Entah ada apa dengan Trans TV di masa kini, dahulu Trans TV adalah stasiun idola saya saat kecil. Selain karena ada kartun di sore dan malam hari, beberapa acara milik mereka memang bagus. Di era itu, saat mereka masih baru dan kinyis-kinyis. Extravaganza, Buceli, Dunia Lain dan Bajaj Bajuri adalah primadona acara televisi. Sesuatu yang lain mereka hadirkan dan jejalkan ke kepala saya. Saat itu, acara mereka benar-benar mampu menggebrak dunia pertelevisian Indonesia.
Bahkan hingga hari ini, saya berani bilang bahwa belum ada sitkom sebaik dan sekeren Bajaj Bajuri. Dengan kata lain, Bajaj Bajuri masih menjadi sitkom terbaik di negara ini, setidaknya bagi saya. Silakan yang nggak setuju, mau menghujat boleh (baca: bodo amat). Salah satu yang bikin saya yakin jika Bajaj Bajuri adalah sitkom yang keren adalah jalan cerita dan tokoh yang kuat pakai banget. Pembuat sitkom ini paham bagaimana membuat sitkom yang lain daripada yang lain, plus dekat dengan keseharian yang jarang diproyeksikan lewat pertunjukan di televisi (setidaknya untuk zaman itu).
Saat sitkom macam Friends menjadi role model dan telenovela memenuhi televisi, Bajaj Bajuri berani muncul dengan tengil dan berbeda. Menyeruak di antara prime time yang penuh sinetron, dan berhasil menjadi tontonan favorit keluarga Indonesia yang baru. Rating tetap bagus, padahal bersaing dengan banyak sinetron yang tengah beken pada masanya. Saya ingat betul saat itu, di rumah saya yang sempit, para tetangga dan sepupu ikut nimbrung nobar di belakang rumah. Dengan televisi berwarna 19 inchi, sekitar sepuluh orang menonton acara Trans TV dengan penuh penghayatan. Saat itu, Trans TV memang benar-benar edan, terutama si Bajuri yang kocak itu.
Isu yang diangkat di tiap episodenya selalu up to date dan dikemas dengan baik. Sekarang saya sudah paham apa itu satire. Bajaj Bajuri di masa itu sudah menghadirkan banyak kritik sosial dengan rapi dan kelewat cerdas. Lewat tokoh-tokohnya yang berkarakter kuat, segala permasalahan di masyarakat bisa dibahas dengan tepat dan sarat makna. Semua itu juga baru bisa saya pahami saat saya menonton ulang di masa dewasa (masih bisa diperdebatkan) saya sekarang.
Latar yang ditampilkan sangat pinggiran kota banget. Karakter-karakter kuat yang digambarkan dengan baik, serasa tak berlebihan dan benar-benar dekat dengan keseharian penontonnya, terutama saya. Ada tukang ngutang, ada pengangguran, tukang nyari proyek, pokoknya semua terlihat autentik dan natural. Selain penulisan yang memang baik, pengerjaanya juga rapi dan asoy. Selepas Bajaj Bajuri, mulai muncul sitkom yang mengekor dan terlihat betul terpengaruh oleh Bajaj Bajuri. Harus diakui, Bajaj Bajuri memang pada akhirnya menjadi role model dalam dunia sitkom Indonesia.
Interaksi antarpemain terlihat apa adanya, lumrah, nggak bombongan. Tokoh-tokoh selingan juga nggak kalah gawat. Sebuah kehidupan terpampang nyata, bahkan terasa amat alami. Stigma sosial yang kerap ditemui penonton, ikut membantu penonton untuk mengerti jalan cerita dan merasakan pergolakan batin para tokoh di Bajaj Bajuri. Yang nganggur bisa berkaca pada Ucup dengan segala masalahnya. Ada yang tak kunjung memiliki momongan, seperti Oneng dan Bang Bajuri. Pokoknya, setiap masalah dan konflik di sitkom ini, selalu mudah untuk diresapi banyak orang. Terasa dekat, terasa nyata, karena memang banyak yang mengalami dan melihat dengan mata kepala sendiri.
Meski pada akhirnya sitkom ini terkesan di-milking, tetap saja sitkom ini masih menjadi favorit saya hingga kini. Biasalah, hampir selalu terjadi pada banyak acara televisi yang berhasil menjaring banyak penonton dan duit. Tapi, meski tak berakhir dengan paripurna dan penuh perayaan yang layak, saya tetap yakin, sampai sekarang belum ada sitkom yang bisa menyamai Bajaj Bajuri. Terima kasih, Bang Bajuri dan Mpok Oneng.
Sumber Gambar: YouTube No Skip TV
BACA JUGA Tagar #GoodbyeMaudy dan Harapan Orang Indonesia dan tulisan Bayu Kharisma Putra lainnya.