Banalitas Pedagang Makanan yang Tak Memakai Daun Pisang

daun pisang

daun pisang

Sejak merantau ke kota, saya selalu uring-uringan setiap kali membeli makanan dibungkus. Entah itu nasi biasa, nasi uduk, nasi goreng, lotek atau pecel, bakmi, dan lain-lain. Penyebabnya bukan lantaran makanannya tak sesuai epistemologi rasa enak di lidah saya, melainkan karena bungkusannya tidak memakai daun pisang.

Jika perkara rasa, saya masih bisa maklum.  Apalagi saya tahu bahwa rasa itu relatif. Gudeg yang bagi saya tak enak karena terlalu manis, bagi kebanyakan orang Jawa menjadi salah satu makanan favorit. Bakmi Jawa yang bagi banyak orang Jawa sudah termasuk enak, bagi saya tak ada enaknya sama sekali dibanding mi Aceh atau mi gomak ala Sumatera yang kaya akan rempah.

Dalam tiga tahun terakhir, saya jadi makin sering uring-uringan perkara bungkusan makanan ini. Sebabnya karena saya merantau ke Jogja, kota yang tadinya saya kira masih menjaga tradisi-tradisi luhur. Saya pikir tadinya, pedagang-pedagang makanan di Jogja lebih luhur dan pasti akan memakai daun, entah itu daun pisang atau daun jati, untuk membungkus makanan dagangannya. Ternyata saya keliru besar. Ya, keliru besar. Naif sekali saya ternyata.

Sebelum merantau ke Jogja, saya juga pernah merantau ke Medan dan Jakarta selama delapan tahun. Di dua kota metropolitan ini saya bisa maklum kalau pedagang makanannya tidak pakai daun pisang. Sebab, di mana lagi bisa menanam pohon pisang sementara lahan yang ada sudah dikuasai gedung-gedung? Lagipula, mental orang-orang kota sudah terbiasa dengan segala bentuk pragmatisme dan orientasi mengejar keuntungan. Klop sudah landasan untuk maklum.

Tetapi mirisnya, pedagang-pedagang makanan di Jogja pun ternyata setali tiga uang mentalnya dengan yang ada di Medan dan Jakarta. Sama-sama mengejar kepraktisan dan memburu keuntungan. Malah lebih banal, saya kira, sebab mereka sebenarnya bisa saja memakai daun pisang, karena di Joga, sepengamatan saya, masih banyak tumbuh pohon pisang. 

Parahnya lagi, sekadar memakai daun pisang buat lapisan bagian dalamnya pun tidak. Luar-dalam mereka pakai kertas, atau terkadang sterofoam. Dan mereka semua sama saja, baik angkringan, warung burjo atau warmindo, warung pinggiran jalan, maupun warung besar atau rumah makan.

Memang tetap ada beberapa pedagang makanan di Jogja yang memakai daun pisang untuk lapisan bagian dalamnya. Tapi itu sangat jarang. Kalau saya hitung-hitung secara kasar, perbandingannya 1:10. Dan yang satu pedagang itu pun, daun pisang yang ia gunakan cuma sa’iprit (cuma secuil) sehingga makanannya meleber ke kertas bungkusan bagian luar.

Langkanya pedagang makanan yang pakai daun pisang membuat saya merasa seperti tinggal di Amerika saja. Kalau di Amerika sana saya nggak akan mungkin mempersoalkan ini. Kalaupun di sana ada pohon pisang, mereka tetap tak akan menggunakannya karena itu bukan tradisi mereka. 

Memakai daun pisang sebagai alas atau pembungkus makanan itu tradisi kita—tradisi leluhur kita. Kenapa, sih, kita tidak melestarikannya? Apa harus nunggu ada artis atau selebgram atau Youtuber dulu yang mengampanyekan baru kita tergerak? 

Yang lebih utama, memakai daun pisang ini bukan cuma perkara tradisi-tradisian. Bagi saya pribadi—dan saya kira juga bagi banyak orang lain, sekalipun dia orang kota—daun pisang dapat lebih membangkitkan selera makan ketimbang kertas atau sterofoam. Makanan yang dibungkus daun pisang, akan memberikan sensasi dan aroma yang berbeda, apalagi ketika ia dibungkus saat masih dalam keadaan panas.

Makanya, saya selalu bilang ke orang-orang, bahwa makanan akan lebih bermartabat bila dibungkus dengan daun pisang.

Bukannya saya tak tahu kalau harga daun pisang jauh lebih mahal dibanding kertas. Saya sangat tahu itu karena orang tua saya di kampung pun juga berjualan makanan. Selain lebih mahal, daun pisang juga harus dibersihkan dulu sebelum dipakai. Saya pun paham itu. Tetapi, di sinilah akar masalahnya. Di sinilah kita mendapati kenyataan bahwa penyakit pragmatis dan laba-oriented sudah sedemikian parah menjangkiti pedagang-pedagang kita. Bagi mereka, modal (pengeluaran) harus ditekan sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Mahal dan ribet saya kira bukan alasan bagi orang-orang yang tidak terjangkit penyakit ini, orang-orang yang masih menjaga tradisi leluhurnya. Mereka percaya bahwa rezeki itu datangnya dari Tuhan. Untung kecil pun, kalau didasari niat yang baik, pastilah akan berkah. Dan berkah akan mendatangkan rezeki yang berlimpah. Tidak harus berupa uang, tapi berupa kesehatan dan kebahagiaan—bahagia karena sudah menyajikan makanan yang dibungkus dengan daun pisang, yang lebih melezatkan dan menyehatkan.

Sebagai tambahan, tanpa bermaksud menakut-nakuti, kertas berwarna cokelat yang biasa dipakai oleh banyak pedagang untuk membungkus makanan itu, ternyata tidak baik untuk kesehatan.

Dilansir Kompas, sejumlah penelitian menemukan bahwa kertas cokelat pembungkus makanan itu mengandung BPA. BPA (bisphenol A) merupakan sejenis bahan kimia yang sering digunakan untuk bahan pembuat wadah makanan, bukan hanya plastik, tetapi juga kertas. Padahal awalnya BPA digunakan untuk melapisi kaleng makanan kemasan, agar kaleng tidak mudah berkarat.

Penelitian yang dilakukan oleh Kurunthachalam Kannan, Ph.D, seorang peneliti dari New York State Department of Health pada tahun 2011 menemukan bahwa BPA yang digunakan dalam berbagai bentuk produk, termasuk beberapa produk kertas terutama kertas thermal, biasanya digunakan sebagai kertas untuk mesin faksimili atau kertas bukti pembayaran, untuk meningkatkan warna tintanya.

Merujuk informasi dari situs LIPI, kertas coklat itu mengandung bakteri sekitar 1,5 juta koloni per gram. Dengan berat rata-rata 70-100 gram, itu berarti kertas-kertas itu mengandung 150 juta bakteri. Beberapa penyakit yang bisa ditimbulkannya adalah kanker, kerusakan hati dan kelenjar getah bening, mengganggu sistem endokrin, mutasi gen, hingga kerusakan reproduksi.

Semoga tulisan ini dibaca oleh para pedagang makanan, tidak hanya yang ada di Jogja, tapi juga di seluruh Indonesia. Semoga mereka sadar, bahwa kerakusan mereka mengejar untung telah membuat makanan tidak hanya menjadi tidak bermartabat, tetapi juga meracuni para pembelinya. (*)

Exit mobile version