Belajar dari Kasus Netflix Malaysia, Orang Jawa Harus Bangga Berbahasa Jawa

Belajar dari Kasus Netflix Malaysia, Orang Jawa Harus Bangga Berbahasa Jawa terminal mojok.co

Belajar dari Kasus Netflix Malaysia, Orang Jawa Harus Bangga Berbahasa Jawa terminal mojok.co

Akhir bulan lalu, Twitter dihebohkan dengan kemunculan sebuah utas yang memperlihatkan kegaduhan warganet Malaysia yang meributkan penggunaan bahasa Inggris dalam akun Twitter Netflix Malaysia. Mereka beramai-ramai membandingkan akun Netflix negaranya dengan negara tetangga, termasuk Indonesia. Netflix Malaysia dianggap mengecewakan karena memakai bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, alih-alih bahasa Melayu. Padahal, Netflix dari negara lain seperti Jepang, Thailand, serta Indonesia menggunakan bahasa nasional masing-masing sebagai bahasa pengantar akunnya.

Dalam keributan yang disajikan utas tersebut, mereka kecewa dan menuntut Netflix Malaysia menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Kekecewaan mereka yang diekspresikan dalam twit berujung pada twitwar dan melebar ke isu identitas. Hal ini mengingat saat ini banyak masyarakat Melayu urban lebih memilih bahasa Inggris sebagai bahasa keseharian. Pun banyak orang dari etnis Cina dan India di Malaysia yang tak fasih dengan bahasa kebangsaan, bahasa Melayu.

Netflix Malaysia secara tak langsung menyiratkan bahwa eksistensi bahasa Melayu di Malaysia semakin luntur. Lebih-lebih banyak orang yang mendukung Netflix Malaysia untuk tetap menggunakan bahasa Inggris karena dianggap mewakili kepentingan pengguna dari semua kalangan. Meski begitu, lebih banyak pihak yang menganggap bahwa hal tersebut akan berdampak pada krisis identitas.

Dalam twitwar isu tersebut, warganet Malaysia salut dengan Indonesia yang tetap bangga dengan bahasa nasionalnya sendiri, bahasa Indonesia. Mereka beranggapan bahwa masyarakat Indonesia sukses menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di samping banyaknya bahasa daerah. Warganet Malaysia menyayangkan karena ragam bahasa di Malaysia tidak sebanyak bahasa daerah di Indonesia, tetapi gagal menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.

Menyadari hal tersebut, saya pun merasa bangga. Apa yang telah disepakati dalam Kongres Pemuda masih eksis hingga saat ini. Ya, meskipun di masa sekarang banyak orang yang gemar mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris agar terkesan intelek.

Meskipun demikian, ada hal lain yang tiba-tiba terbesit di otak saya. Seperti halnya di Malaysia, di mana bahasa Inggris mulai dijadikan bahasa pemersatu antaretnis. Di sini bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu sehingga semua orang mengutamakan penggunaannya. Hal ini perlahan menimbulkan fenomena yang memprihatinkan, yakni kepunahan bahasa daerah.

Menurut Kemendikbud, ada sebelas bahasa yang kini dinyatakan punah akibat kehilangan penutur. Hal ini sangat disayangkan mengingat bahasa daerah merupakan wujud diversitas Indonesia.

Kemendikbud juga menyatakan bahwa ada 26 bahasa daerah yang dinyatakan aman dari kepunahan. Bahasa-bahasa tersebut tak lain berasal dari suku dengan populasi besar seperti Jawa, Sunda, Bugis, dan Minang.

Biarpun dinyatakan aman oleh Kemendikbud, sebagai orang Jawa, saya merasa bahasa Jawa kini sedang nggak baik-baik saja. Banyak kawula muda di sini menganggap bahasa Jawa sebagai simbol keterbelakangan, sedangkan bahasa Indonesia dan Inggris identik dengan modernitas.

Bahasa Jawa dianggap sebagai sesuatu yang kasar dan identik dengan pergaulan kaum proletar. Lantaran itulah muncul fenomena di mana bahasa Jawa hanya dipakai sebagai bahasa pergaulan antarteman saja, sedangkan ketika menjalin hubungan romantis (misalnya pada pasangan) hal ini tidak berlaku.

Fenomena para orang tua muda yang memilih untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu bagi anak-anaknya yang saya sorot di sini merujuk pada pasangan orang tua yang sama-sama berlatar belakang orang Jawa sekaligus tinggal di daerah dengan penutur bahasa Jawa. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena dapat berpotensi untuk menciptakan generasi gagap bahasa Jawa yang lebih besar lagi.

Bukannya sok ngatur-ngatur, tetapi memang untuk keadaan yang saya utarakan di atas, nggak ada alasan untuk mengelak menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu untuk anak. Paling tidak, bahasa Jawa masih relevan untuk dipakai dan dilestarikan hingga kini.

Nggak perlu merasa khawatir anak nggak bisa bahasa Indonesia ketika menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Anak akan dengan sendirinya bisa berbahasa Indonesia karena lingkungan sekitar mendukung untuk mempelajari hal tersebut. Lagu anak, siaran televisi, buku, dan pelbagai fasilitas yang ada di sekeliling akan membantu meningkatkan kemampuan bahasa Indonesia-nya.

Nggak ada ceritanya orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa mengalami kesulitan berbahasa Indonesia. Namun sebaliknya, banyak sekali anak dari pasangan orang Jawa yang tinggal di daerah berbahasa Jawa, tetapi kesulitan berbahasa Jawa.

Buat kamu yang masih malu untuk berbahasa Jawa, saya cuma mau bilang bahwa status sosial dan ekonomi seseorang nggak dinilai dari bahasa apa yang ia gunakan, kok. Jangan sampai orang Jawa mengalami krisis identitas karena stigma buruk tentang bahasa Jawa.

Kalau kamu masih punya pikiran untuk percaya pada stigma, lebih baik perbanyak edukasi diri agar dapat membuka pikiran sempitmu.

BACA JUGA Mereka yang Pura-pura Cari Penjual Netflix di Twitter Itu Mengganggu Banget dan tulisan Hastomo Nur Hidayatulloh lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version