Menurut Saya, Menjadi Sekretaris Adalah Cobaan Terberat di Masa Sekolah

Nggak Memberi Sontekan Itu Bukan Berarti Pelit, kalau Goblok Jangan Nyolot deh!

Saat sekolah dulu, jabatan tertinggi yang pernah saya lakoni adalah ketua kelas, itu pun waktu SD. Satu-satunya alasan yang saya yakini kenapa teman-teman memilih saya sebagai ketua kelas adalah pembawaan saya yang cenderung galak. Padahal saya ini nggak galak, lho. Cuma kencang saja kalau ngomong, hahaha. Mungkin dulu saya pernah keselek speaker~

Balik lagi soal ketua kelas. Dalam struktur organisasi, ketua kelas memang berada di pucuk pimpinan. Tapi pada kenyataannya, sebagai pimpinan, tugas dia nggak berat-berat amat. Paling hanya 3M: menyiapkan, mengingatkan, dan mata-matain. Menyiapkan setiap kali pelajaran akan mulai atau selesai, mengingatkan warga kelas yang ndableg nggak mau piket atau rusuh di kelas, serta memata-matai warga kelas. Maklum, biasanya kalau wali kelas mau tahu soal apa-apa ya tanyanya ke ketua kelas.

Tugas 3M tersebut ternyata nggak ada apa-apanya dibanding tugas sekretaris. Serius, deh. Cobaan terberat di masa sekolah adalah jadi sekretaris kelas. Meski saat sekolah saya belum pernah jadi sekretaris, sebagai guru, saya beberapa kali mendapat curhatan dari siswa yang kebetulan dipilih jadi sekretaris. Rata-rata mereka mengeluh jadi sekretaris kelas itu nggak enak.

Pertama, jadi sekretaris itu artinya harus siap menulis dua kali. Pertama, menulis di papan tulis, kedua menulis di bukunya sendiri. Kalau materi yang harus ditulis seuprit sih nggak masalah. Lha kalau seabreg-abreg? Apalagi kalau misalnya, hari itu banyak guru yang izin nggak masuk kelas karena sedang malas ngajar sibuk. Akhirnya, cuma meninggalkan materi saja untuk dicatat. Bayangkan kalau satu guru meninggalkan empat halaman materi untuk dicatat, terus yang izin ada lima orang guru. Duh, apa nggak keriting jarinya si sekretaris kelas?

Tetapi, itu sekretaris zaman dulu. Sekretaris zaman sekarang sih kalau disuruh gurunya untuk mencatat, eh dia malah nawar. Mintanya difoto saja, lalu share fotonya di grup WhatsApp kelas. Beres, no pegal-pegal, no keriting. Anak-anak tinggal menyalin dengan cara melihat foto yang sudah dibagikan di grup kelas, deh.

Kedua, jadi sekretaris itu serba salah. Menulis terlalu cepat eh diprotes, giliran menulis terlalu lambat juga diprotes. Soal ukuran huruf pun nggak luput dari protes warga sekelas. Dibilang terlalu kecil jadi nggak kelihatan lah, dibilang terlalu besar lah. Pokoknya warga kelas sudah seperti tipikal netizen pada umumnya, deh. Komentar teruuus. Termasuk komentarin soal kepala kita yang dianggap menghalangi tulisan. Ya gimana, masak harus lepas kepala dulu? Memang nggak banget kalau kasih komen, deh~

Ketiga, jadi sekretaris itu harus ekstra sabar. Tak jarang, di sela-sela menulis di papan tulis, ada saja teman yang bertanya, “Itu yang di samping “sekolah” tulisan apa?” atau “Itu yang nomor 2 tambah atau kali?” terus saja bertanya seperti itu. Nah, yang bikin jengkel adalah pertanyaan yang sama sering ditanyakan lagi, lagi, dan lagi oleh orang yang berbeda. Sudah pernah dijawab, lha kok masih ditanyakan. Bikin kesal nggak, tuh? Tapi, mau gimana lagi? Sabar adalah kuncinya. Selain pertanyaan tentang kejelasan tulisan, pertanyaan paling umum yang juga sering dilontarkan para warga kelas adalah, “Masih banyak?”

Keempat, jadi sekretaris itu harus siap tangan kotor. Poin keempat ini sih paling terasa di zaman sekolah masih pakai kapur buat menulis di papan tulis hitam. Ya Lord, telapak tangan bisa putih-putih kayak kena bedak. Mana panas lagi. Nyiksa banget, deh.

Meski sekarang sebagian besar sekolah sudah tak lagi menggunakan kapur, bukan berarti sekretaris kelas terhindar dari tangan kotor. Justru penggunaan spidol ini nggak kalah bahayanya. Pernah kejadian salah seorang murid saya tangannya belepotan tinta gara-gara spidol yang dia pakai entah gimana mbleber. Kasihan, kan?

Kelima, jadi sekretaris itu harus siap susah. Kadang, kalau pas lagi capek nulis, menurut kita wajar ketika kita minta tolong teman lain buat menggantikan menulis di papan tulis. Sayangnya, nggak semua orang mau gantian. Mereka lebih sering menolak dengan alasan, “Kan kamu sekretarisnya!” Ujung-ujungnya saling lempar-lemparan yang endingnya kite lagi, kite lagi yang nulis. Duh, beneran deh jadi sekretaris itu memang harus siap rekasa alias susah.

Kalian gimana? Pernah jadi apa dulu pas zaman sekolah?

BACA JUGA Kaleidoskop Iklan 2020: Dari yang Inspiratif Sampai yang Pekok atau artikel Dyan Arfiana Ayu Puspita lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version