Belajar menyetir mobil di Indonesia sering kali bukan sekadar proses teknis, melainkan drama rumah tangga yang potensial menimbulkan trauma. Ada pola yang nyaris universal saat perempuan duduk di kursi pengemudi untuk pertama kali, laki-laki—entah bapak, pacar, atau suami—duduk di kursi penumpang. Alih-alih suasana tenang dan suportif, yang muncul adalah atmosfer penuh kepanikan.
Baru starter mesin, sudah ada suara: “Pelan-pelan, jangan ngebut!” Padahal, mobil bahkan belum bergeser sejengkal. Baru pegang setir agak kencang, langsung dikomentari: “Eh, jangan dibanting gitu dong!” Padahal jalan masih kosong melompong. Dalam hitungan menit, momen belajar yang seharusnya menyenangkan berubah jadi semacam gladi resik kecelakaan, lengkap dengan teriakan, napas memburu, dan tangan yang refleks menutup dashboard seolah-olah mobil mau menabrak truk kontainer. Kacau.
Fenomena ini begitu umum hingga hampir semua perempuan punya ceritanya sendiri. Ada yang sampai menangis di tengah latihan, ada yang memilih berhenti total karena terlalu banyak “teriakan korektif”, ada pula yang trauma dan akhirnya lebih rela membayar mahal kursus mengemudi ketimbang belajar gratis dengan orang terdekat.
Nah, di titik ini kita sadar, drama belajar menyetir ini bukan sekadar lelucon. Ini adalah masalah serius yang menyangkut psikologi protektif, ego maskulin, dan relasi kuasa dalam ruang privat. Michel Foucault mungkin akan menyebutnya sebagai “regulasi tubuh lewat wacana kecemasan”, sementara Pierre Bourdieu bisa saja menyebutnya sebagai contoh habitus patriarki yang paling banal—yakni siapa yang boleh dan tidak boleh duduk di kursi pengemudi.
Kalau dipikir-pikir memang absurd. Kita hidup di era digital, bicara AI, mobil listrik, bahkan wacana mobil tanpa sopir. Tapi di rumah-rumah kita, drama klasik masih terjadi, perempuan baru belajar menyetir saja, sudah diperlakukan seolah-olah dia ancaman keamanan nasional.
Refleks protektif ala bapak-bapak saat belajar menyetir
Bagi bapak, duduk di kursi penumpang saat anak perempuannya belajar menyetir adalah momen penuh paradoks. Ada rasa bangganya, “anakku akhirnya dewasa nih.” Tapi ada juga ketakutan: “Bagaimana kalau mobil ini nabrak tukang bakso?”
Psikologi evolusioner menyebut ini sebagai parental investment. Orangtua—terutama ayah—punya kecenderungan melindungi anaknya dari bahaya fisik, sering kali dengan cara yang lebay. Otaknya sudah memproduksi skenario terburuk bahkan sebelum mobil benar-benar jalan.
Akibatnya, peringatan yang keluar sering tak sinkron dengan fakta. Mobil masih diam, tapi bapak sudah refleks menegur: “Jangan kebut-kebutan!” Dari kacamata anak, ini jelas menggelikan. Dari kacamata bapak, ini adalah ekspresi cinta yang dibungkus teriakan.
Kalau mau pakai istilah antropologi, kita bisa bilang ini semacam “ritual transisi”. Anak perempuan yang belajar menyetir dianggap sedang melewati gerbang kedewasaan, dan bapak—sebagai penjaga gerbang—memastikan proses itu tidak berakhir di rumah sakit. Sayangnya, cara penjagaannya justru membuat suasana jadi mencekam.
Pasangan laki-laki dan ego maskulin
Kalau bapak cerewet karena rasa protektif, pacar atau suami biasanya cerewet karena ego. Di sinilah male superiority complex bekerja. Laki-laki tumbuh dengan konstruksi sosial bahwa urusan teknis—terutama mobil—adalah wilayah mereka.
Maka, ketika istrinya duduk di kursi pengemudi (saat belajar menyetir), ia merasa posisinya sebagai “sopir utama keluarga” terancam. Hasilnya? Komentar-komentar meremehkan: “Masa gitu aja nggak bisa?” atau “Ya Allah, parkir kok belepotan begini.”
Padahal, kalau kita buka data, klaim keunggulan ini rapuh. Penelitian dari University of London (2018) menegaskan bahwa kemampuan mengemudi ditentukan oleh jam terbang, bukan jenis kelamin. Bahkan, data global menunjukkan laki-laki lebih sering terlibat kecelakaan serius karena kecenderungan risk-taking yang lebih tinggi.
Jadi, ketika laki-laki lebay saat pasangannya belajar menyetir, itu bukan bukti bahwa perempuan berbahaya. Itu cuma bukti bahwa ego mereka sedang tersenggol. Judith Butler mungkin akan bilang: ini soal performativitas maskulinitas—bagaimana laki-laki harus terus-menerus membuktikan dirinya sebagai “yang lebih bisa”, bahkan di kursi penumpang.
Kecemasan proyektif
Dari sisi psikologi klinis, fenomena ini juga bisa dijelaskan dengan konsep anxiety projection. Laki-laki yang terbiasa memegang kendali mobil, begitu duduk di kursi penumpang, mendadak merasa eksistensinya runtuh. Ia tak lagi mengontrol arah, kecepatan, bahkan keselamatan dirinya.
Teriakan “Pelan-pelan!” sejatinya adalah terjemahan dari rasa takut kehilangan kuasa. Bayangkan seorang presiden yang tiba-tiba diturunkan jadi staf ahli—shock, panik, lalu sibuk kasih instruksi, meski tak lagi punya kendali langsung. Nah, kursi penumpang itu persis jabatan “staf ahli” dalam konteks domestik: ngomong keras, tapi sebenarnya tak berkuasa apa-apa.
Dari sudut pandang perempuan
Bagi perempuan, pengalaman belajar menyetir ini jelas bikin kesal. Bayangkan, baru maju sedikit, sudah dianggap salah. Baru mau parkir, langsung dibilang “awas nabrak!”. Alih-alih dapat dukungan, yang muncul justru delegitimasi.
Tak heran, banyak perempuan memilih jalur alternatif yaitu kursus resmi. Lebih mahal, tapi lebih tenang. Ironis, ya. Lebih nyaman dimarahi instruktur asing ketimbang dimarahi pasangan sendiri.
Fenomena ini sebenarnya lucu. Hampir setiap keluarga pernah punya momen bapak yang wajahnya tegang seakan-akan naik roller coaster, padahal mobil baru melaju 10 km/jam. Atau suami yang berkeringat dingin hanya karena istrinya latihan parkir di halaman rumah. Kalau dijadikan film, adegan ini mungkin bisa jadi komedi slapstick yang tak pernah basi.
Legitimasi mitos gender
Kalau pola lebay ini terus dibiarkan, ia akan memperkuat mitos klasik bahwa perempuan memang nggak bisa menyetir. Padahal, faktanya bukan soal bisa atau tidak bisa, melainkan soal atmosfer belajar yang toksik.
Di sini kita bisa mengutip Pierre Bourdieu. Menurutnya, dominasi sosial sering bekerja bukan lewat kekerasan fisik, melainkan lewat simbol, bahasa, dan kebiasaan sehari-hari. Nah, komentar lebay laki-laki ketika perempuan belajar menyetir adalah contoh nyata dari dominasi patriarki dalam bentuk paling banal.
Kursus belajar menyetir lebih damai (?)
Kesimpulan getir tapi kocak adalah ini: banyak perempuan merasa lebih damai bayar jutaan rupiah untuk kursus mengemudi ketimbang belajar gratis dengan bapak atau suami.
Karena toh, lebih baik dianggap murid oleh instruktur profesional, daripada dianggap ancaman hidup oleh pasangan sendiri.
Jadi, wahai laki-laki, sebelum Anda panik berlebihan di kursi penumpang, pikirkan baik-baik: apakah Anda ingin tetap jadi bapak atau suami yang dicintai, atau mau dikenang sebagai instruktur abal-abal yang bikin trauma selamanya? Atau…
Penulis: Budi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pengalaman Ikut Kursus Mengemudi Mobil, Antara Perlu dan Nggak Perlu-Perlu Amat
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
