Tidak peduli sebanyak apa pun warna yang ada di dunia, bagi saya jumlahnya hanya ada 7 yang tergabung dalam akronim Mejikuhibiniu (merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu). Saya bukannya buta warna, hanya saja bagi saya, semua warna yang akhir-akhir ini nge-hype hanyalah anak cabang dari 7 warna tadi.
Suatu hari, ketika sesi foto bersama, salah satu teman kelas memberikan usul untuk memakai kerudung berwarna maroon. Saya jujur saja belum tahu apa itu warna maroon. Maklum, wong ndeso baru masuk kuliah dan ketemu banyak orang kota. Ketika bertanya pada yang lain, mereka menjawab sejenis warna merah.
Saat hari-H sesi foto, saya datang dengan memakai kerudung merah. Ealah, ternyata keliru. Warna maroon ternyata sejenis warna merah tetapi jauh lebih gelap, semacam merah hati menurut saya. Alhasil, saat sesi foto berlangsung, saya diminta berdiri di pojokan. Alasannya tentu saja karena warna kerudung saya tidak sama dengan lain, katanya takut merusak estetika gambar. Asem!
Perkara ketidaktahuan saya atas macam-macam warna tidak hanya berhenti di situ. Saya juga pernah menjadi panitia acara seminar kemuslimahan. Saat itu, koordinator panitia acara memberitahukan bahwa saat hari-H nanti, semua panitia diharapkan memakai kerudung baby pink.
Sungguh, saat itulah pertama kali saya mendengar istilah warna baby pink. Memangnya apa sih, bedanya dengan warna pink? Sejak kapan warna pink memiliki baby? Memangnya, siapa yang menghamili warna pink sehingga ia punya baby? Tolong jelaskan pada saya yang tertinggal zaman ini!
Setelah saya lihat, ternyata tidak ada perbedaan signifikan antara warna pink dan baby pink kecuali tingkat kepudarannya. Tapi bagi saya, keduanya tetap sama, berwarna merah jambu. Titik!
Kali lain, saya pernah ingin sekali membeli kerudung untuk dipakai saat acara keluarga. Saya mencari kerudung untuk dicocokkan dengan baju yang sudah saya miliki. Kebetulan, salah satu teman saya ada yang jualan olshop. Saya kemudian meminta sarannya untuk mencari kerudung yang senada atau minimal cocok jika dipadu padankan dengan baju saya.
Saat itu, teman saya menyarankan beberapa warna, yaitu peach, silver, milo, taro dan mustard. Sumpah, saya baru pertama kali mendengar nama-nama itu. Apakah selama ini saya tidak mengikuti perkembangan zaman atau memang dunia pe-warnaan berkembang terlalu cepat?
Sejak kapan ada jenis warna milo? Bukankah Milo adalah sejenis minuman yang iklannya selalu muncul di TV dengan tagline ‘Energi Untuk Menang Tiap Hari’. Apakah perusahaan pembuat minuman Milo juga memproduksi warna berjenis milo?
Lalu, mulai kapan ada warna taro? Setahu saya, Taro itu sejenis makanan ringan yang iklan TV-nya seputar petualangan di hutan itu. Atau saya saja yang terlewat ketika perusahaan pembuat Taro juga memproduksi warna taro? Saya semakin pusing.
Seolah menyadari kebingungan saya, si teman olshop tersebut kemudian mengirimkan gambar kerudung lengkap dengan nama-nama pilihan warnanya. Ketika dilihat, saya benar-benar ingin berkata kasar.
Warna-warna yang teman saya maksud sebenarnya bisa disederhanakan untuk dimengerti khalayak ramai—khususnya orang-orang ndeso seperti saya. Bagi saya, warna peach=jingga, silver=abu-abu, milo=cokelat susu, taro=ungu, dan mustard=kuning keemasan. Sudah, seperti itu sederhananya. Entah kenapa teman olshop saya—juga mbak-mbak olshop lainnya—suka sekali merumitkan nama warna. Apakah agar terkesan mewah dan eksklusif? Halah, mboh!
Saya penasaran, siapa yang pertama kali mencetuskan ide nama-nama warna serumit itu? Sungguh, betapa dia telah berhasil membuat hidup saya yang rumit tambah rumit hanya untuk persoalan memilih warna yang sesuai dengan baju. Apalagi nama-nama warnanya sebagian besar menggunakan Bahasa Inggris. Sungguh, sangat tidak mencerminkan nasionalisme sekali.
Akhir kisah, saya memutuskan untuk memilih warna kuning keemasan—atau dalam bahasa teman olshop saya mustard. Ketika proses negosiasi selesai, teman saya malah kembali mengeluarkan pendapat. Dia bilang, “kayaknya lebih bagus lagi kalau warnanya lightsunkist. Lebih cocok sama warna kulit kamu.”
“Lightsunkist itu warna macam apa lagi?” tanya saya frustasi.
Teman saya kemudian menunjukkan gambar warna lightsunkist yang menurut saya tidak ada bedanya dengan warna kuning keemasan. Saya mendengus. Nggak jadi beli. Saya baru tahu kalau urusan warna saja ternyata bisa membuat saya jengkel setengah mati.
Saya harap, ke depannya pemerintah dapat membuat kebijakan seputar pemberian nama warna yang tidak rumit, namun juga disesuaikan dengan kearifan lokal bahasa Indonesia. Kalau perlu, ini bisa digunakan sebagai bahan utama dalam rapat paripurna Presiden Jokowi beserta jajaran menteri terpilihnya nanti. Pokoknya, pemerintah harus turun tangan. Titik! (*)