Dulu, Bandara Kertajati sempat digadang-gadang jadi bandara internasional terbesar kedua setelah Soekarno-Hatta. Katanya, bandara ini akan jadi gerbang langit baru dari Jawa Barat. Gagah, luas, modern, bahkan cukup jauh dari kehidupan kota (ya, sangat jauh, malah).
Tapi sekarang, entah kenapa, bandara ini lebih sering jadi bahan obrolan warga net sebagai “bandara yang penumpangnya kalah sama warung kopi pinggir jalan.” Sedih? Ya. Lucu? Sedikit. Aneh? Jelas.
Padahal, waktu diresmikan 2018 lalu, semua pihak sibuk foto bareng, gunting pita, dan optimis. Tapi beberapa tahun berselang, ruang tunggunya lebih sering kosong melompong. Kalau diibaratkan, ini seperti pesta besar yang sudah disiapin dengan matang, tapi undangannya lupa dikirim.
Di balik sepinya Kertajati: antara ambisi dan realitas
Untuk memahami kenapa Bandara Kertajati bisa sepi padahal infrastrukturnya megah, kita perlu sedikit menyingkap lapisan kebijakan dan teknis yang membungkusnya. Pertama, soal lokasi. Pemilihan Majalengka sebagai lokasi bandara memang strategis di peta—tepat di tengah-tengah Jawa Barat.
Tapi dalam praktiknya, akses ke sana dari kota besar seperti Bandung, Cirebon, dan Sumedang butuh perjuangan. Waktu pembangunan, tol Cisumdawu sebagai urat nadi utama belum selesai, dan ini jadi blunder awal.
Lalu soal kebijakan relokasi penerbangan dari Bandara Husein Sastranegara ke Kertajati, langkah ini menimbulkan perlawanan diam-diam dari masyarakat. Maskapai dan penumpang jadi korban eksperimen kebijakan yang terlalu cepat diterapkan, padahal sarana penunjangnya belum siap. Banyak rute kemudian ditarik kembali ke Husein, bikin Kertajati makin ditinggal. Ibaratnya, belum sempat punya pelanggan setia, udah ditinggal ghosting.
Dari sisi teknis, Bandara Kertajati sebenarnya sangat mumpuni. Landasannya panjang dan lebar, bisa menampung pesawat wide body. Terminalnya modern. Tapi satu komponen vital yang tertinggal: ekosistem penerbangan. Belum ada konektivitas transportasi massal, belum ada fasilitas MRO (Maintenance, Repair, Overhaul) yang beroperasi, dan kawasan pendukung industri yang dijanjikan belum juga terlihat nyata. Jadi meski punya “panggung”, tapi belum ada “penontonnya”.
Belum lagi soal kepentingan politis dan tarik ulur antarwilayah. Bandung tentu keberatan kalau bandara utamanya diambil alih kota tetangga yang jauh. Pemerintah daerah pun terbelah. Sementara pusat ingin Kertajati jadi pusat pertumbuhan baru, tapi daerah merasa akses ke sana belum menguntungkan secara langsung. Akibatnya, dukungan berjalan setengah hati.
Bandara Kertajati: salah tempat atau salah waktu?
Pertanyaan yang sering muncul: salah di mana sebenarnya? Letaknya? Perencanaannya? Promosinya? Atau semuanya?
Sebenarnya idenya mulia. Jawa Barat memang butuh bandara besar. Tapi dari awal, banyak yang bilang: “Kenapa Majalengka? Jauh banget, Jek!” Idealnya memang di tengah-tengah Jawa Barat, tapi ternyata “tengah” versi perencana bukan “tengah” versi warga.
Seiring waktu, publik jadi skeptis. Bandara sebesar itu sepi. Dana besar, tapi pemanfaatannya minimal. Kalau ini proyek cinta, mungkin sudah masuk kategori “cinta bertepuk sebelah tangan.”
Masa depan masih panjang, Kawasan Rebana solusinya
Tapi jangan buru-buru mengibarkan bendera putih dulu. Pemerintah Provinsi Jawa Barat masih punya asa besar buat Bandara Kertajati. Katanya, bandara ini bukan sekadar tempat mendarat dan tinggal landas, tapi akan jadi pintu gerbang ekonomi kawasan timur Jawa Barat.
Sekarang, sedang disiapkan pembangunan Kertajati Aerocity—kawasan kota baru yang akan tumbuh di sekitar bandara. Di sana nantinya akan ada kawasan industri, pergudangan, logistik, bahkan pemukiman. Istilah kerennya: bandara bukan cuma tempat transit, tapi jadi episentrum ekonomi baru.
Aerocity ini masuk dalam Kawasan Rebana Metropolitan. Sebuah koridor ekonomi baru di Jawa Barat. Harapannya, begitu kawasan ini ramai dan investor masuk, Bandara Kertajati bakal ikut mengaum. Karena, ya… siapa sih yang nggak pengen punya bandara internasional deket kawasan industri dan ekonomi?
Pemprov bahkan sesumbar, dalam 10–20 tahun ke depan, Kertajati akan jadi “new economic powerhouse” Jawa Barat. Bandara yang kini sepi bisa berubah jadi sibuk. Dari meme jadi magnet. Dari lahan kosong jadi kota masa depan.
Mimpi? Mungkin. Tapi kalau perencanaannya konsisten, eksekusinya rapi, dan promosi jalan terus—bukan tidak mungkin Kertajati akhirnya take-off, bukan cuma secara fisik, tapi juga ekonomi.
Akankah Bandara Kertajati bangkit?
Optimisme itu penting. Sekarang pemerintah katanya sedang menggandeng investor, menggencarkan promosi, dan memperbaiki akses. Mungkin Kertajati belum waktunya berjaya. Mungkin nanti, saat urbanisasi makin berkembang, saat kawasan rebana tumbuh pesat, bandara ini baru bisa berkata, “Ini panggungku!”
Tapi buat sekarang? Ya… dia masih belajar berdiri tegak. Kadang dilirik, kadang dilupakan.
Yang jelas, kita doakan saja semoga Bandara Kertajati bisa menemukan jodoh penumpang yang setia. Siapa tahu nanti jadi bandara favorit generasi Z yang pengen healing ke luar negeri tanpa harus ke Jakarta dulu.
Atau minimal, bisa dipakai buat syuting film drama Korea berjudul “Airport with No Flight”.
Penulis: Edwin Primadi Ardibrata
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Bandara Dhoho Kediri, Harapan Baru Wilayah Mataraman yang Terancam Mangkrak
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
