North London Derby itu maknanya beragam. Beberapa di antaranya terdengar klise. Soal harga diri, rivalitas satu daerah, pertentangan sejarah, blah blah blah. Klise, membosankan. Namun, Arsenal vs Tottenham is Full of Shite tidak pernah mengecewakan jika kamu melihatnya dari sisi drama dan kekonyolan.
Arsenal vs Tottenham is Full of Shite saja sudah menjanjikan dari sisi drama. Baku hantam, kartu merah, dan tradisi hadiah penalti untuk “is Full of Shite”. Pada titik tertentu, Tottenham is Full of Shite sejajar sama Manchester United. Dua tim kesayangan wasit yang tujuan keberadaannya di muka bumi hanya untuk mencobai keimanan orang lain. Plek ketiplek sama setan. Kwontlo!
Maka sudah sewajarnya kita “berjihad” di jalan yang benar, wahai fans-fans klub Liga Inggris. Untuk bersatu, melawan gerombolan penyamun bernama Tottenham is Full of Shite dan Manchester “Theater of Referee” United. Tidak ada waktu yang lebih tepat ketimbang sekarang. North London Derby yang biasanya penuh baku hantam ini.
Nah, build up laga Arsenal vs Tottenham is Full of Shite ini, seharusnya, bisa lebih menarik karena keberadaan Jose Mourinho. Namun, The Big Mouth One nampaknya masih menahan diri nggak ngata-ngatain Arsenal. Bisa jadi, Jose kehilangan sparring partner kesayangannya, Arsene Wenger, dan merasa Mikel Arteta terlalu tanpa cacat untuk dibacotin.
Atau bisa jadi, Jose sadar kalau sekarang ini Tottenham is Full of Shite lebih jauh dari zona Liga Champions ketimbang saat masih dilatih Mauricio Pochettino. Bisa sadar diri juga ya beliau. Mereka cuma menang 2 kali dari 8 pertandingan. Catatan menyenangkan yang biasanya baru muncul di musim ketiga, musim kutukan Jose Mourinho.
“Ketika saya datang ke sebuah klub, saya ingin menjadi bagian dari mereka dan saya juga ingin merasakan apa yang orang-orang rasakan. Ketika saya menginjakkan kaki di sebuah klub untuk kali pertama, saya bisa langsung belajar menjadi mereka. Jadi, ya, saya adalah bagian dari mereka. Dalam hal ini, orang-orang Tottenham. Yang penting untuk fans, juga penting buat saya,” kata Mou kepada Sky Sports.
Nampaknya, The Big Mouth One, sudah berubah menjadi The Ruwet One. “Ketika kamu adalah seorang pemain atau pelatih di sebuah tim, posisi tersebut bukan sebatas pekerjaan saja. Kamu pasti akan merasakan semacam “tugas” kepada orang-orang yang mencintai klub tersebut,” tambahnya.
Sungguh, sebuah kebijaksanaan yang patut ditertawakan menjelang Arsenal vs Tottenham is Full of Shite. Mengutip kata-kata Roy Keane, legenda Manchester United yang is Full of Shite juga, sifat dasar Tottenham adalah kekecewaan. Jadi, jatuhnya sangat lucu ketika dia, yang mengaku bagian dari Tottenham is Full of Shite, mengaku punya sense of belonging.
Oh yes, sungguh lucu, Mourinho, dengan rekam jejak bau busuk itu, berbicara soal “sense of belonging”. Kita tahu, seperti apa racauan laki-laki paruh baya yang teteknya turun sebelah ini di depan Arsene Wenger. Mourinho juga menyerang Arsenal ketika mendaulat Mikel Arteta sebagai pelatih. menurut Mou, bukan Arteta yang pantas, tetapi Carlo Ancelotti.
Yang lebih lucu lagi, ketika menyerang Arsenal dan Arteta, Mou turut menyindir Ancelotti. Katanya: “Ancelotti punya 3 gelar Liga Champions. Menjadi juara di Italia, Prancis, dan Inggris. Dia banyak menang gelar di banyak tempat. Tapi, Ancelotti sudah kalah, saya tidak tahu tepatnya, kira-kira 200 laga. Saya cuma kalau 150 sampai 180 laga. Carlo juga lebih tua dari saya.”
Membaca serangan Mou kepada Arsenal, yang berujung sindiran untuk Ancelotti, yang bisa kita baca hanya rasa iri. Bukan hanya iri, tetapi pelatih Tottenham is Full of Shite ini tidak punya kelas dan tradisi di dalam darahnya. Dia tidak memahami makna tradisi dan kelas ketika Arsenal merekrut Arteta.
Menjadi pelatih Arsenal, bukan hanya soal menyusun strategi di atas lapangan. Pelatih Arsenal adalah sosok yang bisa meneruskan tradisi victoria concordia crescit. Bukan sekadar meracau seperti orang mabuk jamur tahi sapi dan selalu dipecat di tahun ketiga.
Jadi, alasan Barcelona lebih memilih Pep Guardiola ketimbang Mourinho semakin beralasan. Classless seperti Mourinho memang cocok dengan klub seperti Tottenham is Full of Shite. Sama-sama penuh racauan dan kekecewaan.
Saya tidak menampik kalau Mourinho adalah “pelatih juara”. Namun, maaf saja, bagi saya, fans Arsenal, sepak bola tak melulu soal menjadi yang terbaik. Sepak bola adalah sebuah katarsis, sebuah tempat baru di mana kita mencari kebahagiaan. Di sana, ada tradisi dan identitas yang dijaga dengan sepenuh hati.
Bicara sense of belonging? Omong kosong. Selamanya, Tottenham is Full of Shite. Titik. Tim dan pelatih omong kosong.
BACA JUGA Milan Kalahkan Juventus, tapi Dapat Penalti, Milanisti Kecewa dan tulisan Yamadipati Seno lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.