Saat mendengar nama Bantar Gebang, yang terlintas di benak banyak orang, antara lain bau, sampah, kumuh, jorok, dekil, dan sumber penyakit. Sebagaimana yang kita tahu, Bantar Gebang adalah tempat pembuangan sampah terbesar se-Indonesia.
Sampah-sampah ibu kota dibuang ke Bantar Gebang. Menumpuk dari waktu ke waktu hingga menjelma menjadi gunung sampah. Gunungan sampah inilah yang sekarang menjadi sumber dari mata pencaharian warga yang bermukim di sekitar Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi, Provinsi Jawa Barat.
Usai menonton “Asumsi Distrik: Bantar Gebang dan Kemampuan Adaptasi Manusia”, saya seperti melihat cahaya dari salah satu kecamatan di Bekasi ini. Tempat itu tak seburuk apa yang terlintas di pikiran kita dan apa yang disajikan media massa.
Bantar Gebang menyimpan sebuah kehidupan yang sungguh berwarna, bahkan dinamis. Memang benar, kondisi yang berat memaksa penghuni di sana untuk beradaptasi. Begitulah hakikat manusia untuk bertahan hidup. Sampah, yang masih dianggap tak punya nilai oleh banyak orang, justru mengubah mereka menjadi manusia-manusia tangguh.
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, ada sekitar 7.000 penduduk di sekitar bukit sampah itu. Mereka menggantungkan hidup pada sampah. Menjadi sumber mata pencaharian utama.
Jangan salah, angka tersebut terbilang besar, lho. Sekitar 90 persen penduduk di sana merupakan pendatang, sisanya penduduk lokal. Mengapa jumlahnya timpang?
Berdasarkan data yang ada, pendudukan lokal justru lebih memilih menjadi pegawai atau buruh. Sementara itu, pemulung yang ada di sana mayoritas pendatang. Kebanyakan dari mereka datang dari Madura, Indramayu, dan Cirebon.
Mari bicara soal pendapatan….
Dulu, saya beranggapan kalau pendapatan mereka pasti sangat mepet. Namun, setelah memeriksa data yang ada, ternyata, penghasilan mereka bisa menyentuh lima sampai enam juta per bulan. Bahkan, di waktu-waktu tertentu, pendapatan mereka bisa dua kali lipat dari gaji buruh, yang kebanyakan diisi warga lokal. Tentu, ini angka yang cukup besar.
Beberapa pemulung di Bantar Gebang bisa menabung dan membeli motor, bahkan mobil. Mereka, yang kondisi ekonominya ternyata stabil ini mendapat banyak cibiran. Yah, meski pendapatannya lumayan, nama profesi mereka tetap “pemulung”. Sebuah profesi yang dianggap hina. Namun, sejatinya, kalau pulang kampung, mereka adalah “bos” yang bergelimang harta.
Oleh sebab itu, lahir anggapan bahwa Bantar Gebang itu bukit surga. Ya, surga bagi para pemulung yang bisa melihat sampah sebagai sebuah kesempatan untuk mencapai taraf ekonomi aman. Selain bukit surga, Bantar Gebang juga dijuluki bukit berlian. Sungguh luar biasa potensi dari sampah.
Namun jangan salah, bagi pemulung yang ingin mencapai taraf “hidup di gunung berlian”, mereka harus bekerja sangat keras. Iya, Bantar Gebang bukan “daerah yang mudah” untuk dijadikan tempat hidup dan berkembang. Ya tetap saja kehidupan di sana itu keras. Butuh perjuangan, melewati persaingan keras dengan sesama pemulung. Hidup dikungkung bau dan pemandangan tak sedap saja sudah perjuangan.
Mereka, yang ingin keluar dari kehidupan yang menyedihkan harus berjuang. Mereka tahu, di depan mata adalah sampah dengan potensi jutaan rupiah. Namun, bagi “pemula”, mereka harus berjuang dalam keterbatasan. Tidak jarang, mereka harus makan makanan sisa yang dikais dari bukit berlian itu.
Mereka sangat jeli memilah makanan kaleng yang sudah mendekati tanggal kedaluwarsa. Potensi menderita sakit perut tak dipikirkan.
Beberapa hari yang lalu, Sultan Andara, Raffi Ahmad berkunjung ke Bantar Gebang. Dia mengungkapkan bahwa kondisi di sana tidak hanya berpotensi merusak lingkungan, tapi juga merusak kondisi manusia. Namun, pemulung di sana, yang teliti memilah sampah, bisa bertahan hidup dan bahkan Raffi Ahmad menyebutnya “pahlawan lingkungan”.
Hal ini didasari dari pandangan mereka bahwa Bantar Gebang tak selamanya tentang kehidupan yang menyedihkan. Di sini ada sampah yang bisa diolah menjadi cuan jutaan rupiah. Para pemulung juga kurang setuju dengan berita media massa yang lebih banyak menyorot hal-hal negatif saja soal Bantar Gebang.
Selain hal-hal di atas, berdasarkan pengamatan di sana, juga terjadi kerja sama antara pemulung dan pengusaha warung makan.
Warung ini menjadi langganan para pemulung untuk makan siang. Selain makanan, warung tersebut juga menyajikan kopi dan beragam minuman lainnya. Penghasilan yang diperoleh dari pemilik warung antara Rp500 ribu sampai Rp1 juta dalam sehari semalam ketika ramai.
Warung ini memudahkan para pemulung untuk mengisi perut dengan menu-menu sederhana. Selain itu, mereka tak perlu keluar dari kawasan tersebut dan berisiko dicibir karena bau sampah.
Nah, keberadaan warung ini juga mengurangi kebiasaan pemulung untuk mengais makanan sisa. Serius, perasaan yang muncul di hati saya campur aduk. Antara takjub dan ngeri. Kok ada ya orang yang sanggup memakan makanan yang sudah bercampur sampah.
Dari sekelumit kisah yang saya rekam, kehidupan di Bantar Gebang memang keras. Namun, di sana, ada sebuah kehidupan yang dinamis dan roda ekonomi berputar kencang.
Kehidupan keras “memaksa” manusia untuk beradaptasi. Sebuah insting bertahan hidup yang sungguh mulia. Bantar Gebang adalah wajah lain dari Indonesia.
Saya Yanuar dan inilah Bantar Gebang!
Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Yamadipati Seno