Bicara soal kuliner jajanan, bisa dibilang Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara yang punya kelestarian dan budaya jajanan yang kental. Selain unik dan enak, jananan yang dihasilkan memiliki nilai filosofis tersendiri. Biasanya, jajanan yang dihasilkan disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat. Saya jadi membayangkan, begitu mahirnya leluhur kita zaman dahulu dalam menghasilkan jajanan yang lezat.
Banyak sekali jajanan jadul warisan para leluhur yang masih eksis hingga saat ini. Meskipun kebanyakan dari mereka mengalami sedikit modifikasi dan modernisasi biar terlihat lebih elegan. Misalkan kue cubit, serabi, kue curabika, pukis yang semuanya diberi inovasi kadang berupa varian topping ataupun aneka rasa.
Ada satu jajanan yang menurut saya masih tetap otentik dan jarang sekali dimodifikasi hingga saat ini. Mulai dari bahan bakunya, tampilannya, hingga model penjualnya pun tetap lestari dengan cara yang serupa. Jajanan tersebut adalah bandos, atau di daerah lain kadang disebut gandos atau rangin.
Jajanan yang bentuknya mirip pukis namun berbeda bahan bakunya. Bandos sendiri berbahan dasar tepung beras, santan, parutan kelapa, serta hanya ditambahi garam sebagai perasa. Sungguh Kombinasi yang sangat sederhana.
Penjual yang menjajakannya pun menjualnya dengan cara yang sederhana pula. Kadang hanya bersepeda ontel dengan gerobak kecil di belakangnya. Atau dengan cara gerobak pikul yang diletakkan di pundaknya menggunakan sebilah bambu.
Secara eksistensi, jajanan ini masih bisa dijumpai di sudut-sudut Kota Semarang. Di kawasan kampus saya misalnya, masih ada pedagang bandos yang ngetem di antara sudut-sudut gang. Mereka menjajakannya dengan sabar, sambil mengipas-ngipas adonannya agar bau wanginya membuat orang sekitar tertarik untuk membeli.
Jajanan ini bisa dibilang sangat minimalis dan tidak mewah seperti rekan-rekannya yang lain. Dengan rasa yang hanya menawarkan rasa gurih dan sedikit manis bila ditabur gula halus, membuat orang-orang zaman sekarang menganggap jajanan ini begitu monoton. Rasanya yang sebenarnya menawarkan kesederhanaan tertutupi dengan jajanan yang menawarkan kemewahan dan kecanduan di lidah.
Iya, bandos tidak menwarkan kencanduan pada lidah layaknya martabak manis yang meninggalkan kesan manis pada lidah, sehingga membuat orang merasa ketagihan mengunyahnya kembali. Bandos tidak hadir untuk membuat orang begitu tamak mengunyahnya terus menurus, hingga melupakan esensi dari mengisi perut. Itulah sebabnya, popularitasnya tidak seterkenal dengan yang lainnya.
Apalagi dengan adanya kompetisi masak seperti Master Chef. Yang mana setiap episodenya kadang menghadirkan jajanan (dessert) yang cantik dan wah dengan bahan dasar yang mewah. Membuat standar orang terhadap sebuah jajanan semakin tinggi, tidak hanya melulu persoalan mengisi perut saja.
Sering saya lihat, ketika pedangan jajanan lain telah berkemas karena jajanannya telah terkuras habis. Para penjajah bandos masih sabar menunggu pelanggan yang mau mencicipi bandosnya. Sudi untuk merasakan keramahan cita rasa dari bandos jualannya. Namun memang sulit, banyak orang sekarang yang memang lebih tertarik dengan jenis jajanan mewah yang berbahan dasar kompleks. Padahal hal ini tanpa sadar mengantarkan mereka pada obesitas di kala senja. Mereka tak sudi membeli bandos yang dengan kesederhanannya membuat mereka paham esensi dari perut kenyang.
Tentu saja saya bukan bagian dari mereka. Meski tidak setiap hari, pagi, sore, atau bahkan malam saat pulang dari kampus, saya sempatkan membeli jajanan sederhana ini. Membawanya pulang ke kos-kosan dan memakannya sambil ditemani segelas teh panas sambil menonton film di laptop kesayangan.
Bila membahas soal bandos, saya jadi teringat dengan nasihat filosofis yang dikatakan oleh sahabat saya yang terinspirasi oleh jajanan bandos. Meski terkesan cocoklogi, tapi bagi saya nasihat ini menarik. Sambil menelan bandos, dia berkata dalam bahasa Jawa yang sudah saya terjemahkan ke bahasa Indonesia.
Bunyinya begini, “Jadi manusia ya harusnya kayak bandos ini. Nggak perlu komposisi ribet, material bahan dasarnya sederhana. Kemudian dimasak juga dengan cara sederhana. Setelah matang langsung aja telan. Toh dia tidak bikin eneg dan tidak bikin rakus. Komposisinya yang sederhana memang tidak membuatnya populer, tapi setidaknya ada orang-orang yang loyal terhadap cita rasa yang ditawarkannya.
Sama kayak manusia, nggak perlu memperindah diri dengan keinginan yang kompleks, cukup jalani yang bisa dan mampu, serta penuh kesederhanaan. Asal bermanfaat bagi sesama, toh hidup akan membahagiakan meski tidak menjadi populer seperti orang lain.”
Nasihat filosofis yang kental cocoklogi itu sedikit membuat saya berpikir. Bener juga, zaman sekarang banyak sekali jajanan yang ditawarkan tapi membawa kita pada ketamakan. Jajanan tersebut kehilangan esensinya sebagai pengisi perut agar aktivitas tubuh tetep berlangsung. Sama halnya dengan manusia, banyak manusia terlalu ingin memperkaya diri sampai-sampai lupa menjadi manfaat bagi orang lain.
BACA JUGA Surat Protes untuk Para Penjual Gorengan Pinggir Jalan dan tulisan Muhamad Iqbal Haqiqi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.