Ketika saya memulai sekolah kedokteran, saya membayangkan akan langsung mempelajari tubuh manusia dan penyakit-penyakit yang bisa hinggap di sana. Ternyata hal-hal tersebut baru dipelajari pada semester dua saya bersekolah. Hanya ada tiga hal yang saya pelajari pada semester pertama saya menyandang status mahasiswa kedokteran. Hal pertama adalah ilmu komunikasi karena pekerjaan dokter sangat melibatkan pelayanan. Kedua adalah ilmu komputer karena hampir informasi dan literatur ada di sana, biar saya tidak perlu beli buku kedokteran yang mahal-mahal itu.
Hal ketiga yang saya pelajari pada awal studi adalah metode ilmiah dan penelitian, suatu hal saat itu asing bagi saya. Selama satu bulan lamanya kami mempelajari metode ilmiah hingga akhirnya perspektif saya terbuka.
Saya baru menyadari bahwa mencari fakta medis bukanlah tindakan mudah. Berani menyatakan rokok meningkatkan risiko kanker paru ternyata membutuhkan perjuangan bertahun-tahun. Proses paracetamol bisa diklaim menurunkan demam juga sulit bukan main. Semua fakta tersebut harus didapatkan melalui penelitian dan metode ilmiah yang harus bisa dipertanggungjawabkan, dibuktikan, atau jika diulangi oleh orang lain, kesimpulannya tetap serupa.
Inilah yang membedakan kedokteran modern dan pengobatan alternatif. Pengobatan alternatif seperti yang dilakukan Ningsih Tinampi, Jeng Jumaroh, atau Mak Erot mendapatkan pengakuannya melalui testimoni. Kalau kita lihat brosur pengobatannya atau acara talkshow-nya di televisi, kita akan digiring bahwa perkataan mereka benar karena adanya testimoni dari orang-orang yang bilang: “Kanker saya sembuh setelah bertahun-tahun berobat!”, “Kemaluan saya lebih besar sekarang!”, atau “Badan saya lebih enteng!”
Nah, di dunia kedokteran, sekadar omongan orang mau dalam bentuk seratus testimoni pun tidak ada artinya sebelum ada pembuktian lewat metode ilmiah. Lalu apakah kita sepenuhnya menolak mentah-mentah pengobatan alternatif? Tidak juga. Dunia kedokteran modern saat ini telah mengenal istilah complementary and alternative medicine. Akupuntur dulu diragukan kebenarannya oleh kedokteran Barat, tetapi setelah dibuktikan melalui penelitian-penelitian, kini mulai diterima secara resmi bisa mengobati nyeri dan stres. Di Indonesia pun sudah ada pendidikan dokter spesialis akupuntur yang berbasis bukti ilmiah.
Selain pengobatan, sama halnya pula dengan suatu pernyataan. Sebelum dokter berani bilang “Kegemukan meningkatkan risiko kencing manis” atau “Alkohol meningkatkan risiko penyakit hati”, penelitian harus membuktikannya terlebih dahulu.
Suatu pernyataan atau kesimpulan biasanya didapat melalui suatu penelitian. Nah, penelitian ini jenisnya bermacam-macam. Ada satu konsep penting bernama tingkatan bukti atau level of evidence dari beragam jenis penelitian. Dulu, sebelum mengenal hal ini, saya selalu percaya dan merasa keren mendapatkan informasi dari apa pun yang dikatakan suatu jurnal kedokteran. Saya juga pasti iya-iya saja kalau dosen saya memberi tahu mengenai sesuatu. Padahal, ternyata tidak semudah itu. Jurnal kedokteran pun banyak yang metodenya salah. Apalagi berita-berita yang di luar jurnal ilmiah tersebut.
Dunia kedokteran mengenal suatu senjata sakti berupa segitiga bernama level of evidence yang membantu menjawabnya. Terdapat setidaknya lima tingkat kepercayaan dengan level 5 yang paling rendah atau meragukan, dan level 1 yang paling tinggi alias hampir pasti benar.
Kita mulai dengan level 5 atau tingkat kepercayaan yang paling rendah. Level yang dulu mencengangkan saya ini adalah “pernyataaan para ahli”. Kaget bukan main saya bahwa testimoni seorang ahli saja sifatnya paling rendah dibandingkan jenis penelitian lainnya. Apalagi kalau testimoninya bukan dari ahli.
Lalu kita naik ke tingkat kepercayaan di atasnya. Level 4 ini adalah pernyataan yang didapat dari serial kasus. Artinya, suatu hal dikatakan benar atau salah hanya berdasarkan laporan beberapa kasus yang terpercaya yang biasanya jumlahnya masih sedikit.
Level 3 adalah pernyataan yang didapat dari penelitian yang dinamakan “kasus-kontrol”. Penelitian jenis ini sifatnya retrospektif atau melihat ke belakang. Jenis ini berbeda dengan level di atasnya, bernama kohort, yang bersifat prospektif atau melihat ke depan. Sedangkan level yang paling tinggi pada suatu penelitian disebut randomized controlled trial (RCT) atau uji acak terkendali.
Nah, biar tidak makin bingung dan tidak keruan, saya coba buatkan analogi atau contoh awamnya. Bayangkan kamu seorang peneliti atau dokter yang masuk ke suatu desa. Kamu mendengar desas-desus bahwa ada satu buah, sebut saja namanya buah bulat, yang bisa membuat seseorang awet muda. Dengan contoh seperti ini, bagaimana kamu bisa membuktikan bahwa buah tersebut benar-benar berkhasiat?
Kamu bisa saja mempercayai pendapat seorang ahli atau dokter. Kita anggap saja kamu mendatangkan seorang ahli buah nan sakti mandraguna. Ia bilang, “Ya, buah ini benar-benar membuat orang awet muda!”. Nah, ini adalah contoh tingkat bukti level 5 atau yang paling rendah, meragukan, dan kalau bisa dihindari. Sedangkan pada level 4, yang kamu lakukan adalah menemukan 10 orang awet muda yang ternyata benar-benar sering makan buah bulat. Namun, tentu saja kamu masih ragu karena jumlahnya masih sedikit.
Kalau yang lebih bagus lagi atau level 3, kamu sebagai peneliti akan melakukan penelitian kasus-kontrol. Caranya dengan mengumpulkan semua orang yang saat ini awet muda dan yang tidak. Lalu kamu tanyakan apakah ia sejak dulu mengonsumsi buah bulat dan kemudian kamu bandingkan. Namun, karena sifatnya melihat ke belakang, tentu saja kekurangan metode ini adalah mereka bisa lupa apakah mereka benar-benar rajin makan buah itu atau tidak. Kamu juga tidak tahu pasti seberapa banyak yang mereka makan karena makan siang kemarin hari saja kita sudah lupa, bukan?
Nah, pada level 2, permasalahan ini bisa dijawab dengan lebih akurat karena pada level ini, yang disebut kohort, kamu mengumpulkan semua orang yang saat ini rutin makan buah bulat dan akan kamu lihat sepuluh tahun lagi mengenai seberapa banyak dari mereka yang benar-benar jadi awet muda.
Lalu kita tiba pada level 1. Tingkat yang paling tinggi dalam mengambil kesimpulan ini disebut uji acak terkendali. Pada level ini, kamu akan membagi orang-orang menjadi dua kelompok. Satu kelompok akan mendapat konsumsi rutin buah bulat dan yang satu lagi tidak. Namun, mereka berdua akan seolah-olah mendapat buah bulat. Anggap saja bahwa satu kelompok mendapat jus asli buah bulat dan satu kelompok lain mendapat jus tomat yang dibuat rasa, bau, dan teksturnya sama persis dengan buah bulat. Idealnya, yang membuat jus tersebut adalah orang lain selain kamus ehingga baik orang-orang yang kamu teliti dan kamu sendiri benar-benar tidak tahu apa yang seseorang dapatkan. Itu akan menjadikan penelitianmu benar-benar objektif. Pada akhir penelitian, barulah dibuka dan dinilai apakah buah bulat benar-benar membuat awet muda pada kelompok yang mendapatkannya.
Hal inilah yang dijelaskan dalam segitiga level of evidence. Hal ini juga yang membuat seorang dokter harus benar-benar hati-hati dalam menyatakan sesuatu. Hal ini pula setidaknya bisa membuka wawasan orang-orang awam untuk bisa menelaah pernyataan-pernyataan yang tiap hari berseliweran di laman media sosial dan WhatsApp. Semoga dengan sedikit paham segitiga ini, setidaknya kita mulai mempertanyakan bagaimana sesuatu hal dalam kedokteran disebut benar dan bagaimana suatu obat benar-benar berkhasiat dan bukan kaleng-kaleng.
BACA JUGA Diimbau Jangan Mudik Tapi Boleh Mudik Itu Maksudnya Gimana, sih?
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.