yang hobi melahap konten obrolan, interview, podcast, atau suka-sukanya kalian mau menyebutnya apa di jagat YouTube Indonesia. Tentu saja Soleh Solihun boleh jadi nama yang jadi top of mind kamu di samping Deddy Corbuzier dengan close the door-nya, kesekutan Gofar Hilman, serta nama-nama beken lainnya.

Meminjam judul buku self improvement Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat (Terjemahan dari: The Subtle Art of Not Giving A F*ck) dari Mark Manson yang beberapa tahun terakhir banyak nongkrong di rak jualan toko buku swasta Indonesia. Dengan nilai-nilai dan sikap Soleh Solihun yang bisa kita lihat dari berbagai konten yang melibatkan beliau, boleh jadi mencerminkan sikap yang demikian. Dan boleh jadi hal tersebut membikin kita-kita jadi mikir dan mengevaluasi kembali nilai hidup yang selama ini kita percaya.

Dalam konten terbaru The Soleh Solihun Interview misalnya, beliau menghadirkan sosok tamu yang kehadirannya ditunggu banyak orang (dan banyak orang yang merasa ganteng dan berkarisma mirip dengan sosok ini), yaitu Ariel Noah. Konten wawancara berdurasi kurang lebih dua jam tersebut berhasil mengungkap sisi lain vokalis yang suka bikin geregetan para wanita. Namun, di sisi lain, konten tersebut bikin banyak orang yang tidak mengerti bahasa Sunda juga geregetan. Hahaha mangga mamam!

Bodo amat orang-orang mau ngerti atau nggak sama isi wawancaranya, Soleh Solihun tetap konsekuen dengan semangat untuk menyalurkan hasrat mewawancara yang dengan lillahi ta’ala beliau tunaikan di The Soleh Solihun Interview. Toh, yang dilakukan memang untuk kepuasan pribadi. Bodo amat dengan jumlah view dan likes, di saat banyak konten kreator suka sesumbar, “Aku bikin konten ini demi kalian, Gaeeeeeees.” Ya, kamu-kamu tidak sepenting itu di mata Soleh Solihun. Terlebih beliau tidak memperoleh adsense sama sekali dari kanal YouTube pribadinya.

Sebagai orang yang punya banyak waktu luang untuk mantengin “konten yang ada Soleh-nya” di berbagai platform hiburan, sedikitnya ada beberapa nilai yang bisa dikulik dari peraih “Anugerah Adiwarta” tahun 2006 tersebut. Nilai hidup yang juga sedikitnya mengingatkan saya dengan stoisisme, sebuah mazhab filsafat Yunani yang dibawa oleh Zeno of Citium dan eksistensinya banyak dirayakan dan direnungkan banyak orang saat ini. Pada kesempatan kali ini izinkan saya untuk membagikan beberapa nilai tersebut dengan menggunakan istilah solehisme. *cieileh

#1 Tidak semua orang omongannya berhak untuk kita dengarkan.

Sebagian dari kamu yang suka buang kuota internet untuk nonton The Soleh Solihun Interview, sudah tentu familiar dengan format yang beliau sajikan kepada penonton. Dengan hanya menggunakan kamera handphone yang sepanjang interview beliau pegang dengan tangan besinya, posisi duduk yang berdempetan dengan narasumber yang beliau pilih semau hati, juga tanpa editing yang bombastis. Dengan format yang sederhana tersebut, tidak jarang mengundang komentar netizen yang kufur nikmat dengan alibi kritik yang membangun seperti, “Kang modal tripod dooooong, gambarnya goyang-goyang, nih” atau, “Gambar dan audionya kurang nih, coba ganti pake alat yang lebih menunjang, dong!”

Menanggapi hal tersebut, beliau berkata bahwa selain gagap teknologi dan nggak mau dibuat pusing sama urusan teknis, menurut Soleh Solihun tidak semua orang pendapatnya layak didengar kecuali orang terdekat dan orang yang memberi pekerjaan kepada beliau. Ya memang, hal itu kedengarannya sederhana. Namun, memang sulit untuk ditunaikan terlebih untuk public figure.

Lantaran komen setitik rusak hari sebelanga, tapi memang hal tersebut tidak layak untuk dipusingkan apalagi sampai bawa perasaan. Soleh Solihun memilih untuk tidak terlalu menghiraukan hal tersebut karena permintaan orang tidak ada habisnya dan akan terus saja ada bagai mati satu tumbuh seribu. Selain itu, tidak semua orang bisa kita beri makan egonya. Benar, lain cerita jika sudah melibatkan orang terdekat dan orang memberi kita pekerjaan, karena hal tersebut berpengaruh langsung untuk kita dalam menjalani hari.

#2 Bodo amat dengan hidup berencana, tidak ada salahnya punya prinsip hidup mengalir seperti air.

Kata orang, “Kita yang berencana, Tuhan yang menentukan”. Kita semua tentu saja tidak asing dengan kalimat tersebut dalam proses hidup kita, dan mungkin sebagian dari kita mengamini hal tersebut.

Dalam sebuah wawancara dengan Wisnu Nugroho, Soleh Solihun dibuat terlihat agak sedikit bingung dan tergelitik dengan sebuah pertanyaan yang kurang lebih, “Dalam hidupmu kamu ada yang berpikir keras nggak dalam mengambil sebuah keputusan?” Barangkali sampai sekarang beliau dibuat kesulitan dalam menjawab pertanyaan tersebut. Pasalnya, seolah-olah apa yang terjadi dalam hidup Soleh Solihun ya mengalir begitu saja seperti air yang mengalir dan tidak pernah ngoyo dalam hidupnya. Boleh jadi hal ini mungkin menyentil mereka-mereka yang hidup penuh rencana sampai larut dalam rencana tersebut. Adapun yang menjadi paradoks adalah kesuksesan yang Soleh Solihun raih di dunia hiburan tanah air, yang tentu saja boleh jadi membuat mereka yang hidup berencana tapi relatif tidak sesukses Soleh Solihun gondok bukan main.

Anabel alias analisa gembel saya, mengatakan bahwa Soleh Solihun memilih jalan untuk melakukan yang terbaik untuk hal yang di ada depan mata. Hal ini terlihat dari apa yang beliau lakukan di dunia hiburan tanah air. Baik sebagai wartawan, penyiar radio, komedian, maupun konten kreator digital. Ketika kita melakukan yang terbaik, maka kesempatan akan datang mengalir kepada kita.

#3 Buat apa punya ambisi kalau kita belum tentu masih hidup besok.

Dalam buku yang diadaptasi dari stand up comedy spesial beliau, Majelis Tidak Alim, Soleh Solihun mengaku bahwa ia sedari kecil tidak pernah merasa akan memiliki umur yang panjang. Untuk apa mikir jauh-jauh, kalau kita masih punya kemungkinan untuk meninggal dunia besok? Tidak punya ambisi bukan berarti menjadi malas dan jadi beban keluarga. Namun, lebih mencintai takdir apa pun yang terjadi sehingga kamu tidak dibuat pusing mikirin hidup apalagi ketika kamu menjadikan pencapaian orang lain menjadi ukuran.

Sedikitnya itulah nilai Solehisme yang bisa kita amini dalam kehidupan sehari-hari. Semoga saja bisa kamu sesuaikan dengan apa yang dijalani. Boleh setuju boleh tidak. Sebab, menurut Soleh Solihun, kesempurnan hanya milik Allah semata dan lagu Andra and The Backbone.

BACA JUGA Belajar dari Soleh Solihun

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version