“Kamu tuh beruntung lahir sekarang, jaman sekarang sudah enak.” Gitu katanya.
Hmm permisi Ibu Bapak Om Tante semua yang terhormat, kayaknya menjadi GenZ ya sama saja deh dengan generasi-generasi sebelumnya. Ya mungkin benar sih kalau konteksnya kami para GenZ ini terlahir tanpa harus merasakan pengalaman pahit seperti perang dunia yang pernah dirasakan generasi sebelumnya. Tapi, menyebut GenZ dan generasi di bawahnya sebagai yang lebih beruntung dan jauh lebih baik kok ya rasanya nggak tepat juga.
Coba bayangin generasi kami—yang kata kalian enak itu—harus merasakan kebakaran hutan di mana-mana, iklim yang semakin ekstrem, es di kutub utara mencair, represi kelompok minoritas, isu kesehatan mental, sampai perundungan yang semakin menjadi-jadi hingga ke media sosial. Singkatnya, bumi sudah semakin sekarat karena semua bencana itu. Coba saya minta tolong dijelaskan di bagian mana ya yang generasi saya merasakan untung?
Saya pikir kita semua harusnya bersepakat bahwa setiap generasi dihadapkan pada kesulitan dan masalahnya masing-masing dan juga harus berjuang dengan caranya masing-masing. Masa yang kayak gini aja harus dijelasin sichhh.
Memang sih semua tergantung perspektif setiap individu dalam melihat sebuah fenomena yang ada. Tapi ya dengan pernyataan yang selama ini sering berseliweran soal “hidup generasi milenial, generasi z, dan generasi alpha itu jauh lebih baik” kayaknya enggak sepenuhnya benar deh. Kita semua yang ada di setiap generasi punya problematikanya sendiri kok, dan tidak bisa dikatakan mana yang kebagian lebih enak dan lebih baik.
Misalnya ketika saat Ibu saya yang termasuk generasi baby boomers berjuang untuk melamar pekerjaan dengan cara mengirimkan semua lamarannya melalui kantor pos, atau mencari semua lowongan yang ada melalui iklan baris di koran dan saat ini saya mencari lamaran pekerjaan melalui platform daring yang ada lantas tidak secara langsung membuat semua proses yang dilalui lebih enak atau jadi jaminan saya bisa mendapat pekerjaan dengan cepat. Dan beragam hal lainnya yang punya banyak rasa enak atau enggak enak sesuai dengan porsinya masing-masing.
Belum lagi kalau ada permasalahan yang di wariskan turun temurun dari generasi-generasi sebelummnya. Lagipula kalau hidup GenZ dan generasi di bawahnya jauh lebih baik, lantas Greta Thunberg tidak perlu repot-repot turun ke jalan meninggalkan bangku sekolahnya di Swedia untuk aksi lingkungan yang selama ini ia galakkan. Bukankah justru jadi tanda tanya “ada apa dengan dunia dan seisinya akhir-akhir ini?” ketika anak berusia 16 tahun seperti Greta yang akhirnya harus ikut serius dalam menuntusakan masalah yang ada di dunia ini (salah satunya dalam hal perubahan iklim yang ekstrem).
Ternyata apa yang disampaikan Greta ketika menyampaikan pernyataan penuh emosi di ajang Climate Change Summit 2019 itu benar adanya. “This is all wrong. I shouldn’t be up here. I should be back to school on the other side of the ocean. You have stolen my dreams and my childhood with your empty words, and yet, I’m one of the lucky ones. People are suffering. People are dying. Entire ecosystems are collapsing […]” Kalau begini apakah masih berani membuat klaim kalau generasi Z dan di bawahnya sebagai kelompok yang lebih baik?
BACA JUGA Bucin, Identitas dari Gerakan Baru Anak Muda Abad Milenial atau tulisan Atik Soraya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.