Menjadi juara kelas itu bisa memberikan kebanggaan tersendiri. Apalagi misal dengan menjadi juara kelas bisa membuat bapak ibu di rumah yang tadinya pelit sekali menjadi begitu nyah nyoh. Bapak ibu yang tadinya suka sekali ngomel menjadi begitu ramah. Dan bisa jadi bahan pamer buat Bapak Ibu saat pertemuan keluarga besar, arisan PKK sampai pertemuan RT, atau abis penerimaan rapor.
Namun, paradigma pendidikan selalu bergerak dan membuat perubahan. Peringkat kelas sudah tidak sesuai lagi dengan azas pendidikan yang berlaku saat ini. Tentu saja negara kita termasuk agak ketinggalan. Jika di negara maju pendidikan telah menitikberatkan pada aspek perkembangan psikologis, negara kita sibuk dalam pembangunan kognitif manusianya.
Sampai akhirnya didengungkan pendidikan berbasis karakter atau sebutan lainnya yang intinya sama yaitu pendidikan diarahkan untuk pembangunan karakter. Aspek psikologis siswa mulai jadi perhatian.
Pendapat Gardner dengan sembilan kecerdasan manusia semakin menekankan jika setiap manusia itu yaa hampir mustahil memiliki kesembilan kecerdasan semuanya itu. Kecerdasan-kecerdasan ini yaitu kecerdasan verbal-linguistik, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan visual, kecerdasan kinestetik, kecerdasan musikal,kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan naturalis dan kecerdasan eksistensial.
Jika ada anak yang cerdas kemampuan linguistik atau bahasanya, kemampuan matematikanya biasa-biasa saja. Begitu juga sebaliknya. Jika anak cerdas secara kinestetik belum tentu interpersonal atau ketrampilan sosialnya unggul. Keunggulan manusia pada satu aspek inilah yang sekarang bisa menjadikan modal manusia itu berkembang dengan potensinya.
Akan tetapi ada hal yang menyebalkan setiap penerimaan rapor yang masih saya temui. Misal wali murid yang bertanya berapa peringkat anaknya di kelas. Anaknya nih termasuk bego, pinter, apa biasa aja. Ketika saya bilang peringkat kelas sudah tidak ada, eh malah orang tua ada yang protes.
Ketahuilah wahai Bapak maupun Ibu, bahwa nilai yang ada di rapor tidak selalu menunjukkan kemampuan sesungguhnya dari putra putri sampeyan. Setidaknya ada beberapa alasan kenapa nilai rapor tidak perlu dipercaya amat.
Nilai rapor itu nilai katrolan
Memang tidak semua tapi bisa saya pastikan sebagian besar angka di nilai rapor itu sudah dikatrol. Semenjak ada KKM ( Kriteria Ketuntasan Minimum), guru dituntut untuk memberi nilai sesuai standar minimum yang sudah ditetapkan. Ketika ada nilai di bawah standar minimum KKM dengan berbagai cara, termasuk remidi, meskipun remidi ini seringnya formalitas, ya nilai dibuat harus sesuai KKM.
Berapa jumlah katrolan ini juga tergantung siswanya. Ada yang jumlah katrolannya sedikit ada yang banyak. Tergantung progress belajar siswa juga. Siswa pendiem nggak macem-macem di kelas, bisalah dikatrol agak banyakan daripada siswa yang rame dan berisik minta ampun.
Nilai rapor adalah nilai kasih sayang
Harus diakui nilai rapor kebanyakan adalah nilai belas kasihan guru kepada muridnya. Unsur kemanusiaan atau welas asih ini tidak saja diwujudkan saat proses belajar mengajar namun juga dalam memberi nilai rapor.
Sebagai guru, saya juga lihat-lihat dulu siapa yang perlu saya kasihani dan seberapa besar level kasihan saya. Bagi siswa yang sudah berupaya mengerjakan tugas tapi hasilnya jauh dari harapan adalah jenis pertama siswa yang saya kasihani. Siswa seperti ini adalah siswa yang memiliki kesungguhan untuk belajar meskipun sulit untuk mencapai pemahaman.
Jenis kedua adalah siswa yang memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu. Semisal siswa yang tidak tinggal dengan orangtuanya. Siswa model begini biasanya memang pemalas. Tapi kenapa saya kasihani? Karena kondisi siswa ini harus ditinggal orang tuanya merantau ke luar kota bahkan ke luar negeri atau bercerai. Mereka tinggal dengan mbah, pakde, bude atau anggota keluarga lainnya.
Keterbatasan lainnya lagi adalah masalah ekonomi. Sudah siswa ini tinggal di keluarga miskin, tidak ada support pendidikan yang baik dan sulit memahami pelajaran. Siswa ini mau berangkat sekolah tiap hari serta patuh dan taat sama aturan itu udah syukur banget. Nggak usah mengharap harus pinter pelajaran yang penting udah mau sekolah.
Waah nggak adil dong masak kasih nilai rapor karena kasihan? Yha tapi lebih nggak adil lagi jika kondisi siswa seperti di atas disamakan dengan siswa pinter udah dari lahir, dukungan keluarga bagus, ortu sadar pendidikan tinggi pula, dan kondisi ekonomi baik. Mereka dijadikan satu kelas eh terus dikompetisikan dengan standar soal dan kompetensi yang sama.
Setidaknya rasa belas kasih ini memberi poin tambahan biar nggak kelihatan ketinggalan banget dari temannya yang pinter dari sononya.
Nilai rapor adalah gengsi guru
Nah ini adalah alasan penting buat guru. Jika semakin banyak siswa mendapat nilai di bawah standar minimal maka pertanyaan yang muncul, apa gurunya nggak bisa ngajar sih?
Evaluasi reflektif yang digunakan untuk menilai kinerja guru saat ini adalah nilai siswa. Semakin banyak nilai siswa di bawah standar semakin menunjukkan rendahnya profesionalisme guru. Semakin banyak nilai siswa berada di atas standar minimal ya berarti guru dianggap semakin berkualitas. Jadi pilihannya kalau bisa kasih nilai jangan jelek-jelek amatlah hahaha.
Jadi wahai Bapak dan Ibu, tidak perlulah merasa bangga-bangga amat sama nilai rapor anaknya jika angka-angka di rapor itu menjulang tinggi. Apalagi hampir semua mapel kok nilainya tinggi semua. Pertanyaan kepada guru cobalah diganti. Jangan tanya ‘Anak saya peringkat berapa ya Bu?’, ‘Anak saya pinter nggak Bu?’.
Coba bertanya pada guru,’Anak saya ini kelebihannya di bidang apa ya Bu?’, ‘Anak saya punya kelemahan di mana ya Bu?’, ‘Kelihatannya minatnya apa ya Bu?’. Atau jika perlu langsung saja bertanya,’Ini bener nilai anak saya segini Bu?’, ‘Ini nilai anak saya dikatrol berapa ya Bu?’. Wah kalau saya ditanya seperti ini akan langsung saya jawab dengan senang hati dan sejujur-jujurnya.
Itulah alasan kenapa rapor tidak menunjukkan kemampuan anak yang sesungguhnya. Ketahuilah bahwa anak itu pasti punya kemampuan spesialnya sendiri-sendiri, jangan dipukul rata.
BACA JUGA Dalam Suatu Hubungan, Seharusnya Tidak Ada Kata dan Rasa Bosan atau tulisan Hanifatul Hijriati lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.