Banyuwangi: Ditinggal Ngangeni, Ditunggui Bikin Sakit Hati

Banyuwangi: Ditinggal Ngangeni, Ditunggui Bikin Sakit Hati

Banyuwangi: Ditinggal Ngangeni, Ditunggui Bikin Sakit Hati (unsplash.com)

Jujur beberapa tahun terakhir ini saya lelah melihat Banyuwangi dan tingkah polah pemerintah daerahnya semakin menjadi-jadi. Cenderung mementingkan perut sendiri.

Saya dulu bangga bilang ke teman-teman di perantauan ketika ditanya daerah asal saya di Banyuwangi, tanah ujung timur Pulau Jawa yang kaya alam, bukan semata mitos klenik saja. Ada pantai, ada gunung, ada ombak indah, ada hutan hijau yang masih asri. Tapi belakangan, setiap kabar yang sampai ke saya bukan lagi soal keindahan Banyuwangi. Melainkan banjir besar, kerusakan alam dan drama birokrasi yang bikin saya ikut pusing.

Belakangan ini, curah hujan di Banyuwangi memang tinggi dan ekstrem. Benar adanya. Laporan resmi BPBD Banyuwangi menyebutkan bahwa sejak medio Desember 2025, hujan deras dan jebolnya tanggul menyebabkan banjir di tiga kecamatan di Banyuwangi, dengan lebih dari 1.500 rumah terdampak dan genangan air merendam di areal pemukiman warga.

Jujur saja, sebetulnya curah hujan yang tinggi ini terjadi sejak awal tahun. Karena saya merasakan sendiri selama beberapa bulan ketika sedang pulang kampung.

Hujan selalu jadi kambing hitam saat bencana datang

Banyak yang mulai bertanya kenapa titik-titik yang dulu jarang banjir, kini jadi mudah sekali kebanjiran? Curah hujan ekstrem itu memang fakta. Namun, kondisi alam yang kehilangan daya serap airnya juga bukan omong kosong belaka. Logikanya begitu.

Nah, di Banyuwangi sendiri tantangan ekologis bukan barang baru. Laporan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banyuwangi menunjukkan bahwa kerusakan ekosistem hutan dan lahan serta menurunnya kualitas lingkungan hidup merupakan temuan nyata.

Saya sempat membaca laporan DLH Banyuwangi, bahwasanya ada tekanan penggunaan sumber daya alam yang melebihi daya dukung lingkungan. Tentu saja ini turut meningkatkan kerawanan banjir, longsor dan bencana ekologis lain. Banyaknya pembukaan lahan yang meningkat setiap tahunnya tentu mengurangi daerah resapan air. Bahkan tidak sedikit demi cuan lahan tetap bisa di tambang meskipun di areal hutan lindung seperti di Pesanggaran.

Ketika air dari hulu membawa material tanah, sampah, dan kayu seperti yang terjadi belakangan, tanda tanya besar muncul. Apakah itu sekadar karena hujan, atau justru cerminan pola pembukaan lahan yang ugal-ugalan. Sebab Pemda tak peka terhadap konservasi alam.

Padahal banjir itu terjadi dari akibat. Tidak hanya karena cuaca ekstrem saja, melain pembukaan lahan besar-besaran bisa jadi musababnya. Bisa jadi Pemda Banyuwangi saat ini jadi cerminan dari pengelolaan lingkungan yang tidak optimal di sana sini.

Deforestasi, bukti Pemda Banyuwangi gagal paham penanganan kebencanaan

Pemda Banyuwangi selalu bergerak saat sudah terjadi bencana, sementara langkah preventifnya tidak pernah ada. Padahal deforestasi yang selama ini dilakukan seperti mendapat izin mulus dari pemangku kebijakan. Padahal secara global, banyak studi menunjukkan bahwa hilangnya hutan memperparah banjir karena berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap air. Hal itulah yang selalu menjadi kekhawatiran saya setelah melihat bencana yang menimpa saudara kita di Pulau Sumatra.

Sebab Banyuwangi punya sejarah panjang soal isu lahan. Ada pola alih fungsi lahan yang dipersoalkan masyarakat, terutama pada lahan yang dulunya merupakan hutan lindung. Setelah izin konsensinya turun, lahan itu berubah jadi hutan produksi hingga bisa di tambang dengan bebas menebang pepohonan. Setelah 12 tahun berlalu kini lahan itu yang dulunya bukit sudah mulai hilang, karena menjadi tambang emas Tumpang Pitu.

Apakah Pemda masih menunggu musibah datang baru ada gerakan? Kalau semua itu dibiarkan terus, deforestasi yang tak terkontrol, serta pola pengelolaan lahan tanpa pertimbangan jangka panjang. Ditambah respons defensif pemangku kebijakan, tentu saja semua tinggal menunggu giliran kapan bencana akan datang.

Alasan inilah yang mungkin membuat saya betah berada di perantauan, Yah, walau sebenarnya Banyuwangi saat ditinggal itu ngangeni. Cuma ya gimana, jika ditunggu malah bikin sakit hati.

Pemda hanya membuat nyaman dengan branding tentang Banyuwangi wisata hebat. Serta sibuk memikirkan tepuk tangan tiap festival digelar sambil menutup mata terhadap daerah-daerah yang berpotensi terdampak bencana. Nggak papa, asal tidak mengusik panggung utama. Begitukah?

Penulis: Ferika Sandra
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Situbondo Tidak Punya Daya Tarik Wisata, dan Akan Selalu Kalah Dibanding Banyuwangi Jika Tidak Ada Gebrakan yang Jelas.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version