Tahun ajaran baru untuk para siswa sekolah dari tingkat SMP dan SMA melahirkan banyak cerita. Sistem PPDB yang menzonasi para pelajar sebuah sekolah berdasarkan jarak rumah terhadap sekolah ini melahirkan begitu banyak polemik. Mulai dari sistemnya yang dianggap masih memiliki banyak celah sampai dengan serba-serbi kelakuan orang tua agar anak mereka bisa masuk sesuai sekolah yang diinginkan atau sekolah favorit.
Sistem zonasi sekolahan ini semacam pembatasan hak atas keinginan seseorang bersekolah sesuai dengan apa yang mereka mau. Walau yang ada, selama bertahun-tahun justru terciptanya sekolah-sekolah dengan label favorit dan unggulan. Namun secara kebebasan memilih, zonasi terhadap pemilihan sekolah oleh siswa-siswi ini termasuk kedalam pembatasan kemerdekaan.
Sistem zonasi dan batas membatasi yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak 2018 ini sebenarnya tidak membuat saya kaget. Walau dengan kondisi yang sedikit bertolak belakang, saya telah mengalami beberapa kali penolakan sebagai penerapan sistem zonasi ini. Dan itu terjadi tidak sekali, saya mengalaminya dua kali, bahkan tiga kali.
Sayangnya, seperti yang telah saya sebutkan, penolakan dari sistem zonasi yang saya alami berbeda dari yang dialami siswa sekarang. Penolakan yang saya alami adalah akibat sistem zonasi yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak perempuan mereka. Pada titik yang saya alami dan mungkin juga banyak teman-teman alami adalah penolakan dalam tahap yang tingkatannya sepuluh kali lebih tinggi dari yang dialami teman-teman siswa baru di SMP atau SMA.
Teman-teman siswa siswi baru di SMP dan SMA bisa jadi mengalami penolakan di suatu SMP atau SMA dengan jarak zonasi yang tidak seharusnya. Namun mereka, sejatinya masih memiliki pilihan sekolah lain dengan zonasi yang mungkin akan lebih dekat ke rumah mereka. Dengan kata lain, mereka menemukan alternatif yang walaupun tidak benar-benar sama dengan sekolah sebelumnya, paling tidak memiliki kemiripan dalam hal jarak. Soal kualitas, zonasi ini memang bertujuan untuk meningkatkan sebuah sekolah agar setara dengan sekolah yang lainnya.
Penolakan yang saya alami sebagai akibat sistem zonasi pemilihan calon menantu oleh orang tua sedikit banyak akan berbeda dengan yang dialami oleh para siswa baru. Seperti yang saya jelaskan diatas, mereka masih memiliki begitu banyak alternatif. Tentu tidak berlaku untuk saya. Dalam memanfaatkan zonasi ini, saya telah dua kali ditinggal menikah. Dan mungkin akan segera menjadi tiga. Bayangkan, hanya karena berusaha memperoleh menantu yang sekampung kebahagian untuk anaknya, orang tua para mantan saya ini rela menelantarkan saya begitu saja. Sakit Ferguso, Sakit!!!!!
Para tim seleksi orang tua ini membatasi kemerdekaan anak-anak mereka untuk bisa berkeluarga sesuai pilihan mereka seperti halnya pembatasan kemerdekaan terhadap siswa siswi baru SMP dan SMA . Atau kalaupun tidak sama persis dengan apa yang dialami siswa siswi baru SMP dan SMA tapi memiliki modus operasi yang sama. Sama-sama membatasi agar orang macam saya yang terlahir dan besar di kampung ini segera balik lagi ke kampungnya dan mencari saja orang kampung saya dan menikah dengannya. Benar-benar sadis!!
Padahal persoalan hati saya dengan mantan-mantan saya ini tidaklah segampang persoalan diunggulkannya atau tidaknya lokasi sekolah siswa siswi baru SMP dan SMA. Dipikirnya ketika wajah ganteng, uang banyak dan bagus IPKnya ketika lulus sudah cukup membawa anak-anak mereka kepada gerbang kebahagiaan. Tidak dong, tidak segampang itu dong.
Rasa cinta secara alami yang tumbuh atau telah diperjuangkan sejak lama juga menentukan bahagia tidaknya sebuah hubungan. Lebih-lebih cocok atau tidaknya mantan-mantan saya ini dengan pasangan baru pilihan orang tua mereka. Tidak heran, jika ada juga mantan-mantan saya yang berusaha meminta saran kepada saya sebagai mantan terbaiknya, cowok seperti apa seharunya yang mereka pilih untuk melengkapi separuh agama mereka. Dari itu saja sudah membuktikan bahwa ada sesuatu dalam diri saya yang bahkan tidak bisa dipahami para orang tua dengan sistem zonasi calon menantu di kepala mereka ini.
Bahwa memilih calon menantu untuk anaknya bagi orang tua adalah juga termasuk sebuah pekerjaan berat. Dan jika memang mereka merasa itu berat, kenapa tidak dibiarkan saja kepada proses alamiah. Bahwa jika anak mereka suka dengan saya, ya sudah lanjut lah kita. Kalau pun tidak, ya cari yang lain.
Toh pada akhirnya, sesuai tuntunan agama tidak ada tuh Nabi memberi ketentuan untuk mencari yang se-daerah saja. Kalau seagama iya. Bahkan di dalam Al-Quran disebutkan dengan jelas bahwa Tuhan sengaja menciptakan banyak suku dan bangsa agar manusia bisa Bersatu. Bisa melalui ikatan pertemanan atau yang lebih agung lagi, ikatan pernikahan tentunya.
Jadi sekali lagi untuk para orang tua, mari hilangkan pemikiran sistem zonasi untuk menentukan calon menantu anak-anak anda. Selain itu norak, anda juga menentang kehendak Tuhan. Mau kualat? Jangan berpikir anda punya orang dalam layaknya tes PPDB ya. Ini beda, Sob!