Bahasa Madura itu njelimetnya nggak tanggung-tanggung, loh!
Beddhâ’-Bheddhâ-Bâdhdhâ-Bândhâ-Bhânta
Bâdhdhâ-Bhânta-Beddhâ’-Bândhâ-Bheddhâ
Bhânta-Beddhâ’-Bheddhâ-Bâdhdhâ-Bândhâ
Njelimet, kan?
Bahkan untuk menyusun derivasi tiga baris dari empat kosa kata tersebut, saya harus berpikir berulang-ulang. Saya khawatir ada kesamaan penulisan karena masing-masing memiliki artinya tersendiri.
Setiap kata, meskipun agak mirip pelafalannya, sejatinya tidak sama. Bedanya bahkan kadang hanya di permainan lidah belaka, tidak dalam huruf. Itulah bahasa Madura. Bahkan bagi orang Madura sendiri, bahasa ini tidak lebih mudah dari bahasa Inggris sekalipun.
Seperti jamak diketahui, kebanyakan orang Madura terutama yang tinggal di pelosok, meskipun sudah kenal dan diajarkan bahasa Inggris, mereka tidak mampu melafalkannya dengan fasih. Ada yang bilang lidah kami keras, sedangkan bahasa Inggris fleksibel, atau kata orang Madura: “awès-clowès”. Kalau mau bilang ‘I love you’, mereka akan mengucapkannya sebagai ‘ai lapi yu’, bahkan ‘alapiu’, jadi mirip dengan bahasa Madura ‘alabbhu’ (tulisan bh dibaca p) yang artinya ‘hujan-hujanan’.
Kalau bahasa Inggris kerap kali berbeda antara penulisan dan pelafalan, penulisan bahasa Madura justru wajib menyamai pelafalannya. Tentu saja itu tidak membuat ke-njelimet-an bahasa Madura teratasi, justru membuat orang Madura sendiri tidak tahu menuliskannya berdasarkan ejaan yang benar, èjhâ’ân sè teppa’.
Misalnya, kalau hendak mau bilang ‘ngangkuy’, maka penulisan yang tepat adalah ‘ngangghuy’ (tulisan gh dibaca k). Bahkan kalau ‘nga’ diganti ‘nyo’, yakni ‘nyongghuy’, maknanya lain lagi, yaitu menggendong.
Empat suku kata di atas bahkan tidak bisa ditulis secara apa adanya, karena akan bentrok dengan kata lain yang maknanya berbeda. Dan ketika bentrok dibiarkan, imbasnya adalah pergeseran makna. Melafalkan sulit, sesulit juga menuliskannya. Bahasa Madura mah begitu.
Maka tidak heran ketika Moch Ali, seorang doktor Filologi dalam Simposium Internasional ke-16 Pernaskahan Nusantara, ketika mempresentasikan makalahnya, Pemertahanan Bahasa Madura dalam Manuskrip Ratib Haddad di Pesantren, seakan kelu lidah ketika mengucapkannya. Bahkan bagi saya sebagai orang Madura, beliau salah dalam melafalkannya.
Beddhâ’ (artinya ‘bedak’), Bheddhâ (artinya ‘robek’), dan Bâdhdhâ (artinya ‘wadah’) bila ditulis apa adanya, dan secara keliru, maka akan jadi begini: Bette’-Pette-Bette. Padahal, ‘pette’ itu sudah memiliki arti lain, yaitu pettè (nama sayur) dan pètè’ (istilah bahasa Madura untuk anak ayam).
Sudah begitu kalau mau nyebut ‘kunci gembok’, bahasa Maduranya adalah ‘kondhol’ (dh dibaca t). Padahal dalam bahasa Jawa, itu maknanya berbahaya. (Pliss kata terakhir ini jangan dibaca berulang-ulang)
Kesulitan bahasa Madura, baik penulisan maupun pelafalannya, acapkali juga memengaruhi respons orang yang diajaknya berbicara. Ketika saya ke Jogja, beberapa bulan lalu, dalam suatu kompetisi ilmiah, kebetulan para kontestan banyak yang berasal dari Jawa.
“Lah sampean kok misuh, Cak?” katanya. Jadi saya dianggap misuh, karena logat dan intonasi ke-Madura-an saya, seperti umumnya orang Madura. Bagi mereka, terdengar kasar itu sama dengan misuh. Padahal waktu itu kami sedang bahas perihal teknis presentasi karya. Duh Gusti….
Lebih kurang setahun lalu, saya menjadi Redaktur Pelaksana suatu majalah. Kebetulan, salah satu rubriknya adalah ‘Gagasan Bahasa Madura’. Sumpah, mencari penulis yang mau mengisi gagasan tersebut tidak pernah ada, dan selama itu pula, selalu saya yang mengisinya sendiri.
Selain sulit mencari kontributor untuk satu rubrik tersebut, saya juga harus menulisnya dua kali: dalam bahasa Indonesia, lalu terjemah, kemudian dikoreksi ejaannya. Kalau nggak begitu, langsung nulis secara bahasa Madura, ide mandek.
Untung saja saya masih ada sisa ingatan pelajaran Bahasa daerah saat masih Es-Em-Pe. Jadi masih ingat bahwa vokal k ditulis dengan gh, vokal c ditulis dengan jh, vokal t ditulis dh, dan sebagainya.
Masih ingat pula bahwa e ditulis dengan â, juga ditulis dengan è, tergantung pelafalan kosakatanya. Akan tetapi saking njelimet-nya, saya hanya memakai ketentuan tersebut bila mau menulis secara formal, seperti majalah. Kalau untuk komunikasi chat sesama orang Madura, saya tidak pernah menggunakannya. Ruwet. Mending nulis bahasa Inggris.
Apakah itu artinya bahasa Madura tak layak dipelajari? Nggak juga. Bukan begitu maksudnya.
Justru semua itu menjadi keunikan dari bahasa Madura itu sendiri. Selama ini orang luar, terutama orang Jawa, memiliki pandangan stigmatis bahwa Madura identik dengan kekasaran, kekerasan, bahkan keterbelakangan. Padahal tak separah stigma itu, sih.
Bahasa Madura njelimet, dan rada-rada tak lebih mudah ketimbang bahasa Inggris, tapi orang-orangnya sopan-sopan, lho. Di sana ada prinsip, “Anda sopan kami segan, Anda lancang kami tendang.”
Maksudnya, bagaimana karakter orang Madura tidak melulu soal kesan kasar-keras, tergantung bagaimana kita bersikap terhadap mereka. Bahasa yang sulitnya nggak karuan itu juga punya tingkatan, kok. Ada caca-colo’, dan itu biasanya kasar. Ada èngghi-bhunten, istilahnya perbhâsan.
Pangangghep (solidaritas) antar sesama warga erat sekali, mungkin tak akan ditemui di daerah manapun. Orang Madura dikenal ada di mana-mana. Tak dalam negeri, tak luar negeri, pasti ada orang Madura. Merantau adalah tradisi menyambung hidup warganya.
Menariknya, di perantauan, mereka tak terbelakang. Kaya-kaya semua. Pada jadi konglomerat. Ya meski biasanya bisnisnya itu-itu saja. Kalau tak sate, potong rambut, nasi bebek, ya juragan besi tua. Tapi tidak usah malu. Kalau Anda orang Madura, beli sate ke mereka pakai bahasa Madura, fix, Anda akan dapat potongan harga.
Dari kalangan politisi dan intelektual juga tak kalah berkelas. Pak Mahfud MD, Menteri Koordinator Politik dan HAM itu orang Madura. Pak Mien A Rifa’ie, pakar Madurologi itu juga orang Madura. Keduanya sama-sama profesor. Ada juga sih yang berprofesi bakul buku atau warung kopi.
Memang tidak semua orang Madura bisa menulis bahasanya sendiri, saking sulitnya. Pak Mien A Rifa’ie pernah menerjemah Undang-Undang Dasar 1945 ke dalam bahasa Madura dan hasilnya bagus banget. Betul semua ejaannya.
Tetapi Madura tetaplah Madura. Tak banyak orang seperti Pak Mien. Semakin ke sini orang Madura bahkan semakin gengsi memakai bahasanya. Bahasa Madura yang njelimet itu dianggap terbelakang. Di kampung-kampung bahkan sudah ada orang tua yang mendidik anaknya sejak lahir menggunakan bahasa Indonesia. Berkelas, katanya.
Alhasil, bagaimanapun tingkat njelimet-nya, seharusnya pelestarian budaya bahasa itu tidak menyusut. Bukan tidak mungkin di masa depan, bahasa Madura dilupakan, tak ada yang bisa menuturkannya dengan fasih, apalagi menuliskannya dengan tepat ejaan.
Bahwa bahasa lokal terancam punah oleh bahasa nasional adalah benar adanya. Barangkali adalah miris jika yang berhasrat dengan bahasa Madura adalah para peneliti dari luar, yang jelas lisannya beda. Pasti hasilnya degradatif, dan kesan njelimet-nya tak tampak, jadi reduktif. Keunikan bahasa Madura itu pun hilang. Tolong, jangan sampai.
BACA JUGA Kelakar Orang Madura yang Bikin Kita Kenal Lebih Dekat dengannya dan tulisan Ahmad Khoiri lainnya.