Sudah merupakan kewajiban bagi setiap orang tua buat menghidupi anak-anaknya, dan sebaiknya mereka tidak boleh meminta balas budi. Jungkir balik, akrobat, bahkan pontang-panting demi kesejahterahan anak juga sudah semestinya dilakukan. Semua itu adalah konsekuensi siapa saja yang menikah dan ngeseks gonta-ganti posisi sehingga beranak pinak melanjutkan keturunan.
Ngeseks, punya anak, dan membesarkan anak itu suatu hal. Nah, si anak mau membalas budi ke orang tua itu adalah hal lain. Anak menjadi dewasa dan punya kehidupan sendiri dengan segudang urusan orang dewasa. Mulai dari kerja, terjerat hutang pinjaman online, bermabuk-mabukan, atau nongkrong sana nongkrong sini demi kebutuhan eksistensi di media sosial.
Segudang urusan itu yang akhirnya membuat kita ogah membalas budi ke orang tua. Ya iya, kan membalas budi orang tua itu berhubungan dengan mengeluarkan duit lebih. Sementara duit kita sering kurang karena ini itu. Jelas merepotkan urusan membalas budi ini. Terlebih, kenapa harus balas budi apabila yang dilakukan orang tua itu merupakan kewajiban? Toh kita punya kehidupan sendiri yang kudu dijalani. Toh sebenarnya kita nggak pernah minta dilahirkan ke dunia ini. Salah orang tua dong kenapa kita bisa lahir.
Barangkali tiga paragraf di atas itu adalah inti dari narasi yang akhir-akhir ini marak di jagad dunia maya, khususnya Twitter. Iya, ternyata ada—banyak malahan—manusia modern yang merasa balas budi ke orang tua itu nggak perlu dilakuin dengan segala bentuk pembenaran yang dilakukan. Bagi saya sendiri, argumen-argumen itu adalah bentuk Kebangsatan yang Maha Esa.
Dua puluh enam tahun saya hidup dan bersenyawa di planet ini, nggak pernah terbesit sekalipun pemikiran nyalahin orang tua karena sudah melahirkan saya. Bagi saya, balas budi ya balas budi. Wujud kepedulian saya terhadap orang yang saya kasihi karena telah berbuat baik kepada saya. Nggak perlu orang tua, siapa saja yang pernah berbuat baik, jika saya bisa membalasnya, saya akan membalasnya dalam bentuk apa pun. Apalagi orang tua yang sudah banting tulang mati-matian demi membesarkan saya.
Perlu dicatat, saya berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan dan cenderung kurang. Saya anak ketiga dan terakhir. Bapak dan ibu saya yang penuh dengan kekurangan finansial itu kerap beradu mulut menentukan apa saja yang terbaik buat ketiga anaknya. Ingat betul bagaimana atraksi bapak saya sewaktu saya lulus SMP dan minta lanjut ke SMA.
Buat yang belum tau saja, masih banyak anak-anak di kampung saya yang nggak lanjut SMA karena kekurangan ekonomi. Saya sempat putus sekolah setamat SMP. Satu tahun saya jadi zombie di rumah karena menyalahkan kondisi ekonomi keluarga saya. Saya bahkan sampai nggak mau bicara dengan Bapak saking muaknya.
Bapak saya itu petani gula jawa, seperti sebagian besar kepala keluarga di kampung saya. Tiap hari blio manjat banyak pohon kelapa demi mengambil air niranya. Ibu saya bertugas memasak air niranya menjadi gula jawa dan dijual tiap minggu. Perlu diketahui kalau penghasilan rata-rata bulanan keluarga saya itu nggak nyampe satu juta rupiah. Hanya berkisar lima ratus ribuan saja. Dengan uang segitu mana bisa menyekolahkan saya ke SMA.
Pada tahun berikutnya, setelah perdebatan panjang dan panas, akhirnya saya lanjut ke STM swasta dan mengambil jurusan yang lumayan populer yaitu otomotif. Mengingat aksi heroik keluarga saya yang rela berdarah-darah menyekolahkan saya, ya saya sebisa mungkin nggak menyusahkan mereka. Saya nggak menutup mata dan menganggap yang mereka lakukan itu sudah kewajibannya. Saya nggak sebangsat itu. Melihat perjuangan mereka membuat saya iba dan pingin melakukan sesuatu yang lebih.
Untungnya, saya lumayan berprestasi semasa STM. Masa-masa membayar uang sekolah yang nggak sedikit itu hanya dirasakan di awal-awal saya sekolah. Karena bergabung dengan keorganisasian sekolah, saya kerap mendapatkan banyak bantuan dan beasiswa. Saya kerap membanggakan sekolah dan menjuarai berbagai perlombaan, dan ternyata itu lumayan membuat Bapak dan Ibu saya bangga.
Iya, saya belum bisa membalas budi berupa materi, tetapi setidaknya saya membuktikan bahwa saya bisa melakukan sesuatu. Puncaknya, di tahun terakhir saya di STM, saya pernah diliput salah satu stasiun TV nasional karena sebuah pencapaian. Peliputan itu mulai dari sekolah, kegiatan sehari-hari, bahkan sampai liputan ke rumah. Bapak saya sampai menangis karena hal itu. Semua orang kampung nggak ada yang nggak tau. Betapa bangganya Bapak dan Ibu saya karena ada stasiun TV nasional yang datang ke rumah dan meliput.
Semua itu nggak seberapa. Tapi betapa saya merasa bahagia ketika Bapak dan Ibu saya mengatakan mereka bangga dengan saya. Sejak saat itu saya berkomitmen untuk sesegera mungkin bisa lebih banyak lagi membalas budi. Nggak semata-mata buat mereka bangga dengan hal-hal seperti itu, tapi dengan materi. Bayangkan, anak setan mana yang tega berfoya-foya di kota sementara mengetahui penghasilan orang tuanya nggak sampe sejuta per bulan?
Hanya bangsat-bangsat yang demen makan gengsi dan nggak tau caranya ngatur keuangan yang tega melihat orang tua kesusahan ekonomi. Iya, membalas budi itu memang merepotkan, tapi bukankah ada kebanggaan tersendiri apabila bisa memberi sepersekian penghasilan kita ke orang tua?
Kecuali Bapak dan Ibu kalian bisa mendapatkan duit puluhan juta per bulan sementara kalian hanya bisa dapet UMR tiap bulan, maka ya bodo amat kalo nggak mau balas budi. Lah kalo kasusnya kayak saya tadi, kan ya betapa durhakanya saya jika nggak membantu Bapak dan Ibu.
Perlu diketahui saya tinggal di Jogja dengan pendapatan sekitar tiga jutaan per bulan—hasil dari akrobatik dan lakuin ini itu—dan seperti saya katakan tadi, penghasilan Bapak saya hanya lima ratus ribuan. Ya bagi saya, minimal saya harus bisa memberikan uang senilai penghasilan Bapak saya itu. Kenapa, biar kalo blio mau pensiun, tetep bisa menghidupi Ibu saya. Itu saja alasannya.
Ya mau gimana lagi, saya masih punya perasaan dan bisa mikir lumayan jernih. Otak saya masih cukup waras buat tau kalo makin tua, Bapak saya nggak mungkin harus kerja terus. Sering banget blio bilang nggak perlu ngasih tiap bulan, tapi ya omongan itu nggak saya gubris, wong saya merasa mampu memberi mereka.
Apakah itu merepotkan? Ya enggak terlalu, wong pengeluaran saya bulanan nggak sampe setengah pendapatan saya. Pengeluaran hanya bayar kos, urusan perut, dan bensin. Nongkrong di kafe lucu-lucuannya gimana? Nggak perlu. Saya kerjanya di kafe. Udah nongkrong tiap hari.
Terus mungkin ada yang tanya, lah gimana buat nabungnya? Gimana buat kepinginan beli mobilnya? Gimana buat jalan-jalannya? Kan kalo tiap bulan ngasih orang tua, duitnya kepotong terus dan susah ini itu. Ya, itu semua emang benar.
Benar kalo misal pendapatan saya per bulan tiga jutaan dan kudu ngasih orang tua sekitar sejutaan itu memangkas pendapatan saya banget, belum lagi saat ini saya kudu bayarin penulis-penulis yang ngirim ke media yang saya rintis juga. Iya, dengan segenap pengeluaran itu membuat kita nggak bisa nabung. Tapi hal itu hanya kejadian kalo kalian emang bodoh banget di urusan ngatur ekonomi. Saya berani ngasih sejutaan sementara pendapatan berkisar tiga jutaan tiap bulan itu karena sudah mempersiapkan banyak hal. Salah satunya, saya sudah sejak jauh-jauh hari gemar menabung—deposito, saham, emas, bla-bla-bla. Semua itu saya kumpulkan sejak kuliah sampai tahun-tahun pertama kerja. Saya punya target sejak lama buat ngasih uang bulanan ke orang tua di tahun sekian. Berarti di tahun sekian, tabungan sudah harus sekian. Berarti sebelum sekian, saya harus ngerem keinginan-keinginan. Bla bla bla.
Makanya, hanya orang yang nggak punya rasa terima kasih dan memiliki kebodohan pengelolaan keuangan yang merasa balas budi—khususnya berupa materi—ke orang tua itu merepotkan dan nggak perlu. Kalo emang punya hati dan nalar, pasti jungkir balik sampai kerepotan juga bakal balas budi. Banyak caranya kalo emang otaknya masih bisa bekerja. Seperti pepatah orang Jawa, “Urip iku kudu urup!”
BACA JUGA 5 Kebiasaan Berbahaya tapi Kita Nggak Ambil Pusing Ketika Melakukannya dan tulisan Riyanto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.