Beda Puasa di Jerman dan di Indonesia Selain Durasi Puasa yang Lamanya 17 Jam

puasa di Jerman

Beda Puasa di Jerman dan di Indonesia Selain Durasi Puasa yang Lamanya 17 Jam

Ini tahun ke enam aku merasakan puasa di tempat rantau. Tapi Ramadhan tahun ini akan 180 ̊ berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Jika 5 tahun sebelumnya aku menjalankan bulan Ramadhan sebagai anak kos-kosan di Indonesia, maka tahun ini aku akan merasakan puasa menjadi anak rantau di Jerman.

Puasa tahun ini benar-benar aneh untukku. Tidak ada suasana Ramadhan samasekali! Wajar sih, aku tinggal di lingkungan yang minoritas muslim dan masjid juga lumayan jauh dari rumah. Di Indonesia saja suasana Ramadhan tahun ini tidak seramai tahun-tahun sebelumnya akibat Covid-19, gimana dengan di Jerman yang minoritas muslim. Ketiadaan Ramadhan vibes semakin terasa. Aku hanya seperti menjalani hari diluar bulan Ramadhan.

Keanehan ini diperparah dengan durasi puasa yang lamaaaa. Jika saat di Indonesia durasi berpuasa kurang lebih 14 jam, maka disini aku harus berpuasa kurang lebih selama 17,5 jam dan akan semakin panjang dari hari ke hari. Jerman adalah negara yang memiliki 4 musim, sehingga panjang waktu matahari bersinar tergantung pada musim. Tahun ini bulan Ramadhan berlangsung di musi semi yang suhunya memang masih cukup dingin dan akan mulai panas di akhir musim sekitar di pekan terakhir bulan mei. Meskipun suhunya masih dingin, tapi matahari sudah bersinar lebih panjang dibanding musim dingin. Terangnya siang akan lebih menguasai dibanding gelapnya malam.

Di pertengahan musim semi seperti ini, matahari terbit sekitar pukul 05.57 dan tenggelam pukul 20.31. Sudah terlihat kan aku harus puasa berapa lama? Aku harus bangun sahur sekitar pukul  03.00 karena adzan subuh akan berkumandang melalui smartphone ku di pukul 03.48 dan akan berbuka puasa pukul 20.31. Awalnya aku pikir, aku akan lemas karena berpuasa dengan durasi sepanjang itu. Namun ternyata aku tidak selemah itu. Hehehehe. Kondisiku baik-baik saja saat berbuka. Mungkin juga karena aku tidak banyak beraktivitas fisik dan juga suhu di sini masih cukup dingin yaitu sekitar 5 ̊ C dipagi hari dan 15 ̊ C di siang hari.

Hal lain yang membuat agak berat menjalani Ramadhan di sini selain durasi puasa yang panjang yaitu sholat terawehnya. Jika azan saja aku hanya mendengarnya melalui smartphone, maka tidak perlu ditanyakan lagi apakah aku bisa dengan mudah ikut teraweh berjamaah di masjid seperti di Indonesia. Jawabannya sudah jelas tidak.

Pertama karena lokasi masjid yang jauh. Ada dua masjid yang berada di kota tempatku tinggal. Satu masjid milik orang-orang Turki dan satunya lagi milik orang-orang mesir. Untuk datang ke kedua masjid itu, aku harus naik bus sedangkan bus terakhir beroperasi di pukul 20.25. Alasan kedua karena masjid sudah pasti ditutup akibat pandemi Covid-19 yang terjadi di seluruh dunia. Aku harus puas hanya dengan teraweh di rumah.

Salat teraweh dilaksanakan setelah sholat Isya dan waktu Isya di sini yaitu sekitar pukul 22.26. Di saat orang lain sudah tertidur, kami yang menjalani puasa di Jerman harus menunda tidur untuk menunggu sholat Isya dan melaksanakan sholat teraweh. Salat teraweh memang termasuk salat Sunnah tapi ia termasuk ibadah yang sangat sayang jika tidak dilaksakan. Pasalnya, salat teraweh adalah salat sunnah yang hanya ada di bulan Ramadhan. Alangkah ruginya jika tidak melaksanakannya. Aku baru bisa beranjak tidur sekitar pukul 23.00.

Di pekan akhir Ramadhan, puasa akan semakin menantang. Hal ini terjadi karena waktu subuh terjadi sekitar pukul 02.51, maghrib sekitar pukul 21.00 dan isya pukul 23.21.

Pokoknya ini adalah Ramadhan teraneh yang pertama kali kujalani dalam hidupku. Orang-orang lokal sini, tidak semuanya tahu bahwa Ramadhan sedang berlangsung; tidak ada acara televisi yang menemani sahur maupun berbuka puasa; tidak ada kultum (kuliah tujuh menit) khas Ramadhan; tidak ada ngabuburit; tidak ada bukber alias buka bersama; tidak orang yang beramai-ramai membaca Al-Qur’an di sudut-sudut masjid; tidak ada i’tikaf; tidak ada sahur on the road; tidak ada sholawat serta adzan dari masjid yang selalu menjadi favoritku; tidak ada pasar Ramadhan yang penuh dengan aneka jajanan serta es yang menggoda dan ketiadaan lainnya yang selalu aku rindukan.

Meskipun tengah menjalankan puasa di Jerman dengan segala keterbatasannya, aku tetap harus semangat dan memaksimalkan ibadah di bulan ini. Semoga teman-teman yang juga berada dikondisi sama denganku, tinggal dilingkungan nonmuslim dan durasi puasa yang lama bisa saling menguatkan. Selamat berpuasa untuk seluruh muslim di penjuru dunia. Marhaban Ya Ramadhan!!

BACA JUGA Puasa Ramadan di Indonesia dari Pengamatan Kawan Bule Saya atau tulisan Dina Noviana lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version