Barista yang sombong dan judes ke pelanggan coffee shop mendingan resign dan alih profesi jadi desk call pinjol. Atau mending stop jadi barista dan beresin tuh kuliah. Dah keteteran kan? Yok kelarin matkul yang masih C biar bisa skripsi!
Ada kan jenis barista yang kalo pelanggan lama pilih menu malah judes, sebel, dikode-kode biar cepet, dan tidak membantu memilih sama sekali. Padahal ada alasan kenapa si pelanggan lama milih menu. Bisa bingung karena kebanyakan menu. Bisa karena nyari yang dia mau tapi nggak nemu-nemu, atau sesimpel karena nggak tau mau pesen apa.
Harusnya tugas barista kan membantu mengarahkan pelanggan biar dapet menu yang paling pas kan. Bukan malah menganggap si pelanggan beban karena bikin lama proses pemesanan. Giliran si pelanggan tanya apa yang enak, minta rekomendasi, minta dipilihin, si barista malah jawab tergantung selera.
Lah, jawaban macam apa ini?
Konsep tergantung selera itu kan kalo si pelanggan dah tau rasa masing-masing menu. Gimana bisa tau mana yang sesuai selera kalo belum pernah nyobain semua?
Daftar Isi
Coffee Shop adalah industry hospitality
Setuju atau nggak, tapi coffee shop itu adalah industri hospitality. Bukan industri kuliner. Kalo kuliner, penjualnya judes mah bodo amat. Bahkan di industri kuliner ada anekdot kalo penjualnya makin judes, maka makanannya pasti makin enak. Dateng aja ke tempat gudeg yang terkenal enak. Penjualnya judes, kan?
Tapi hal ini nggak berlaku ke coffee shop. Baristanya judes, ya pelanggan nggak bakal balik lagi. Tempatnya enak, menunya enak, baristanya judes, nggak bakal betah yang dateng ke sana.
Barista itu wajib ramah. Nggak ada toleransi. Ujung tombak dari coffeeshop ya keramahtamahan dari barista. Itulah alasan kenapa barista ada kompetisi open service. Di kompetisi itu bakal diuji gimana barista melayani pelanggan dengan ramah sambil bikin kopi. Tujuannya bukan buat keren-kerenan. Bukan buat gaya-gayaan. Bukan buat gengsi-gengsian. Tujuannya ya agar yang ikut kompetisi, entah menang apa nggak, bisa seramah pas ikut kompetisi kalo balik kerja lagi.
Dulu salah satu konten reels yang saya buat sempat menggegerkan dunia perkopian, sampai-sampai saya dicap sebagai Rocky Gerung dunia kopi. Intinya saya membuat pertanyaan tentang juara kompetisi Barista Championship dan Brewers Championship gelar juaranya bisa dipertanggungjawabkan lewat apa. Banyak barista yang marah dengan pertanyaan yang konon menggiring opini kalo para juara gelarnya nggak bisa dipertanggungjawabkan.
Padahal jawaban dari pertanyaan itu sangat jelas, yakni gelar juara mereka dipertanggungjawabkan saat kembali bekerja. Sudah juara kompetisi open service, harusnya makin ramah ke pelanggan, dong? Bukan makin sombong karena sudah juara!
Barista itu bukan marketing
Di sisi lain, owner coffee shop juga kadang aneh. Merasa bahwa barista itu ujung tombak dari cofee shop, mendadak membebankan tugas promosi ke mereka. Diminta bikin konten, diminta nyebar brosur di pinggir jalan. Bahkan diminta membawa temen tongkrongan main ke coffee shop itu. Intinya barista juga diminta ngurusin marketing, dan itu adalah kesalahan besar.
Bukan tugas barista untuk mendatangkan pelanggan. Itu sudah ranah yang berbeda. Akan tetapi, tugas barista untuk memastikan pelanggan yang datang, akan kembali datang, dan terus datang di hari-hari berikutnya. Caranya bagaimana? Ya dengan keramahtamahannya!
Apa sih alasan pelanggan datang ke sebuah coffee shop? Selain karena jarak yang dekat, kopinya enak, wifinya kenceng, alasan lain adalah kedekatan dengan para baristanya. Barista itu kalo perlu harus hapal dengan para pelanggan. Nggak perlu sampai hafal nama. Cukup disapa dengan, “Woy, Mas!” atau, “Woy, Mbak!” setiap kali dateng lagi. Pasti si pelanggan akan merasa lebih senang kalau dikenali si barista.
Jangankan barista di coffee shop, kita kalo dateng ke angkringan, dan bapak angkringannya apal sama kita, pasti rasanya seneng, kan? Ya sesimpel itu bikin pelanggan merasa dekat. Apalagi kalo si barista sampai hafal menu pesenan si pelanggan. Itu bakal bikin si pelanggan makin betah dateng.
Saya kalau datang ke coffee shop, dan baristanya langsung bilang, “Yang biasanya, mas?” meski awalnya mau pesan menu lain, tapi pasti bakal pesen yang biasanya, untuk menghargai si barista karena bisa sampai sedalam itu mengenali pelanggan.
Faktor yang membuat seseorang datang ke coffee shop
Keramahtamahan dan kedekatan si barista dengan pelanggan itu menurutku menjadikan alasan si pelanggan betah balik. Dulu awalnya saya mengira bahwa faktor utama sebuah coffee shop akan saya samperin adalah jaraknya yang dekat. Makin ke sini, ternyata nggak juga. Hal itu terbantahkan dengan saya yang lebih suka ngopi di Jogja Selatan, padahal saya tinggal di Jogja Utara. Ada apa di Jogja Selatan? Ada sebuah kedai kopi di kompleks pasar. Konsepnya yang unik, cerita penuh rintangan di balik berdirinya kedai kopi itu yang berbau politis dan seru dikulik, serta para tukang seduhnya yang ramah dan seru, semua itu menjadi faktor penting kenapa mau datang ke sana!
Celakanya, bahkan owner coffee shop juga nggak sadar mengenai betapa pentingnya hospitality dari para barista. Kalau tau ini adalah hal penting, pasti akan melakukan upaya agar hospitality para baristanya meningkat. Misal dengan mengadakan pelatihan rutin. Atau memberikan KPI untuk menghapal pelanggan sampai ke pesanan favoritnya. Atau meminta barista untuk ngajakin ngobrol pelanggan yang datang sendirian, atau semacamnya.
Jangan bilang nggak ada coffee shop yang melakukan hal-hal seperti itu. Saya bisa nulis ini karena tahu betul ada coffee shop yang menuntut baristanya punya hospitality yang luar biasa. Nggak mau saya sebut karena nanti dikira endorse!
Oleh karena itulah, selain dari sisi barista, owner juga harus peduli. Bagi barista, kalau mereka melayani sesuka hati dengan arogansi, tapi nggak dapat sanksi, ya ngapain harus memperbaiki diri, kan? Owner coffee shop juga jangan cuma nyari barista good looking lah. Buat apa penampilan barista kayak super model kalo kelakuan kayak super villain?
Gaji barista dikit, tapi kok dituntut banyak?
Aku pernah mengangkat tema ini di konten reels, dan saking gegernya, justru menjadi ajang menyebut berbagai coffee shop yang pelayanannya buruk. Dari sekian banyak respons, yang paling bikin saya sebel adalah barisan barista yang nggak mau dituntut harus ramah karena gaji mereka kecil. Mereka mengeluh dengan gaji yang di bawah standar, tetapi banyak beban yang dipikul selama bekerja.
Jawabanku satu sih. Kalo keberatan dengan gaji yang kecil dan nggak mau ramah, yaudah nggak usah jadi barista!
Penulis: Riyanto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Barista Jogja: Antara Seksi, Romantis, dan Upah Kelewat Rendah