Aum!: Film Berlatar Masa Reformasi yang Serius Sekaligus Lucu

Aum! Film Berlatar Masa Reformasi yang Serius Sekaligus Lucu terminal mojok.co

Aum! Film Berlatar Masa Reformasi yang Serius Sekaligus Lucu terminal mojok.co

Pada 30 September yang lalu, sebuah film unik, tayang di Bioskop Online. Mengambil judul Aum!, film berdurasi 1 jam 25 menit ini, mengambil latar Reformasi 1998. Film yang dikemas dalam bentuk film dokumenter dalam sebuah film ini (mockumentary) pun terbagi menjadi dua bagian: pertunjukan dan perjalanan.

Di bagian pertama—sekaligus pembuka—ada Satriya (Jefri Nichol) yang sedang terlibat dalam aksi kejar-kejaran di sebuah rumah susun. Ekspresi wajah dan gestur tubuh dari Satriya benar-benar menunjukkan bahwa dia sedang dalam masalah besar. Bagaimana tidak, pada saat itu Satriya yang adalah seorang aktivis sedang berhadapan dengan anggota militer yang sedang gencar-gencarnya melakukan penangkapan terhadap aktivis yang menyuarakan reformasi.

Dramatisnya, dalam aksi tersebut, Satriya justru “diselamatkan” oleh seorang anggota militer lainnya bernama Adam (Aksara Dena). Bukan tanpa alasan, Adam menyelematkan Satriya karena mereka terikat dalam hubungan kakak beradik.

Sepanjang misi penyelamatan tersebut, kita akan menyaksikan hubungan kakak beradik yang berjarak karena berbeda ideologi. Adam yang tahu bahwa Satriya bersama teman-temannya sudah lama menjadi target penangkapan, memberi peringatan agar Satriya sebaiknya diam dan berhenti terlibat dalam aksi perlawanan. Namun, Satriya menolak dibungkam meski sudah tahu bahwa nyawa adalah taruhannya.

Sepanjang menonton bagian satu film Aum!, saya sempat berpikir bahwa film ini adalah film sejarah yang menegangkan. Saya bahkan sudah sempat membayangkan bahwa film ini mungkin akan seperti kisah Laut dalam novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Nyatanya, tidak juga. Cerita di bagian satu adalah sebuah film dokumenter yang dibuat pada masa reformasi dan punya sisi jenaka dalam proses pembuatannya.

Tokoh Satriya tidak diperankan langsung oleh Jefri Nichol, melainkan oleh Surya Jatitama. Jadi, Satriya dan Surya diperankan oleh orang yang sama. Sama halnya dengan Adam yang diperankan oleh Bram Sanjaya. Jadi, Adam dan Bram adalah orang yang sama yaitu Aksara Dena.

Film dokumenter yang dibuat sebagai bentuk perlawanan ini diprakarsai oleh Linda (Agnes Natasya Tjie) yang kemudian bertindak sebagai produser. Dalam menggarap film dokumenter tersebut, Linda berkolaborasi dengan Panca (Chicco Jerikho) sebagai sutradara. Dengan alat seadanya karena keterbatasan dana, film dokumenter ini dibuat sesunyi mungkin. Meski banyak adegan rusuh di dalamnya karena posisi mereka yang begitu dekat dengan risiko berbahaya pada masa itu.

Lalu, di bagian kedua kita akan melihat bagaimana proses film dokumenter tersebut dibuat. Dan di sinilah atmosfer berbeda dari film Aum! muncul.

#1 Mengangkat tema reformasi, film ini serius dan lucu secara bersamaan

Seperti yang sudah saya ceritakan di atas, apa yang ingin disuarakan melalui film dokumenter yang dibuat adalah sesuatu yang serius. Bagaimana dua kubu sedang berhadapan pada masa itu. Namun, ketika cerita mulai masuk ke bagian dua yang menampilkan bagaimana film dokumenter tersebut dibuat, berbagai macam adegan lucu justru muncul.

Sering kali, tokoh dan para kru film dokumenter dibuat bingung oleh tingkah Panca. Entah apa maunya. Para tokoh dilarang bermain terlalu bagus. Para kru ada saja titik kesalahannya. Ketika adegan sudah bagus-bagusnya, eh… malah di-cut. Ini dan itu ada saja kurangnya. Sebagai seorang sutradara, batas antara berideologi “mampus” dan menyebalkan, terbentang sangat tipis dalam diri Panca.

Bagaimana para kru merespons, baik itu dengan memberi penjelasan—atas apa yang dianggap kurang oleh Panca—mengeluh, ataupun memilih diam dan mengikuti perintah adalah salah satu sisi terlucu dari film ini. Yang paling kocak ketika adegan suara macan yang mengaum akhirnya bisa terekam. Menonton bagian ini, saya ikut se-bahagia itu.

#2 Para pemain yang aktingnya luar biasa

Saya termasuk salah satu orang yang belum banyak menonton film yang dibintangi oleh Jefri Nichol. Itulah sebabnya saya belum tahu bagaimana Nichol dalam berperan. Namun, dalam film ini, menurut saya, Nichol berhasil memerankan dua tokoh sekaligus dengan begitu apik.

Surya Jatitama sebagai aktor amatir yang masih polos. Berusaha kritis, tetapi akhirnya memilih diam dan ikut alur. Juga Satriya, aktivis yang menggebu-gebu menyuarakan reformasi.

Demikian halnya dengan Aksara Dena yang juga memerankan dua tokoh dalam film ini. Ah, betapa saya sangat terkesima dengan suara Bram Sanjaya.

Selain mereka, yang juga paling menonjol tentu saja adalah Chicco Jerikho. Gilak! Dari bagian dua sampai akhir film, dia konsisten dengan karakternya yang sangat menyebalkan. Bagaimana Agnes (sebagai Linda) dan para kru dalam menghadapi sikap Panca juga berhasil menampilkan karakter manusia yang bukan hanya ingin mendengar, tetapi juga ingin didengar.

#3 Banyak simbol yang menyentil

Sejujurnya, saya sempat bingung dengan beberapa adegan, seperti ketika Adam dan Satriya yang tiba-tiba melakukan aksi teatrikal di bagian satu. Maupun cerita yang mengambil latar tempat di kebun binatang, lebih tepatnya di kandang macan, di bagian kedua. Namun, kebingungan saya perihal aksi teatrikal tersebut terjawab di bagian dua.

Saya bahkan tidak menyangka bahwa kehadiran tukang bakso ternyata adalah sebuah simbol. Pun ketika Panca memprotes akting dari Surya Jatitama yang dianggap terlalu menggebu-gebu dan berapi-api. Saya menganggapnya sebagai sesuatu yang menyebalkan sekaligus sebagai kode di sisi lain. Ingat, boleh kritik asal sopan!

Selain itu, jika ditarik kembali, momen ketika Satriya dan Adam sedang dalam perjalanan, ada dialog yang erat kaitannya dengan masa reformasi. Namun, masih sering terdengar sampai saat ini, “Militer emang cuma bisa pakai kekerasan.”

#4 Hal lain yang mendukung

Selain poin-poin di atas, hal-hal pendukung lainnya seperti properti, penampilan para tokoh, dan sinematografi yang vibesnya era 90-an banget membuat film ini nyaman banget untuk ditonton. Pengambilan gambar yang terkesan mentah justru menguatkan konsep unik dari film ini. Rasanya benar-benar seperti menonton sebuah film dokumenter beserta behind the scenenya yang digarap pada era reformasi.

Berkedok tugas kuliah, film dokumenter tersebut digarap dengan sehati-hati mungkin. Jangan sampai menarik perhatian.

Terakhir, sebagai penutup, saya memang sudah sempat curiga dengan kehadiran tukang bakso “bersimbol”, tetapi tidak menyangka bahwa ending-nya akan semenyebalkan itu. Jadi, berhati-hatilah dengan tukang bakso di sekitar kita ya, MyLov.

Sumber Gambar: YouTube BGCHEN StOrY

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version