Apa Salahnya Belajar dari Lucinta Luna?

lucinta luna

lucinta luna

Menjadi manusia bertalen jelas menjadi agenda wajib bagi manusia semasa hidup. Lebih-lebih bagi seorang seniman, atau ya kita sebut saja artis. Selain menjadi ladang komersilnya, bertalenta—adalah salah satu cara bagi mereka agar tetap dikenal khalayak luas.

Seperti salah satu artis yang kita kenal—Lucinta Luna. Jangan kaget! Artis yang sering mampang di pemberitaan gosip layar tv dan layar timelime instagram kita ini adalah satu dari sekian banyak artis yang saya kagumi. Ya terlepas dari isu ber-evolusinya artis satu ini dari pria ke pria (Perempuan Riang gembirA). Melihat mbak Lucinta Luna, saya justru bisa mengevaluasi diri saya sendiri.

Lucinta Luna yang sering diberitakan karena ulah kontroversialnya, saya pikir lebih baik daripada trendingnya challenge saya pamit yang diperkenalkan Ria Ricis pada aksinya 27/7/19 lalu. Atau trending kembalinya Atta Halilintar di sosial media Twitter yang menuai respon penolakan dari jagad maya Twitter. Aksi blunder mereka justru menunjukkan para vlogger itu payah demi menggaet subscribe.

Hal berbeda justru saya rasakan saat pemberitaannya muncul secara berkala di akun instagram gosip. Di sebuah video yang tersebar, terlihat Lucinta Luna sedang mengata-ngatai rekan seperartisannya yang ia sebut band tokai. Hal itu ia lakukan lantaran ia merasa kesal karena oknum band ini terindikasi menjiplak lagu dari band luar. Entah perihal apa masalahnya dengan okum band sebelum video itu banyak beredar.

Dalam videonya dengan bahasa lo-gue nya, Lucinta terlihat sangat geram. Sesekali ia juga mengakui bahwa dirinya kini merintis bisnis barunya dalam industri permusikan sebagai seorang produser. Wow, ini luar biasa! Bayangkan saja bagaimana pandainya sosok Lucinta Luna dalam mengambil batu loncatan sejak kemunculannya yang dianggap penuh kontroversi oleh jagad pergosipan.

Dilhat dari melejitnya seorang Lucinta melalui karir di dunia hiburan, meskipun ia tidak mendapat Silver Play Button atau Gold Play Button dari YouTube berkat vlog prank, grebek rumah, atau unboxing squishy pun, seorang Lucinta akan sukses dengan caranya. Tentunya kesuksesan ini tidak lepas dari kecerdasan intrapersonalnya.

Kita tentu tahu, kecerdasan interpersonal tidak semua orang memilikinya. Kecerdasan ini merupakan kecerdasan yang melibatkan seorang manusia dengan perasaan dan pikirannya sendiri. Sebagai seorang yang pemberani untuk mengkespresikan apa yang tengah dipikirkannya, tentu ini merupakan sebuah kelebihan bagi Lucinta Luna.

Pribadi yang banyak dikenal sebagai seorang transgender ini bahkan berani tampil apa adanya sebagai sosok sanguinis. Perilakunya sebagai seorang sanguinis ini ditunjukkan dengan kegemaran berkatarsisnya. Sebuah aksi yang ditujukan sebagai pembebasan diri, dari segala ketegangan pikiran.

Bayangkan saja jika seorang manusia tanpa memiliki kecerdasan interpersonal. Dunia tentu akan dipenuhi para hipokrit. Mereka (para hipokrit) sudah pasti tidak memiliki kecerdasan interpersonal seperti yang dimiliki Lucinta Luna. Bagi orang tanpa kecerdasan intrapersonal, akan sulit untuk mengutarakan maksud dan keinginannya secara terbuka atau terus terang.

Hal itu jika kita tinjau dari satu sisi seorang Lucinta Luna. Kecerdasan intrapersonal itu juga terlihat padanya manakala ia dan keapatisannnya dalam menanggapi kerusuhan, ke-maha benaran para netizen. Bagi saya—seorang netizen (read: bukan follower Lucinta Luna) yang sering kepoin feed instagramnya, apapun yang diposting oleh pria (Perempuan Riang gembirA) itu sama sekali tidak menjadi masalah.

Apapun yang diunggahnya, sebagai warganet yang budiman, saya sama sekali tidak terdampak. Namun berbeda manusia berbeda juga interpretasi. Ribuan suara hujatan untuk Lucinta hampir selalu memenuhi kolom komentar. Dan yang paling bikin saya salut dengan si Lucinta adalah merasa bodoamat dengan komentar-komentar nyinyir para netizen.

Coba kita pikirkan sekali lagi. Belum tentu sikap apatis yang diperlihatkan Lucinta bisa kita ilhami sepenuhnya. Wong saya ingat benar, waktu musim kampanye, cebong—kampret cepat sekali tersulut jika salah satu kubu menyerang paslon mereka dengan wacana satir. Padahal jika dipikir-pikir mereka kebagian untung apa jika nyengot dan kobong gitu saat paslon mereka diserang? Biar jadi bagian parlemen atau kabinet?

Mereka yang dimikian itu padahal bukan objek kesatiran, melainkan sebagai tameng para paslon mereka yang sebenarnya justru menjadi objek utama. Tidak seperti Lucinta yang kecerdasan intrapersonalnya sangat luar biasa. Mengendalikan amarah meski sering dihujat tidak akan mudah dilakukan orang-orang tanpa interpersonal yang baik.

Kecerdasan intrapersonal sosok Lucinta Luna tidak berhenti sampai di situ. Kita (para netizen) yang mengikuti kabar pergosipan, tentu tau bagaimana sosok Lucinta Luna sangat percaya diri memamerkan suara teriakan seraknya ke kancah publik. Niat hati ingin menjadi manja dan centil, teriakan Lucinta justru jadi bahan cyber bullying baru bagi warganet.

Bayangkan bagaimana ia dengan percaya dirinya melantunkan sebuah lagu seperti yang terlihat dalam vlog Boy William beberapa waktu lalu. Kalian, yang memiliki suara pas-pasan dan tidak memiliki kepercayaan diri tidak akan mampu menandingi Lucinta Luna. Suara seraknya justru dijadikan maskot oleh pria yang ingin disapa dengan sebutan Ratu ini. Ihwal itu, Lucinta adalah sosok yang dapat menghargai dirinya sendiri.

Dibanding #sayapamit-nya Ria Ricis yang meninggalkan gimmick receh. Membuat para The Ricis gemas setengah mati karena vlog terakhirnya ternyata cuma trik konyol untuk mendompleng 16.000 subscribers. Lucinta, tetap melakukan apa yang jadi kesukaannya meski tak sedikit juga orang yang tidak suka. Meskipun sebenarnya sikap apa adanya itu hanya mengundang haters (bukan subscribers).

Masih terilhami dari Lucinta Luna, saya kini ikut terpikirkan sesuatu. Menjadi pribadi yang terus terang, apatis, dan ekspresif, setidaknya tidak perlu memikul beban berat soal pencitraan menjadi pribadi yang lain dari diri saya demi menyenangkan orang lain. Dan masih terilhami oleh sosok pria (Perempuan Riang gembirA) ini, bahagia adalah menjadi diri saya sendiri.

Dari sosok Lucinta pun saya menyadari jika wanita trans ini adalah sosok yang mandiri. Kenapa begitu? Lucinta Luna tetap berdiri pada kemandirian finansialnya meskipun warganet menghujatnya karena menjadi sosok wanita trans. Ia tetap menjadi sosok public figure dengan penuh percaya diri meskipun banyak memiliki haters. Tegar sekali kan? Ini terjadi karena kecerdasan intrapersonalnya bekerja dengan baik.

Terlepas dari ke-transgenderan-nya, ada banyak hal yang patut untuk direnungi dari Lucinta Luna. Menjadi pribadi yang apa anane, dapat memotivasi diri meski banyak yang membenci. Lha kalau belajar ketegaran Lucinta Luna buat ngasah kecerdasan intrapersonal kita, apa salahnya?

Exit mobile version