Surabaya, kota pahlawan yang diisi oleh mayoritas masyarakat suku Jawa. Namun, mereka berbeda dengan Jawa pada umumnya yang intonasi suaranya kalem saat berbicara. Orang Jawa Surabaya tidak demikian. Kami adalah gerombolan manusia bondo nekat yang sering berkata, “Lek aku bonek, kon kate lapo?” (Kalau saya bonek, kamu mau apa?) dengan lantangnya. Tapi tenang, hanya ucapan saja kok yang terdengar keras, hatinya lembut. Bahasa Surabaya itu memang ngegas, tapi hati orangnya selembut kapas.
Bagi yang belum tahu, Surabaya itu panas sekali, loh. Kota ini menduduki peringkat ke tiga sebagai kota terpanas di Indonesia. Suhu siang harinya mencapai 37 derajat celcius kadang bisa lebih. Untuk memberi gambaran betapa panasnya, telur ayam di atas teflon yang ditaruh di bawah matahari langsung matang jadi telur mata sapi, tidak butuh kompor lagi. Mungkin, sebab itu pula manusia di kota ini suka ngegas kalau bicara. Eh, nyambung, nggak, ya?
Kembali ke soal bahasa, meski sama-sama bersuku Jawa, sebenarnya ada beberapa kosakata yang merupakan ciri khas kota tertentu yang tidak dimiliki oleh penutur Jawa di kota lainnya. Misalnya, “matoh” identik dengan kota Bojonegoro, “mboyak” yang identik dengan orang Ngawi, atau umpatan “asem” yang lebih ke Jawa Tengah. Orang Surabaya tidak mengumpat dengan kata “asem”. Apa itu “asem”? ngumpat, kok, rasa buah-buahan. Ngumpat itu yang sangar, “djiiancok!”, dengan “o” yang ditekan.
Untuk memudahkan kalian mengenali orang Surabaya, beberapa kosakata yang akan saya sebutkan di bawah bisa dijadikan acuan. Berikut bahasa Surabaya yang sebaiknya kita ketahui untuk menambah khazanah berbahasa sekaligus melestarikan bahasa lokal kita.
#1 Tetek mbengek
Jika diartikan terpisah, “tetek” adalah payudara perempuan. Sementara “bengek” itu semacam sesak nafas. Namun, artinya bukan payudara yang merasa sesak, loh, ya. Jauh melampui hal itu, “tetek mbengek” dalam bahasa Surabaya berarti semuanya tanpa terkecuali. Contoh penggunaan katanya seperti ini, “Awakmu melu liburan karo aku, yo. Aku sing tuku tiket sak tetek bengek e.” (Kamu ikut liburan sama saya, ya. Saya yang membeli tiket dan semua keperluan liburannya).
Kata lain yang mirip dengan “tetek mbengek” adalah “sak taek dayak”. “Sak” artinya wadah, “taek” itu artinya kotoran, dan “dayak” itu suku Dayak. Tapi, arti “sak taek dayak” bukan tempat kotoran suku dayak, “Sak taek dayak” di Surabaya diartikan semuanya dalam jumlah yang banyak. Untuk mempermudah dipahami, saya beri contoh kalimatnya, “Aku wingi gowo jajan sak taek dayak.” (Saya kemarin membawa jajan dalam jumlah banyak sekali).
#2 Pateng pecotot
Meskipun sudah mulai jarang terdengar, tapi frasa “pateng pecotot” pernah sangat membumi di Surabaya. Arti “pateng pecotot” adalah berhamburan keluar. Namun, kata “pateng pecotot” digunakan untuk merujuk pada tubuh seseorang, tidak bisa digunakan pada hal lain. Meskipun artinya berhamburan keluar, tidak lazim mengatakan, “Semongko iku pateng pecotot,” ketika melihat semangka yang berhamburan di jalan.
Kalimat yang sesuai untuk kata “pateng pecotot” misalnya begini, “Ojok gawe klambi keciliken, wetengmu ketok pateng pecotot.” (Jangan memakai baju kekecilan, perut kamu terlihat berhamburan keluar). Maksudnya, lemak-lemak di perutnya kelihatan.
#3 Nggapleki
Di Surabaya, kita menyebut orang yang menjengkelkan bukan dengan sebutan jahat, tapi “nggapleki”. Kata ini tidak hanya digunakan untuk menyebutkan orang, tapi bisa juga digunakan untuk menggambarkan keadaan yang sangat menjengkelkan.
Kita bisa menggunakan kata “nggapleki” dengan kalimat, “Arek iku ancene nggapleki, kok.” (Orang itu memang menjengkelkan, kok). Atau bisa juga digunakan untuk kalimat seperti ini, “Aku mang isuk ngerjakno ujian Matematika nggak konsentrasi blas. Nggapleki ancene.” (Saya tadi pagi mengerjakan ujian Matematika tidak bisa konsentrasi sama sekali. Memang menjengkelkan).
Kata “nggapleki” sangat identik dengan bahasa Surabaya. Saya jarang sekali menemukan orang Bojonegoro mengatakan “nggapleki”. Mereka umumnya menggunakan kata “megelno” untuk menyebut kata menjengkelkan. “Megelno” berasal dari kata pegel (capek), jadi megelno artinya membuat capak atau menjengkelkan, kata ini juga lebih umum digunakan oleh mayoritas penutur Jawa di daerah lain.
#4 Babah
“Babah”, ya, bukan “abah”. “Babah” artinya biar atau masa bodoh. Kalau “abah” artinya bapak. “Babah” juga identik dengan orang Surabaya karena orang Jawa biasanya mengatakan “sakkarep” untuk menyebut biar/masa bodoh.
Misalnya nih, ketika ditanya, “Sampean mau dirasani tonggo ngarep, loh.” (Kamu tadi digosipin sama tetangga depan rumah, loh). Orang Surabaya akan menjawab, “Babahno.” (Terserah, masa bodoh).
#5 Iwak
Dalam bahasa Jawa, “iwak” artinya ikan. Tapi entah mengapa, di Surabaya dan sepertinya di beberapa kabupaten yang terletak di Jawa Timur, “iwak” artinya tidak hanya ikan, tapi juga lauk. Dalam bahasa Jawa pada umumnya, kita menyebut kata lauk dengan “lawuh”. Di Jatim, ini berubah menjadi “iwak”, apa pun lauknya. Meskipun bukan ikan, tetap akan kita sebut dengan kata “iwak”.
#6 Embong
Orang Jawa pada umumnya akan menggunakan kata “ratan” untuk menyebut jalan raya. Tapi, arek Suroboyo menyebut “embong”. Tidak pernah ada orang di Surabaya mengatakan, “Ndek ratan ono opo kok rame?” (Di jalan ada apa kok ramai?) Umumnya, orang Surabaya akan mengatakan, “Ndek embong ono opo, kok, rame?” (Di jalan ada apa kok ramai?)
Kalau ada orang mengaku dari Surabaya tapi mengatakan kata “ratan” untuk jalan raya, bukannya “embong”. Sepertinya dia Surabaya blasteran Lamongan, blesteran Bojonegoro, atau blesteran Jawa bagian lainnya.
#7 Mene
Selain “arek” dan “kon”, “mene” juga identik dengan Surabaya. Saya pernah berkunjung ke Jogja yang notabene berbahasa Jawa, ada orang yang tidak tahu arti kata “mene”. Orang Surabaya mengatakan “mene” untuk mengatakan besok, orang Jogja mengatakan “sesuk” untuk menyebut besok.
#8 Njekethek
Meskipun ada kata “ketek” yang dalam bahasa Jawa artinya monyet. Namun, “njeketek” tidak diartikan sebagai monyet. Arti “njeketek” yang sebenarnya adalah sesuatu yang remeh. Saya berikan contoh kalimatnya biar mudah.
“Sepeda motorku wingi tak bongkari mesin e soale mati, njeketek bensin e sing entek.” (sepeda motor saya kemarin saya bongkar karena tidak bisa dinyalakan, ternyata bensinnya saja yang habis).
Sebenarnya, masih banyak kosakata lain yang sangat identik dengan orang Surabaya dan jarang ditemukan pada penutur Jawa lainnya. Barangkali pembaca Terminal Mojok berkenan, silakan ditambahkan di kolom komentar beserta artinya, ya. Biar kita bisa saling menambah keberagaman dialek lokal.